Menjelang akhir masa jabatannya pada 20 Oktober 2024, sejumlah media mencatat sedikitnya sebanyak delapan kali Presiden Joko Widodo meminta maaf kepada rakyat Indonesia dalam berbagai kesempatan. Antara lain di Istana Merdeka pada 1 Agustus 2024 serta pada Sidang Tahunan MPR pada 16 Agustus 2024. Kemudian teranyar pada 2 Oktober saat blusukan di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Salah satu momen paling signifikan dalam rangkaian permintaan maaf tersebut terjadi pada 15 Juli 2024, ketika Jokowi meminta maaf atas ambisinya memindahan ibukota negara (IKN) ke Kalimantan Timur, yg ditandai dengan melakukan peringatan HUT RI ke-79 dengan anggaran yg luar biasa besar. Walaupun semua tahu ternyata kemudian rencana pemindahan ibukota tsb kemudian dianulir oleh dirinya pada bulan September.
Seperti hampir semua mafhum, proyek ambisius IKN telah menimbulkan berbagai reaksi keras di kalangan masyarakat, baik karena anggaran pembangunanya yang telah menguras banyak sekali dana APBN maupun mengenai berbagai dampak buruk dan rusaknya lingkungan hidup wilayah tersebut.
Tanggapan para petinggi partai politik yg tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM), yang dipimpin oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto, terhadap permintaan maaf Jokowi bervariasi. Namun hampir semuanya memaklumi. Beberapa Parpol mendukung sikap Jokowi, dan menilainya sebagai bentuk kerendahan hati.
Namun, ada juga petinggi partai di KIM yang skeptis. Ia berpendapat permintaan maaf tersebut tidak cukup tanpa langkah konkret untuk mengatasi masalah yang dikeluhkan masyarakat, seperti pemindahan ibukota dan kebijakan ekonomi yang dianggap merugikan.
Sebagian dari mereka melihat permintaan maaf itu sebagai strategi politik untuk mempertahankan citra Jokowi menjelang akhir masa jabatannya dan menjaga hubungan baik dengan pemerintahan mendatang yang dipimpin Prabowo.
Petinggi PDI-P, yang kini berseberangan secara politik dengan Jokowi, jelas mengkritik permintaan maaf ini dan menganggapnya terlambat. Hal itu karena Jokowi dianggap telah banyak membuat kebijakan yang menimbulkan polemik namun tidak ditindaklanjuti dengan solusi yang memadai.
Sejumlah akademisi dan pengamat politik banyak yg juga memberikan tanggapan. Beberapa pengamat menilai permintaan maaf ini sebagai indikasi kesadaran politik Jokowi akan janji-janji yang belum sepenuhnya dipenuhi.
Meskipun dianggap simbolis, permintaan maaf konon mencerminkan upaya Jokowi untuk menjaga citra kepemimpinannya dan mempertahankan hubungan baik dengan rakyat, terutama di tengah kritik terhadap berbagai kebijakan kontroversialnya.
Sedangkan para ahli komunikasi politik menilai permintaan maaf Jokowi sebagai bagian dari strategi komunikasi untuk meredakan kritik di akhir masa jabatan, tanpa menunjukkan komitmen nyata untuk memperbaiki kebijakan yang dianggap bermasalah.
Permintaan maaf Jokowi yang bertubi-tubi tersebut jika dikaji menggunakan "Teori Kesopanan" Brown dan Levinson dalam buku mereka yang berjudul Politeness: Some Universals in Language Usage (1987), bisa dimaknai sebagai upaya menekankan pentingnya menjaga citra diri Jokowi dalam interaksi sosial.
Permintaan maaf Jokowi bisa ditafsirkan bertujuan melindungi "negative face," mengurangi dampak negatif dari kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat. Dengan meminta maaf, Jokowi sedang berusaha menjaga hubungan harmonis dengan masyarakat serta melindungi "positive face"-nya sebagai pemimpin yang peduli.
Penggunaan bahasa sopan dan kerendahan hati, dimaksudkan mencerminkan dan merupakan kesadaran Jokowi akan pentingnya kesopanan dalam komunikasi politik.
