Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Ekowisata/Geowisata di Tangkahan, Sumatera Utara (Men Expert Blacktrail)

8 April 2013   17:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:31 537 0

Tulisan ini adalah rangkaian perjalanan saya sebagai salah satu peserta #Blacktrail yang diadakan oleh Loreal  Men Expert dan National Geographic sekitar bulan Oktober 2012. Ada lima peserta yang mengikuti kegiatan ini setelah lolos dari ribuan peserta dan melalui berbagai tahap seleksi.Kegiatan ini juga diliput oleh TEROKA on the weekend, Kompas TV.  Selamat menikmati catatan perjalanan saya yang tidak terlupakan ini :)

Day 1

Selama hampir 2,5 jam kita bercengkrama satu sama lain di dalam sebuah mobil Van yang mengantarkan kita ke Tangkahan dari Kota Medan. Perjalanan kali ini agak berbeda, karena saya bersama empat rekan lain yang berbeda profesi, umur dan latar belakang memenangkan kontes Blacktrail yang diselengarakan oleh Loreal Men Expert dan National Geographic Indonesia.Kelima Black trailer ini adalah Khrisnamurti (penulis), Yogi Ariwibowo, Oka Dwi Prihatmoko, Muchdlir Zauhariy dan Anindita P. Gunita. Suatu ketidakpercayaan yang kita amini bersama karena berhasil mengalahkan ribuan peserta yang antusias mendaftar untuk kontes ini. Pemicuutama saya untuk menuju ke Tangkahan adalah decak kagum saya terhadap konsep ekowisata yang diterapkan di Tangkahan yang mengusung community-based concept, apalagi karena perubahan paradigma pelaku ekowisata tersebut yang sebelumnya merupakan mantan illegal logger atau mantan perambah hutan, hal inilah yang membuat saya yang berprofesi sebagai dosen pariwisata tertarik untuklangsung mempelajarinya. Pengelolaan wisata Tangkahan melalui pemberdayaan masyarakat memang patut kita patut acungi jempol, hal ini bisa kita lihat dengan berdirinya Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) dimana tujuan organisasi ini adalah untuk mengembangkan ekowisata menjadi bagian dari kehidupan mereka yang baru.

Terletak di ujung Taman Nasional Gunung Leuser, Kecamatan Batang serangan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, membuat Tangkahan masuk ke dalam area konservasi. Jalan yang rusak dan berliku pertanda bahwa kita sudah dekat. Ada dua pendapatyang berkembang untuk masalah aksesibilitas ini, pendapat pertama lebih menginginkan aksesibilitas ini mudah dengan kondisi jalan yang mulus karena aksesibilitas merupakan hal yang paling fundamental untuk pembangunan pariwisata di suatu daerah. Pendapat yang kedua lebih senang “membiarkan” jalanan tersebut seperti sekarang, karena bisa berfungsi sebagai suatu cara menyeleksi pasar niche ekowisata karena mereka khawatir tidak bisa mengelola demand dengan supply yang terbatas.

“Yak...kita sudah masuk kawasan Tangkahan”, cetus Vitra, koordinator Black Trail dari National Geographic Indonesia. Saya kemudian penasaran, membuka lebar-lebar jendela mobil dan kemudian melihat Visitor Centre di depan muka yang sedang dikunjungi beberapa wisatawan, khususnya wisatawan asing. Tiba-tiba semua orang yang berada di Visitor Centre melambai-lambaikan tangannya termasuk para wisatawan asing seolah-olah kita adalah tamu istimewa yang sedang disambut. Tak lama mobil pun mengambil ancang-ancang untuk belok kiri, terdengar riuh gemuruh dari samping mobil Van kami, spontan kepala kami langsung menengok ke arah kiri semua.Makhluk besar penguasa rimba yang menjadi daya tarik utama /icon di Tangkahan ada di depan mata kami. Saya langsung jatuh cinta begitu melihat sekitar 10 gajah yang sedang bermain di dalam suasana yang mendung diiringi dengan rintikan-rintikan hujan. Walaupun kami sudah sering melihat gajah di kebun binatang, namun berbeda rasanya melihat di alam nya.Dalam euphoria tersebut, tiba-tiba mesin mobil dimatikan, ternyata kita sudah sampai Green Lodge, tempat kita menginap. Kita disambut oleh Nicholas Saputra – Brand Ambasador Loreal Men Expert- yang sudah dahulu sampai di Tangkahan kemarin. Nico, begitu panggilannya, sudah tidak asing dengan Tangkahan, dia sudah empat kali berkunjung ke Tangkahan.

