Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Perihal Mencintai: Gus Mus (1)

15 Juli 2019   14:05 Diperbarui: 15 Juli 2019   14:09 50 1
Pada akhir unek-unek yang lalu saya mengatakan, untuk belajar mencintai kita perlu meneladani orang-orang yang spritiual dan intelektualnya mapan. Maka saya petik beberapa perangai cinta Prof. Quraish Shihab yang menurut saya apik dan menentramkan.

Adalah Gus Mus, kali ini yang menurut saya layak menjadi kiblat perihal mencintai. Cintanya Gus Mus adalah yang menarik orang untuk tetap saling mencintai kepada siapapun, terhadap yang melukai sekalipun.

Dalam beberapa kesempatan Gus Mus sering menerangkan bahwa jika kita hendak mencintai, maka kita harus kenal dengan siapa yang kita cinta. Cinta tanpa kenal hanya menumbuhkan kesalahpahaman.

Gus Mus memberikan sebuah analogi untuk pernyataannya tersebut, analogi ini adalah kisah Gus Mus dengan alm. Nyai Siti Fatma, istrinya.

Dahulu, sebelum menikah komunikasi antara mereka berdua hanya melalui surat. Gus Mus di al-Azhar Cairo sedangkan Nyai Fatma berada di Yogyakarta. Jatuhnya Nyai Fatma ke pelukan Gus Mus salah satunya memang melalui surat-menyurat ini. Dan tidak rahasia lagi bahwa Gus Mus mahir berbahasa dan menulis puisi.

Lewat kertas dan tinta ini benih-benih asmara tumbuh dan tumbuh. Mereka saling mengenal lewat persuaan hitam-putih ini. Tapi tentu, perkenalan ini belumlah cukup untuk bekal mengarungi sebuah bahtera bersama.

Suatu hari, sepertinya masih di awal-awal pernikahan, Bu Nyai Fatma memasak opor spesial untuk Gus Mus. Opor ayam dengan santan yang pekat, semakin kental santannya pastilah semakin sedap opor ini, maka untuk memasaknya Bu Nyai Fatma menggunakan tiga buah parutan kelapa untuk dijadikannya santan.

Singkatnya masakan telah jadi, aromanya memenuhi penjuru ruangan. Dengan hati berbunga-bunga Bu Nyai Fatma menghidangkan makanan. Gus Mus hadir dan duduk untuk makan, dan ketika makan, tak disentuhnya sama sekali barang sesendok opor cinta buatan Bu Nyai Fatma. Tertarik pun tidak.

Bu Nyai Fatma tergores, nangis sejadi-jadinya lalu curhat kepada ibu mertuanya. Sambil sesenggukan beliau 'wadul' kepada ibu Gus Mus, bahwa sudah susah payah mempersembahkan masakan, tapi malah tidak diindahkan oleh suami tercintanya. Berbunga-bunganya tadi seketika layu, alih-alih berharap pujian, dicicip saja tidak. Tersisa gonduk bin mangkel.

Ibu mertuanya memberi tahu hal mengapa Gus Mus tidak mau makan opor tadi, ternyata dari dulu Gus Mus memang tidak pernah suka dengan makanan bersantan, apalagi jika tahu santannya dosisnya dari parutan 3 buah kelapa. Bukan main. Gus Mus lebih cocok dengan makanan 'garingan'. Favorit beliau cukup lauk dengan sambal.

Cerita ini diibaratkan Gus Mus sebagai pecinta yang belum mengenal kekasihnya. Ingin menyenangkan yang dicintai tapi tidak kenal dengan yang dicintai sering kali malah menimbulkan salah paham, zonk. Maka dari itu cinta memang harus kenal. Mengenal itu butuh proses, dan proses terbaik tentu saja dalam bingkai rumah tangga.

Gus Mus juga memakai kaidah 'cinta harus kenal' ini untuk cinta kepada Tuhan. Banyak orang yang belum kenal siapa Tuhannya, tapi hendak sok menyenangkan Tuhannya. Banyak yang mengira membela, melakukan sesuatu demi Tuhan tapi dengan menyakiti sesamanya. Di mana letak cintanya? Alih-alih membela Tuhan, menyenangkan Allah Swt., tapi malah menyulut murkaNya.

Muhammad Khozin ( 15/07/19).

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun