Jika ada yang bertanya padaku apa sebenarnya yang paling ingin aku lakukan selama hidup di dunia, jawabanku pasti selalu sama: Membunuh Tutu. Tapi bila dicecar lagi, kenapa sehingga aku ingin membunuhnya, jawabannya ialah karena dia telah merampas segala yang bisa membuatku bahagia sepanjang hidupku. Mula-mula dia membunuh Ibuku, lalu dia rebut gadis idamanku. Maka, tidak akan tenang hidupku selama Tutu masih hidup. Bukan itu saja, setiap hari aku disergap sejenis rasa tak terjelaskan, semacam kehilangan sesuatu yang tidak kuketahui atau perjalanan jauh yang tak pernah sampai ke tujuan atau hasrat yang tak tercukupi.
Padahal aku memiliki segalanya. Istri-istri yang hebat, anak-anak yang berbakat, kemuliaan derajat, juga harta berlimpah yang tak bakal habis hingga tujuh turunan. Apa yang kurang dalam hidupku? Ada. Aku sangat menghasrati seseorang: Natisha Daeng Lebang!
Dan keinginan itu sulit kupenuhi selama Tutu masih hidup.
[2]
Hiduplah, Rangka, hidup. Itulah yang selalu kubisikkan kepada diriku sendiri, acapkali bayangan Natisha—yang lebih suka kupanggil Lebang—menari di benakku. Dia perempuan dengan kecantikan alami tanpa banding. Aku sudah melihat dalam hidupku banyak perempuan yang kuakui cantik, tapi dia selalu lebih cantik dari itu semua. Setiap pagi dengan seragam dokter dia melintas di depan rumahku dan selalu membiarkan dia leluasa melenggang. Aku tak pernah menyapanya. Hanya sesekali kucoba mengirimkan selengkung senyum sambil berpikir, “Dia milikku, ya, ku.”
Tapi dia milik Tutu. Aku sadari itu. Hanya saja, sesuatu di bagian lain dalam hatiku selalu menegaskan kata yang berbeda, “Sudahlah, abaikan saja nama Tutu. Peduli setan!” Dan, dengan kata-kata itulah aku menjalani hidup. Sekalipun andaikata itu akan menimbulkan penderitaan, aku tetap akan merebut Lebang dari Tutu. Aku bukan orang yang suci. Malah, bila boleh aku ungkapkan hal sebenarnya, aku culas. Lancung. Dulu, lama sekali, aku merasa telah kehilangan sesuatu dalam hidupku ketika mendengar kabar percintaan Lebang dan Tutu. Sekarang aku disiksa rasa irihati karena Tutu dicintai oleh Lebangku, Natishaku.
Apakah mereka, Lebang dan Tutu, memahami keinginanku?
Tidak! Buktinya mereka sering pamer kemesraan di depanku manakala paddekko—musik perkusi dengan lesung dan alu sebagai alatnya—setiap pesta panen digelar, atau ketika berlangsung ritual ajje’ne’-je’ne sappara—mandi massal menyongsong bulan Syafar di Pantai Tamarunang, atau saat ammotoki batara—tradisi gotong-royong pascapanen jagung.
Sungguh! Pada saat seperti itu merasuk hasrat di hatiku: Membunuh Tutu!
[3]
Baiklah. Akan kuceritakan kepadamu kenapa aku begitu bernafsu menghabisi Tutu dan begitu menghasrati Lebang. Semua bermula ketika kami masih sama-sama remaja. Waktu itu, sepuluh tahun sebelum aku tuturkan kisah ini, bulan dengan kemilau cahaya keperakannya begitu sempurna menyepuh kampung kelahiran kami, Borongtammatea. Tapi, malam itu, sunyi menyungkupi kampung dengan hawa dingin yang menusuk-nusuk kulit. Benar-benar malam paling mencekam. Daeng Manrawa, sesepuh kampung yang sangat disegani, tergeletak tak berdaya di tempat tidur menunggu maut datang menjemput. Malam itu pula, nyaris semua pemuda dan lelaki dewasa di kampung kami berjaga dari kemungkinan yang tak dikehendaki di rumah Daeng Manrawa, terutama dari serangan makhluk jejadian yang gemar mengincar orang sekarat, semisal parakang—manusia berilmu hitam yang diyakini orang-orang kampung bisa mempercepat proses kematian manusia lainnya.