Vitra kemudian mengajak kita berkumpul dahulu untuk briefing kegiatan mala mini dan penyerahan kunci kamar. Karena Green lodge ini bentuknya berbukit maka kamar pun terbagi dua area atas dan bawah, Saya kebetulan mendapat kamar nomor delapan dan sekamar dengan Vitra bersebelahan dengankamar Nicholas Saputra yang berada di area bawah serta Kamar Oka dan Yogi.Sedangkan Ditto dan Johar berpisah dengan kami, mereka ditempatkan di wilayah atas Green lodge bersama rekan-rekan dari Kompas TV.Kami pun mengambil tas untuk bergegas ke kamar masing-masing karena rintikan hujan sudah mulai cukup kencang. Kami dihantarkanoleh seorang staff dari Green lodge, dia berujar kalau hampir semua akomodasi di sekitar Tangkahan sedang full dan listrik disini sangat terbatas, cuma beroperasi jam 17:30 – 23:00 dengan menggunakan Genset. Arsitektur di green lodge secara kasat mata memang sangat menyatu dengan alam, sederhana serta ramah lingkungan sehingga mendekati konsep-konsep akomodasi ecolodge, hal ini dapat dilihat hampir semua bahan dasar di lodge ini memang menggunakan bahan lokal terutama kayu-kayunya.

Menuju ke area bawah lodge bukan perkara mudah, sebab rintikan hujan tersebut membuat jalanan menjadi licin dan kami harus menahan kaki secara hati-hati agar tak terlincir.Lodge pun sudah di depan mata kami tetapi kami mulai khawatir karena mendengar suara gemuruh yang mulai kencang mendekati. Ternyata suara gemuruh tersebut seperti hujan lebat ternyata Sungai Batang yang melintasi tepat di depan Lodge kami, beruntungnya kami.Ketika saya mencoba menutup mata, ambiencenya seperti kita sedang melakukan pijat refleksi dengan alunan CD berisi suara alam but a million times better J.

Setelah kami beristirahat dan makan malam, kami pun diarahkan ke daerah tepi sungai batang.Api unggun pun sudah dinyalakan untuk menghangatkan udara yang semakin dingin dan masyarakat sekitar pun sudah muncul untuk membagikan cerita. Mendengar cerita mereka, semakin saya memberikan apresiasi yang tinggi tentang perjuangan mereka merubah paradigma dari illegal logger menjadi seorang konservasionis, ditambah pergulatan generation gapdengan para orang tua yang selalu bertolak belakang dengan pola pikir anak-anaknya yang baru, yaitu melindungi bukan mengeksploitasi, hasilnya bisa kita lihat sekarang, para orang tua sekarang menjadi Pembina kegiatan mereka di bawah bendera Lembaga Pariwisata Tangkahan. Diskusi hangat pun terjalan diantara kami dan ditutup dengan dengan alunan lagu yang mereka ciptakan sendiri tentang keseharian masyarakat tangkahan dengan menggunakan bahasa lokal mereka yaitu bahasa Karo. Kami pun bertepuk tangan dan beranjak ke kamar masing-masing. Rasa lelah dan letih menyelimuti seluruh tubuh kami, terutama wajah kami yang sudah kusam dan berminyak, di saat ini lah kami membutuhkan Loreal Men Expert yang berguna untuk merevitalisasi wajah kita setelah seharian beraktivitas.

Day 2

Suasana pagi ini saya tidak terganggu dengan suara mesin-mesin kendaraan dan para pencari nafkah yang sedang bergegas ke tempat kerja mereka, melainkan tergantikan dengan suara kicauan burung, teriakan primata serta suara teriakan gajah. Kami secara serentak tanpa dikomando tampak memenuhi ruang makan semi terbuka untuk sarapan sebelum memulai aktivitas kami hari ini yaitu Elephant Trekking. Dari kedelapan gajah yang berada dalam pengawasan Conservation Response Unit (CRU), hanya tujuh Gajah yang kita gunakan untuk Elephant Trekking karena gajah yang kedelapan umurnya masih beberapa bulan.Gajah-gajah ini berasal dari Aceh dan Bukit lawang, mereka pun sudah diberi nama oleh para Mahout yaitu Agustin, Eva, Sari,Yuni, Olive, Ardana, Theo yang merupakan gajah jantan satu-satunya serta Ame yang masih berumur beberapa bulan. Gajah-gajah CRU ini sebenarnya digunakan untuk patroli di dalam TNGL serta untuk melindungi perkebunan warga dari gajah liar.

Sebelum kita melakukan Elephant Trekking, kita melakukan feeding dahulu, hampir semua orang terlihat sangat excited saat melakukan feeding karena semuanya ternyata juga first time experience. Pakan yang disajikan pun merupakan pakan khusus yang berisi jagung,sayur-sayuran yang dicampur dengan gula merah. Dalam sekejap pakan pun telah habis dan para Mahout pun membawa gajah-hajah tersebut ke tepi sungai batang yang malam tadi tempatnya kita gunakan untuk berdiskusi dalam lingkaran api unggun. Gajah-gajah sudah berbaris rapi menghadap kebelakang, ternyata mereka pun mempunyai ritual biologis yaitu membuang kotoran di pagi hari, salah satu Mahout bernama Cece berujar “Setiap hari dan khususnya pada pagi hari gajah harus mengeluarkan kotoran agar bakteri-bakterinya tidak tertanam di perut yang bisa menyebabkan suatu penyakit dan kotoran ini juga berfungsi sebagai pupuk, bagus untuk berladang”.

Ketika gajah tersebut sudah selesai dengan ritual biologisnya, ketujuh Mahout tersebut memberi aba-aba agar gajah-gajah tersebut bergerak ke arah sungai,haltersebut berarti mengisyaratkan agar kita bersiap-siap mengambil sikat untuk memandikan gajah. Dengan komando selanjutnya dari para Mahout, gajah-gajahnya pun serentak mengambil posisi berbaring. Sama seperti kegiatan yang sebelumnya, belum pernah ada dari kita yang pernah memandikan gajah. Hal lucu terjadi ketika seekorgajah menyemprotkan air ke wajah Yogi dengan belalainya, akhirnya serentak parapeserta yang rata-rata belum mandi malah meminta untuk disemprotkan air, termasuk saya J.

Jam sudah menunjukkan pukul 9:30, berarti tiba saatnya kita melakukan Elephant Trekking. Elephant trekking dimulai dengan memasuki kawasan TNGL ujung selatan, letaknya hanya selemparan batu dari lodge kita yang berbatasan dengan Sungai Batang. Saya bersama Yogi, salah satu peserta Black Trail yang pernah mengenyam pendidikan S2 di Turki, menunggangi gajah yang diberi nama Eva dengan Mahoutnya Pa Cece, dilihat dari namanya Pa Cece ini memang bukan berdarah Karo tapi beliau dari Sukabumi, sebelumnya beliau sempat tinggal di Aceh untuk mengurusi Gajah-gajah di sekitatTNGL. Wow ! Serasa seperti Indiana Jones kala menaiki Gajah-gajah ini batin saya. Bukan hanya pengalaman menunggani gajahnya yang hang hanya kita nikmati, tetapi kami berdua terkesima dengan cara gajah ini mencari jalan,memilih jalur serta menapak dengan hati-hati terutama jalur-jalur yang curam. Selama Elephant Trekking, Eva dan gajah-gajah lainnya selalu mengambil tumbuh-tumbuhan untuk di konsumsi dengan bantuan belalainya, ternyata menurut penuturan Pa Cece, “gajah-gajah harus makan minimal 10% dari berat tubuhnya, jadi kalau berat gajah sekitar 2 Ton, berarti gajah itu harus makann sekitar 200 kg”. Seraya menikmati elephant trekking, Pa Cece banyak memberikan informasi dan pengetahuan kepada seperti TNGL ini yangternyata menyimpan sumber-sumber obat di seluruh dunia,betapa kayanya alam raya di Indonesia ini, sayang sekali tidak dikelola dengan baik, batinku. Seperti kata pepatah bahwa alam raya telah memberikan semuanya untuk kebutuhan hidup manusia.

