Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Semangat Kartini dalam Perjuangan Kesetaraan Gender Politik

21 April 2010   00:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:40 2307 0
Perjuangan Kartini dalam membela hak-hak kaum perempuan dan perjuangannya yang fenomenal patut dikenang dan dijadikan spirit sampai kapanpun. Karena sosok Kartini adalah pejuang kesetaraan gender pertama yang pernah ada di Indonesia. Walau Kartini bukanlah sosok hero seperti Tjut Nyak Dien yang memanggul senjata dan memimpin perang melawan penjajah Belanda di Tanah Rencong.Ia adalah seorang tokoh pertama pendobrak patron dan paham patriakhi dalam budaya masyarakat Jawa yang kental. Pemikirannya yang aneh dan menyalahi adat pada jamannya saat itu, justru menjadi tonggak sejarah bangkitnya perjuangan wanita dalam mengalahkan tirani dan penindasan terhadap perempuan. Ia juga boleh dibilang adalah sosok yang lebih maju setengah abad dari jamannya. Meski akhirnya kepahlawannya justru dipertanyakan pada akhir-akhir ini. Ia bukanlah pahlawan perempuan yang sebenarnya yang memperjuangkan azasi wanita. “Kelemahan”nya dimulai ketika Kartini memutuskan untuk menerima aturan dan tradisi yang dibebankan kepadanya, bersedia menuruti adat bangsawan Jawa sampai mau menikah dengan bupati Rembang yang dijodohkan kepadanya. Keputusannya itu membuat ia harus melepaskan mimpinya untuk menimba ilmu di negeri Belanda dan menjadi perempuan intelektual. Keputusan inilah yang dianggap sebagian kalangan kontradiktif dengan apa yang terus  diperjuangkannya selama ini. Kartini dianggap tidak konsisten terhadap idealisme yang didengungkannya sendiri. Bahkan ia juga dianggap telah menggadaikan idiologinya demi kelanggengan kehidupan ningrat yang dimilikinya. Terlepas dari “kelemahan” yang ditunjukkan oleh Kartini saat dia menerima aturan dan tradisi yang dibebankan kepundaknya tersebut. Namun usaha-usaha yang dilakukan Kartini dalam membela hak-hak kaum perempuan dan usahanya menjebol keangkuhan tembok feodalisme kaum ningrat Jawa bernama patriakhi patut terus diteladani dan dijadikan inspirasi serta penyemangat untuk terus memperjuangkan adanya kesetaraan gender  di kehidupan bermasyarakat negeri ini di semua sektor termasuk di dalamanya di dunia perpolitikan. Saat ini peran politik kaum perempuan masih sangat kurang. Hambatan utama disebabkan oleh cara pandang dan memperlakukan perempuan yang salah. Budaya patriarkhi di kalangan masyarakat masih sangat mengakar dan mendominasi dalam kehidupan. Bahkan dalam lingkungan sosial terkecil seperti keluarga, nuansa dominasi laki-laki masih sangat kuat. Terlebih di pedesaan. Label dan cap yang diberikan pada sosok perempuan sangat kental sebagai orang lemah, tidak bermanfaat dan terbelenggu ketergantungan telah di doktrin secara turun temurun. Perempuan dipersepsikan sebagai orang kelas dua yang seharusnya di berada rumah dan bahkan sekarang ini perempuan semakin dibuat terlena oleh konsumerisme dan hidonisme dalam cengkeraman kapitalisme yang dikampanyekan oleh siaran-siaran TV setiap saat dari pagi ke siang sampai petang dan dari petang sampai pagi lagi.  Sehingga perempuan lemah tidak sepatutnya bergelut dengan dunia politik yang penuh dengan kekerasan dan kekasaran permainan kekuasaan. Perempuan dinilai tidak mampu memimpin dan membuat kebijakan karena patron membentuk perempuan sangat tendensius mengutamakan perasaan sehingga jauh dari sikap rasionalitas. Persepsi negatif ini dilekatkan pada perempuan sendiri telah terstruktur sedemikian rupa dibenak kaum laki-laki dan juga kaum perempuan sendiri.

Keterwakilan Perempuan di DPR/DPRD.

Kuota 30% yang diberikan untuk keterlibatan perempuan dalam politik dan keterwakilan perempuan dalam parlemen yang diamanatkan oleh Undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-undang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik (Parpol) masih sangat jauh di kenyataan sesungguhnya. Walau sejatinya angka 30% ditinjau dengan hitungan statistik berdasarkan jumlah masih dinilai tidak adil. Namun sebagian kalangan perempuan yang lain menyambut hal ini sebagai langkah maju untuk memberi gerak bagi perekrutan kaum perempuan dalam langgam politiknya. Karena selama ini perempuan hanya berjumlah 12 % saja yang berkiprah dalam ruang sidang di Senayan (hasil pemilu 2004).

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun