Kisah hidupnya sebagai seorang guru, mungkin membutuhkan perjuangan luar biasa, tapi luntur menjadi terasa biasa jika kita sudah pernah mendengar atau membaca cerita-cerita klasik pengabdian seorang guru. Tak lebih dari satu dari sekian kisah getir lainnya. Tono pun demikian.
Setelah menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN), Tono mengajar di sebuah Sekolah Menengah Atas (SMA) secara kebetulan, karena seorang guru Bahasa Indonesia dialihtugaskan. Selama menjalani tugas sebagai guru honorer, ia pernah melakoni berbagai usaha sampingan, seperti menjadi sales berbagai barang seperti kaset, baju batik, serta menjual kertas-kertas bekas ujian mahasiswa.
Kurang seru? Masih ada kelanjutan dramatis lagi: di tingkat akhir, Tono pernah menjadi buruh bangunan. ”Ya, saya kerja kasar. Angkut-angkut pasir, memasang genting, dan sebagainya,” tuturnya.
Selebihnya, rasanya perjalanan kepahlawanan ini akan paripurna bila kemudian disertai dengan masa pengabdian yang panjang. Jika tidak, tentu saja Anda tidak akan dikenang lebih jauh dari ini.
Namun, riwayat hidup klasik seorang guru model begini tidak diterima oleh Tono. Ia gelisah dan kemudian "memberontak": Saya tidak ingin menjadi guru yang biasa-biasa saja. Keluarbiasaan yang menakjubkan kemudian ia ukirkan dengan "senjata" menulis.
Nilai diri yang lebih istimewa ia peroleh dengan membalutkan diri menggunakan tekad kuat tak pantang menyerah. membersit dalam benaknya satu keinginan kokoh, ia ingin namanya terpampang di salah satu koran yang terbit di Indonesia.
Dan benar saja. Setelah melewati bukit terjal pembelajaran menulis yang tak kenal lelah dan malu, bertanya dan belajar, tulisan pertamanya dimuat di harian Bernas tahun 1991. Disusul proses belajar selama dua tahun yang gigih, tulisan perdananya menghiasi harian Kompas, pada Maret 1993.
Mengepakkan Sayap Melalui Aksara
Tekad untuk menolak status sebagai guru yang biasa-biasa saja, adalah bahan bakar yang memanasi dirinya tiada henti. Pintu gerbang ini kemudian mengantarkan Tono merobohkan mindset bahwa murid adalah anak-anak yang duduk mendengarkan ia mengajar dan kelas adalah ruangan persegi yang dibatasi tembok.
Tono menolak itu. Ia ingin menjadi guru yang lebih dari itu. Ia melihat jauh melampaui ruang-ruang kelas di sekolah dan kumpulan murid-murid yang duduk menghadap ke arah ia berdiri. Baginya, kelas lebih luas seluas Nusantara; murid lebih dari itu, yaitu setiap orang yang terentang dari Sabang hingga Merauke.
Kini, sudah lebih dari 20 tahun ia mengajar. Namun, ia tidak hanya menuai nama-nama murid yang lulus. Melainkan juga nama-nama yang kemudian kondang menjadi penulis. Ia sendiri entah telah menulis berapa ratus artikel di media massa, puluhan buku telah lahir, di samping menjadi editor, juri, pemakalah, pemandu sesi-sesi pelatihan menulis, menjadi dosen yang mengampu mata kuliah Menulis di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah di Universitas Sanata Dharma, Yogakarta.
Apakah Tono kemudian menjadi guru yang kaya raya secara materi karena menulis? Tidak sedramatis itu memang. Namun perjalanan hidup sebagai guru yang menulis menorehkan sejarah dalam satu babak hidupnya. Seseorang yang tidak ia kenal, namun orang tersebut mengenal artikel-artikel yang ditulisnya di media masaa, tiba-tiba saja menberikan tawaran untuk membiayai studinya di tingkat S2, bahkan disiapkan dana hingga S3. Tak mau kemaruk, ia "hanya" bersedia dibiayai untuk Pascasarjana Linguistik Terapan, Universitas Negeri Yogyakarta.
Menjadi Pribadi yang Antusias
"Menjadi pribadi yang antusias menghidupi kehidupan" tampaknya menjadi kunci suksesnya. Ia menyebutnya sebagai keteladanan personal. Sedangkan keteladanan profesional baginya adalah guru harus siap dan berani memperbarui diri setiap waktu.
Guru sebagai orang yang mendidik siswa, harus pula mengaktualisasikan dirinya. Tak hanya mengajar di depan kelas, setelah selesai lalu pulang, hanya mengikuti sistem yang ada kemudian menunggu gaji di awal bulan. Tidak. “Selain menjadi guru, dosen pengajar Bahasa Indonesia dan menulis, saya juga menjadi editor buku, penulis, dan pembicara di pelatihan kepenulisan."
Apakah ia pernah dilanda rasa malas untuk menulis? Ya, katanya sesekali ia pun merasa malas menulis, padahal biasanya setiap malam ia selalu meluangkan waktu untuk menulis. “Kalau saya tidak menulis berarti saya akan kembali menjadi guru yang biasa-biasa saja. Ah tidak, saya harus menulis,” tegasnya.
Antusias, tidak mudah berpuas diri, dan pantang menyerah dalam memperjuangkan diri untuk menjadi guru yang penulis, yang mendatangkan manfaat luas. Sebuah tekad dan sikap yang patut diapresiasi, sebagaimana bagian yang diperjuangkan oleh Sukanto Tanoto melalui lembaga pengabdian yang didirikannya, Tanoto Foundation.