Selain itu, permintaan maaf Jokowi bisa dimaknai berfungsi sebagai strategi untuk meredakan kritik dan menjaga stabilitas sosial dan politik menjelang akhir masa jabatannya. Oleh karena itu dapat dipahami jika
diksi-diksi permintaan maaf Jokowi bertabur kosakata yang mengedepankan kesopanan positif serta menekankan empati terhadap rakyat.
Andaikan Jokowi merupakan presiden yg tdk "bermasalah" permintaan maaf terbuka kepada rakyat di akhir jabatannya tersebut sungguh merupakan prilaku yg sangat mulia. Tidak hanya dinilai menunjukkan kesadaran atas kegagalan atau kekurangan dirinya sebagai seorang pemimpin, tetapi juga sebagai sosok yg berupaya memperbaiki hubungan interpersonal antara pemerintah dan masyarakat.
Meskipun demikian, karena selama sepuluh tahun masa kepemimpinannya Jokowi dinilai telah membuat banyak sekali kebijakan yang dianggap menyengsarakan masyarakat, boleh jadi masyarakat menyikapi permintaan maaf Jokowi dengan skeptis, bahkan mungkin sinis.
Misalnya, akibat sikap ngotot Jokowi memindahkan ibukota negara di kawasan belantara hutan di Kalimantan Timur yang konon diniati mendistribusikan pertumbuhan ekonomi. Realitasnya justru telah menimbulkan berbagai ketidakpastian birokrasi dan kemasyarakatan serta ancaman dampak lingkungan masa depan yang membahayakan.
Begitu pula seringnya Jokowi melakukan kebijakan menaikan harga bahan bakar minyak (BBM), dan juga tarif BPJS Kesehatan. Semua itu tentu saja dirasakan telah membuat biaya hidup rakyat melambung tinggi dan memicu protes. Dan dalam menghadapi semua itu Jokowi dinilai tdk peduli.
Penanganan pandemi COVID-19 yang tidak konsisten oleh pemerintahan Jokowi yg telah menyebabkan kebingungan dan meningkatnya pengangguran masih sangat terasa benar bagi masyarakat kecil. Untuk ini pun Jokowi jg dinilai tdk perduli. Alih-alih memanfaatkanya untuk kepentingan "politisasi" lewat penggelontoran Bansos.
Meskipun dari pembangunan berbagai proyek infrastruktur besar dinilai telah berhasil meningkatkan konektivitas, tetapi dampak dari proyek tersebut seringkali mengakibatkan penggusuran dan kerusakan lingkungan. Terhadap realitas ini Jokowi pun dinilai sebagai pemimpin yg tidak peduli.
Di sisi lain, revisi Undang-Undang KPK yang dianggap telah melemahkan pemberantasan korupsi memicu demonstrasi, menciptakan ketegangan antara masyarakat dan pemerintah, Jokowi pun dinilai tutup mata dan mentulikan diri.
Begitu juga pengesahan Omnibus Law, yang dianggap mengabaikan hak-hak kaum buruh dan mengancam perlindungan lingkungan, juga menambah deretan kebijakanJokowi yang tidak pro rakyat.
Kemudian kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yg telah menyebabkan biaya pendidikan semakin mahal, sebagai presiden Jokowi diam seribu basa. Padahal akibat kebijakan ini telah mengakibatkan akses pendidikan tinggi masyarakat kelas menengah ke bawah, semakin tidak terjangkau.
Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi apakah rakyat akan memberikan maaf akan terganjal oleh perasaan dan rasa ketidakpuasan yang mendalam, harapan yang tidak terpenuhi, serta dampak jangka panjang dari kebijakan-kebijakan yang kini mereka rasakan.
Atas berbagai persoalan tersebut, meskipun pidato permintaan maaf Jokowi terlihat baik dan tulus dari sudut pandang teori kesantunan, tapi kepercayaan masyarakat terhadap Jokowi sudah terlanjur hancur. Masyarakat juga semakin kritis terhadap ungkapan-ungkapan Jokowi yang dianggap tidak sejalan dengan tindakan nyata dirinya.
Dengan demikian, upaya permintaan maaf Jokowi bagi sebagian mereka dianggap sekadar retorika politik kosong. Atau meminjam istilah Prabowo: hanya “omon-omon” belaka.
Kemudian yang pasti, semua kesalahan yang telah dilakukan oleh Tuan Jokowi akan membawa konsekuensi. Apakah itu? Kita saksikan saja nanti..*