Betapa aneh, di zaman canggih, orang masih begitu percaya pada mitos.
Aku mencoba mengurai kembali kenangan semasa kelas satu SMP itu. Malam itu, yang kelak aku sebut sebagai malam paling durjana, Tutu muncul dari arah belakang perkampungan. “Ada parakang, ada parakang.” Begitu teriaknya. Waktu serasa mendadak berhenti. Segera saja kami—seluruh lelaki yang sedang berjaga—menghambur ke arah Tutu.
“Di mana?”
“Tunjukkan!”
Ketika kami mulai merangsek dengan pertanyaan dan pandangan ke arahnya, Tutu tersungkur, mukanya pucat pasi.
“Tunggu sampai dia siuman,” kata seseorang.
“Kita gotong, Daeng, ayo!”
Beberapa lelaki dewasa menggotong tubuh Tutu, lalu membaringkannya di balla-balla—semacam rumah-rumahan di pintu gerbang. Perempuan-perempuan yang dari tadi tenang mengelilingi Daeng Manrawa, sekarang berdatangan merubungi Tutu. “Kabar apa yang dibawanya?” Begitu bisik-bisik yang samar kudengar. “Dia melihat parakang.” Jawab yang lain, juga dengan suara yang sangat pelan, seolah berbicara di depan jenazah. Lalu, Daeng Tinja, seorang sanro—dukun perempuan yang diakui kesaktiannya oleh seluruh warga kampong—memercikkan air dari sebuah tempurung ke ubun-ubun Tutu. Lalu, ajaib! Tutu membuka mata, dan berdesis, “Parakang, aku memukulnya tiga kali, tapi, tapi....”
“Tapi apa....”
“Dia tidak mati!”
“Siapa?”
“Parakang.”
Parakang! Orang-orang saling berpandangan, saling bertanya, entah kepada siapa, atau malah kepada diri sendiri. Tutu terbangun. Dia mengibas-ibaskan kepalanya, butir-butir air di rambut, di dahi, dan di pelipisnya terpelanting. Matanya bercahaya, sekilap, lalu meredup.
“Ada parakang!” tegasnya.
“Di mana?” sergah Daeng Tinja.
“Di rumpun bambu di kebun Daeng Narang.”
Seperti digerakkan oleh tenaga mahadahsyat, orang-orang berlarian ke kebun Daeng Narang. Lelaki-perempuan, tua-muda, semua berlomba. Juga, aku. Hingga kami tiba di sisi kebun, di rumpun bambu, dan mendapati seekor anjing sedang terkaing-kaing, mendengking-dengking. Dan matanya, o, matanya itu meriapkan amarah seolah hendak menelan tubuh kami satu demi satu. Tuhan, aku kenal mata itu. Orang-orang mulai mengelilingi anjing itu, berdiri rapat, seakan tak hendak memberi sejengkal pun ruang bagi anjing sekarat itu untuk melarikan diri. Dan, mata anjing itu, o, mata anjing itu tajam menghujam ke mataku.
Aku terentak, terperenyak. Sungguh, aku kenal mata itu.
Lalu, dari arah rumah Daeng Manrawa, terdengar lolong perih yang menyayat hati. Seorang sepuh sudah mati. Dan, di hadapanku, seekor anjing—yang kukenali matanya itu—sedang sekarat. Lihatlah, lihat, orang-orang mulai beringas. Tangis dan ratap dari rumah Daeng Manrawa itulah penyebabnya, dan anjing—yang diyakini parakang itu—dituding pemicu kematiannya. Aku harus selamatkan anjing itu. Dan pelepah lontar di tanganku segera kusabetkan ke paha anjing itu. Oh, legenda yang selama ini kuyakini hanya dongeng pengantar tidur, sekarang menyata seperentang lengan saja di hadapanku. Orang-orang berteriak agar aku memukul anjing itu sekali lagi, agar tidak menghilang atau mati seketika, tapi semua sudah terlambat.
Anjing itu menghilang! Mata itu, o, mata yang tak asing itu ikut raib!
[4]
Tak kuhiraukan orang-orang yang panik atau takjub melihat anjing itu raib, tak juga aku pedulikan ratap menyayat dari rumah Daeng Manrawa. Aku segera bergegas pulang ke rumah dan mendapati Ibu sedang terbaring lemah di bawah selimut di kamarnya yang lembap, pengap, dan menguarkan aroma tak sedap. Di sudut kamar, Bapak mendekap matanya yang sembap dengan jemarinya yang bergeletar. Aku yakin Bapak baru saja menangis.
Ibu menatapku dengan sayu dan mengulurkan tangan ke arahku. Mari, Nak, Ibu ingin mendekapmu, begitu isyarat yang aku terima. Dan, belum lagi aku sempat merapat di dipan, Ibu berteriak dengan suara yang nyaris tak dapat telingaku menangkap suaranya dengan jelas. “Ambil, Nak, ambillah!” Begitu desis Ibu. Apa yang harus aku ambil, apa yang hendak Ibu berikan? Tapi semuanya terlanjur kasip, terlambat, Ibu sudah tiada. Dan, mata Bapak semakin sembap, semakin bengkak. Seperti Bapak, aku telah kehilangan, pikirku.
Sejak itu aku menganggap Tutu ialah muara tempat petaka ini berulu. Sejak itu pula persahabatan kami merenggang. Dan, aku ingin membunuhnya!
[5]
Tapi itu taklah mudah. Sejak lahir, Tutu mewarisi bakat tak terhingga dari kegemilangan masa lalu. Dia terlahir sungsang dengan kaki terjulur lebih dulu dan ari-ari terselempang membelit tubuh dan lehernya. Konon, itu pertanda dia memiliki banyak kekuatan gaib melihat segala hal yang musykil dan ganjil, termasuk parakang. Alhasil, dia disayang dan disanjung banyak orang. Sedangkan aku. Ah, aku bukan sesiapa. Selain anak tunggal yang kelak mewarisi kekayaan keluarga, dan ilmu yang sama sekali tak pernah hendak kuwarisi—parakang.
Namun, segala telah terjadi, aku harus menempa diri.
Aku melanglang buana demi dendam yang tak surut. Demi mendedah energi yang kerap dikisahkan Ibu, aku ziarah ke makam William Butler Yeats di Drumcliff, Irlandia. Demi aura magis yang kuharap merasuk ke jiwaku, aku sudah sambangi kastil yang dulu menjadi latar cerita Macbeth karya agung Shakespeare, Glamis Castle di Forfar, Skotlandia. Aku juga sengaja bertapa beberapa hari di Elo Progo, muara tempat dua sungai bersatu di dekat Candi Borobudur. Dan tak terbilang tempat lain yang telah kukunjungi. Konon, seperti pesan Bapak dan Ibu, aroma magis tempat-tempat itu akan menguatkan ilmuku.
Begitu kembali ke tanah kelahiran, Tutu semakin kuat, semakin tangguh. Aku tetap akan membunuhnya, seperti dulu dia sebabkan kematian Ibu. Malangnya, aku kalah duel satu lawan satu. Kembara selama berpuluh-puluh tahun, ternyata belumlah cukup untuk menaklukkan kekuatan Tutu.
[6]
Hanya ada satu cara untuk membunuh Tutu: Merebut Lebang. Dan, itulah yang kulakukan. Membawa lari perempuan cantik itu setelah menundukkan hatinya lewat mantra pengasih. Maka, di sinilah aku hari ini, di Makalehi—sebuah pulau di antara puluhan pulau terluar di Indonesia. Jauh dari Tutu, jauh dari kepahitan masa kecil karena kehilangan Ibu, jauh dari tatapan jijik orang-orang kampung tersebabkan satu tudingan: Keluargaku parakang.
Apa kabar, Tutu? Aku larikan nyawamu, Lebangmu! [*]
Jakarta, April 2010