Lansekap di TNGL ini memang seperti apa yang saya bayangkan untuk hutan hujan tropis di daerah Sumatera, iklim yang basah, tanah yang kering dan pepohonan yang rindang.

Ketika matahari berada diatas kepala kami, tiba saatnya kita berisitirahat . Sambil menyantap makan siang di pinggir sungai Buluh adalah piliihan yang tepat untuk me-recharge tenaga kami.

Nampaknya waktu relaksasi kita semakin berkualitas ketika kita dihantarkan ke tempat air terjun yang tidak jauh dari tempat makan siang kita. Air terjun tersebut tidak terlalu tinggi, hanya sekitar4 meter tetapi air nya sangat deras, cocok yang ingin melakukan “pijat alami”.Undakan bebatuan besar yang mengelilingi air terjun sangat membantu kamu mendekati area “pijit alami”.Kami mengahbiskan sekitar setengah jam untuk menyegarkan tubuh kami sebelum menuju perjalanan pulang.

Perjalanan pulang kita sangat menantang, karena kita harus mengarungi sungai dengan melawan arus setinggi 1,5 meter. Pak cece pun menanyakan sesuatu hal yang bikin kita deg-degan, “kalian bisa berenang khan ?”, saya dan yogi yang tadinya terkantuk jadi lebih siaga dengan menguatkan kaki di pelana gajah. Setelah 20 menit kita mengarungi sungai, gajah-gajah pun mulai menepi ke daratan, sesaat hujan pun mulai turun. Dengan serempak para Mahout memerintahkan gajah-gajah untuk berjalan lebih cepat atau lebih tepatnya berlari, jadi lah kita Elephant Racing. Beruntung lah kita ketika sampai di Green lodge, karena hujan pun semakin deras. Walau pun kita menyegerakan tubuh kita untuk turun dari punggung gajah, ada perasaan tidak ingin cepat-cepat menuntaskan kegiatan Elephant trekking ini saking kita benar-benar menikmatinya dan tidak tahu kapan kita bisa mengulanginya lagi. Puji dan syukur saya ucapkan terus kepada Allah SWT atas ”kado terindah” di usia saya yang baru ini.

Day 3

Pagi ini kita bangun lebih awal, karena hari ini, 26 Oktober 2012, Hari Raya Idul Adha untuk umat Islam di dunia. Kita sepakat sebelum melakukan aktivitas di hari ketiga ini untuk melakukan ibadah Shalat Idul Adha di Masjid terdekat Tangkahan. Sekitar jam tujuh sebuah pick-up mengangkut kami untuk pergi kesana,walau pun terdekat, butuh 20 menit untuk menuju kesana. Ketika kita sampai, Masjid pun masih kosong melompong dan kekhawatiran kita muncul dengan asumsi shalat nya sudah selesai dilaksanakan. Kekhawatiran kami mulai meluntur ketika beberapa Bapak-bapak yang sudah dipastikan pengurus Mesjid mulai berdatangan. Akhirnya kita pun inisiatif membantu persiapan shalat Id dengan menggelar karpet-karpet penanda Shaf. Ketika Takbir dikumandangkan, masyarakat mulai berdatangan dan mulai memenuhi shaf-shaf yang telah dipersiapkan. Ketika selesai shalat, saya merasakan suasana perayaan yang cukup berbeda, jauh lebih sederhana dan jauh dari kesan festive. Vitra berujar kalau suasana festive di Tangkahan hanya bisa didapatkan ketika Hari Proklamasi kemerdekaan kita, yakni tanggal 17 Agustus,bahkan Idul Fitri dan Natal pun tidak terlalu meriah.

Aktivitas di hari ketiga ini agak mengalami keterlambatan karena hujan yang tak kujung berhenti, namun ketika matahari mulai menampakkan sinarnya pada pukul 10:00, kita pun bergegas untuk berangkat. Aktivitas kita memang cukup berat pada hari ini karena melibatkan jungle trekking, caving serta tubing. Perjalanan pagiini dimulai dengan melewati aksesibilitaswarga Tangkahan sehari-hariyang cukup menantang, yakni sebuah jembatan bambu sederhana nan licin dengan panjang sekitar 100-150 meter, keseimbangan dan konsentrasi adalah hal yang paling fundamental, apalagi bila kita melihat kebawah, sungai Batang yang sedang mengalir sangat deras.

Setelah melewati jembatan bamboo tersebut, kita mulai trekking sekitar 45 menit dan beristirahat sejenak di sebuah ladang milik warga. Sambil mengambil nafas, beberapa dari kami mulai mengkomsumsi snack yang telah duibagikan tadi pagi untuk mengisi energy karena perjalanan selanjutnya kita mulai mendaki. Pada saat kita mulai mendaki, Bang Jack , salah satu guide, berkata bahwa ada gajah liar dua hari yang lalu disini, dibuktikannya asumsi beliau dengan menunjukkan tapak gajah dan kotorannya. “Mudah-mudahan kita tidak bertemu gajah liar ini, karena akan sangat berbahaya, mengingat gajah akan mengamuk apabila merasa jiwanya terancam” ujar Bang Jack.

Satu jam berlalu dan langit mulai kembali menghitam, para guide pun akhirnya berdiskusi yang membuat kita bertanya-tanya apa yang mereka risaukan. Karena hujan deras akan kembali datang maka kita diarahkan ke jalur lain untuk menuju ke Gua Kalong. Tak ada firasat saat langkah kaki kita mencoba menuruni jalur trekking yang menuju ke bawah,namun ketika hujan menerpa wajah kita, saat yang bersamaan tanah pun menjadi basah dan licin, tak sedikit pun dari kita yang jatuh terperosok sampai 5 kali!. Memang Butuh sedikit perjuangan untuk sampai ke Gua Kalong,namun segala kelelahan tersebut akhirnya terbayar begitu sampai di mulut Gua. Kondisi hujan yang sangat deras memaksa kita untuk lebih berhati-hati memasuki gua ini karena berbatu tajam serta licin. Dengan memakai headlamp,kita siap mengeksplor gua kalong ini. Sesuai dengan nama gua ini, banyak sekali kalong atau kelelawar yang bergelantungan bahkan ada beberapa yang terbang diatas kita, benar-benar mengaggumkan. Kondisi gua memang sangat menantang, kadang kita harus mamanjat bebatuan, melompat bahkan jalan sambil jongkok. Bahkan ketika kita harus menuruni gua ini dengan tingkat kemiringan sekitar 45 derajat, kita harus menggunakan tali untuk sampai kebawah. Banyaknya lorong-lorong di gua ini memang membuat saya berfikir, apa jadinya kalau saya jalan sendiri, kemungkinan besar tersesat.

Sudah sekitar 1,5 jam kita berada di dalam Gua Kalong ini, tiba-tiba terlihat secercah sinar bersamaan dengan suara gemuruh yang saya kenal, ternyata tempat keluar gua kalong ini langsung menghadap aliran sungai batang yang disekilingnya dihiasi tebing-tebing yang kokoh dengan ukuran puluhan meter, sebuah gambaran spektakuler yang hanya kita bisa lihat di postcard dan di layar kaca...benar-benar stunning.

