Kekalahan Garuda muda di piala AFF U-23, saat menghadapi Vietnam muda menjadi pukulan berat bagi STY, selaku pelatih team Nasional Garuda muda U-23.
Mengingat kekalahan di laga final merupakan sebuah kekalahan yang pahit. Mengingat kalah atau menang seorang pelatih mempunyai tanggung jawab penuh sebagai arsitektur perancang permainan sepakbola.
Pukulan berat bagi STY di laga final menjadi sebuah pelecut semangat, tentunya kekalahan jangan dijadikan frustasi yang berlebihan, tetapi kekalahan menjadi pemacu untuk memenangkan pertandingan di laga selanjutnya.
Kekalahan memang menyakitkan, apalagi kekalahan di laga final, tinggal satu kali lagi kemenangan untuk menggenggam sebagai sang juara.
STY sebagai arsitektur dalam merencanakan sebuah permainan, tetapi STY dalam merancang kemenangan saat adu penalti, ternyata gagal menempatkan algojo sebagai juru tembak.
Kegagalan STY dalam meramu strategi adu penalti menjadi pembelajaran, bawah seorang kiper sudah seharusnya fokus menjaga gawang, tetapi STY memberi dua beban, sebagai algojo penendang penalti, sekaligus menjaga gawang.
Maka dari sinilah! Akhirnya, kegagalan Garuda muda U-23 menjadi juara. Karena tak lepas STY menunjuk kiper sebagai juru tendang. Sehingga kiper mengalami kegagalan dalam mencetak goal yang diharapkan.
Kegagalan kiper Garuda muda U-23, tak lepas dari beban mental, selain skill yang di milikinya. Karena di saat adu penalti kiper mempunyai beban mental menjaga gawang. Namun kiper di beri tugas sebagai algojo penendang penalti.
Maka kiper mempunyai dua beban yang sangat berat. Sehingga STY menunjuk kiper sebagai algojo dalam adu penalti kurang tepat. Mengingat masih ada pemain lainnya, selain kiper untuk dijadikan juru tembak dalam adu penalti.
Berangkat dari kekalahan di laga final piala AFF U-23 inilah! Menjadi sebuah beban STY sebagai arsitektur dalam merencanakan permainan.
Sekian ulasan singkat dari saya dan terima kasih atas kunjungannya.