Posisi generasi milinial saat ini memang sangat diperhitungkan pada tahun politik mendatang. Hal ini menunjukkan bahwa generasi milenial sangat dibutuhkan dalam kemajuan dan perkembangan kebijakan-kebijakan strategis yang bermanfaat bagi lingkungannya. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tahun 2018 lalu, jumlah pemilih muda generasi milenial mencapai 70-80 juta jiwa dari total 193 juta pemilih se-Indonesia. Artinya, hampir 40% pemilih milenial memiliki pengaruh yang besar terhadap hasil pemilu dan dalam menentukan pemimpin untuk masa mendatang.
Belakangan ini, kita juga melihat beberapa partai politik yang melakukan kampanye dengan semboyan "Politik Anak Muda". Inisiatif untuk menyusun strategi kampanye berbasis keterlibatan anak muda merupakan salah satu langkah efektif bagi partai meraup suara mayoritas yang saat ini dimiliki anak-anak muda. Seperti halnya Partai Amanan Nasional (PAN) membentuk Kaukus Milenial, Partai NasDem membentuk Garda Pemuda NasDem, dan partai lainnya yang juga sama memiliki fokus perekrutan suara milenial. Hal ini tentu didasarkan pada kesempatan strategis bagi para organisasi-organisasi politik untuk melalui berbagai percepatan dalam memberikan ruang bagi anak muda untuk terjun ke dalam dunia politik praktis.
Maka dari itu, agar anak-anak muda mampu beradaptasi memberikan dampak positif sebagai arti kehadiran mereka dalam proses kontestasi politik mendatang dibutuhkan adanya bekal pengetahuan sebagai modal mereka dalam bersaing secara ideal dan konsisten. Anak muda sebagai bonus demograsi harus dimaknai sebagai kesempatan bagi Indonesia untuk melalukan berbagai percepatan pembangunan dengan dukungan sumber daya manusia (SDM) produktif yang melimpah. Apalagi ini berkaitan dengan agenda besar pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals) Indonesia di tahun 2030.
Gejolak keterlibatan anak muda dalam kontestasi politik nasional bisa dimaknai sebagai dampak baik dan buruk. Salah satu dampak buruk akibat dari keterlibatan anak muda sebagai partisipasi politik adalah ketidakingintahuan (apatisme) mereka terhadap proses politik yang terjadi saat ini. Akibatnya, banyak pemilih muda mengabaikan seluruh pelaksanaan politik yang diakibatkan dari tindakan penyelewengan tugas oleh para perumus kebijakan. Inilah yang harus menjadi perhatian utama terkhusus bagi pemerintah dan partai politik untuk dapat menumbuhkan kembali kepercayaan anak-anak muda untuk berpartisipasi ke dalam dunia politik.