Kadar serotonin saya pun nampaknya bertambah ketika saya melihat peralatan tubing yang sudah disiapkan, saya pun langsung melompat ke arah tubing. Terasa membahagiakan tubuh kamiyang cukup lelah ketika kami diatas tubing sambil menikmati ekosistemHutan rimba di Tangkahan yang mempesona, masih segar dalam ingatan kita betapa kita berjaku dengan segala tantangan yang kita hadapi sejak tadi pagi. Riuhnya tawa kami menjadi pertanda bahwa semua orang yang berada disini benar-benar menikmati perjalanan hari ini.

Bagi saya pribadi, berkunjung ke Tangkahan adalah sebuah perjalanan spiritual : mengaggumi ciptaan Yang Maha kuasa yang tiada batas,di lain sisi saya bisa belajar langsung pengelolaan geowisata yang baik di Tangkahan.

Day 4

Hari ini kita meninggalkan Tangkahan untuk berkunjung ke Destinasi selanjutnya yaitu Bukit Lawang. Bukit lawang memang sudah terkenal dengan pusat rehabilitasi Orangutan yang masih berada di kawasan TNGL. Dahulu Bukit lawang ini seolah menjadi kompetitor dari Tangkahan,seiring waktu berjalan dan terjalinnya komunikasi yang baik diantara para guide di kedua destinasi, maka tercetuslah ide untuk menghilangkan atmospir berkompetisi, malah kedua destinasi tersebut bersepakat untuk menjadi komplimentari atau pelengkap dari suatu paket perjalanan. Mereka sadar, walaupun mereka berada pada suatu kawasan yang sama di TNGL tetapi keunikan yang ditawarkan berbeda, Bukit Lawang dengan Orangutannya, Tangkahan dengan Gajahnya. Benar-benar solusi yang patut diacungi jempol.

Perjalanan dari Tangkahan menuju Bukit Lawang memakan waktu dua jam. Karena jalan menuju Bukit Lawang sangat berliku-liku, maka kita menggunakan mobil jenis 4 wheel drive .Sesampainya disana, suasana mass tourism langsung terlihat kasat mata dengan berdirinya warung-warung di sekitar pintu masuk Bukit Lawang. Terang benderang matahari di pagi hari di Bukit Lawang menjadi pemompa energi kita untuk menuju pusat rehabilitasi Orangutan, maklum selama di Tangkahan kita tidak pernah mengalami suasana ini. Akses awal untuk menuju tempat rehabilitasi ini adalah melintasi sungai Bohorok dengan menggunakan jembatan yang lumayan kokoh, sungai bohorok inipernah memporak porandakan kawasan Bukit Lawang di tahun 2003.

Di sekitar pintu masuk bukit lawang telah banyak berdiri berbagai lodge yang menandakan kalau aktivitas wisata Bukit Lawang sudah kembali normal. Karena cuaca yang makin panas, banyak dari kita yang sudah bersimbah keringat, meski begitu, sedikit pun kami tidak kehilangan antusiasme. Tetapi kabar buruk pun datang menghampiri, sirnanya harapan untuk melihatpusat rehabilitasi pupus sudah Orangutan, sampan yang digunakan untuk menghantarkan pengunjung ke lokasi Orangutan sedang rusak. Sejumlah mata yang tadinya berbinar-binar mulai tak nampak, seolah-olah tidak terima dengan kenyataan ini. Tetapi ada sebuah sumpah yang tak terucap dalam hati saya, bahwa suatu saat kita kita harus kembali lagi memenuhi rasa penasaran saya.

Ps: Terima kasih sekali lagi untuk Loreal Men Expert, National Geographic, Kompas TV & Indecon yang telah membuat program yang spektakuler ini, cheers!

*All photos are courtesy of National Geographic Indonesia and Loreal Men Expert Indonesia

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun