Dalam pemberitaan konflik, media yang diwakili oleh seorang jurnalis dituntut untuk berada pada posisi tengah antarpihak yang terlibat konflik. Dalam kode etik junalistik juga telah disebutkan bahwa seorang jurnalis harus menjalankan profesinya secara independen dengan mengikuti kaidah-kaidah jurnalistik. Tidak boleh memihak pada salah satu pihak atau hanya menyuarakan sebelah pihak dan menafikan pihak yang lain. Pemberitaan tidak boleh membawa kepentingan salah satu pihak, sebab semua pihak dianggap memiliki hak yang sama atas dalam pemberitaan maupun mendapatkan layanan informasi.
Namun, realitas media memberitakan sebuah konflik bukanlah persoalan sederhana. Efek pemberitaan konflik melalui media massa memiliki dua sisi ambivalen: mempertajam atau sebaliknya, mereduksi konflik. Setidaknya ada tiga posisi media dalam memberitakan konflik. Pertama, media sebagai issue intensifier: media berposisi memunculkan konflik kemudian mempertajamnya. Dalam posisi ini, media mem-blow up realitas menjadi isu sehingga seluruh dimensi konflik menjadi transparan.
Kedua, media sebagai conflict diminisher, yakni menenggelamkan suatu isu atau konflik. Secara sengaja media meniadakan isu tersebut, terutama bila menyangkut kepentingan media bersangkutan, baik kepentingan ideologis maupun pragmatis.
Ketiga, media berfungsi sebagai pengarah konflik (conflict resolution), yakni menjadi mediator dengan menampilkan isu dari berbagai perspektif serta mengarahkan pihak yang bertikai pada penyelesaian konflik. Lewat pemberitaan di media, pihak yang terlibat diharapkan memahami sudut pandang pihak lain, mengatasi prasangka dan kecurigaan, serta mengevaluasi ulang sikap apriori yang semula terbentuk.(Iwan Awaluddin Yusuf, 2010)
Dalam hal ini, media CNN bertindak media sebagi issue intersifier sebagai dari peranan nya dalam mem blow up berbagai tagar #KupasTuntas dan pemberitaan video berjudul "Rekonsiliasi Untuk Papua Damai". Untuk pemberitaan CNN terkait kebebasan pers dan otoritarianisme subnational hanya ditemukan satu artikel dimana CNN membingkai berita tersebut dalam suguhan yang menarik yaitu tentang referendum Papua di PBB. CNN memberitakan tentang referendum Papua yang dimuat dalam "Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesia kembali menegaskan bahwa pemerintah tak mungkin mengulang referendum Papua. Duta Besar Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Hasan Kleib, menyampaikan langsung penegasan tersebut dalam debat publik di Jenewa, Swiss.
"Terkait isu aspirasi referendum, ditegaskan oleh Dubes Kleib bahwa referendum telah dilaksanakan tahun 1969 dan disahkan hasilnya melalui Resolusi Majelis Umum PBB No. 2504/1969 yang sifatnya final," demikian kutipan siaran pers Perwakilan Tinggi RI di Jenewa, Jumat (13/9) dalam judul "Di PBB, Indonesia Tegaskan Mustahil Ulangi Referendum Papua" selengkapnya di sini: https://www.cnnindonesia.com/internasional/20190913121912-106-430189/di-pbb-indonesia-tegaskan-mustahil-ulangi-referendum-papua. Pada kesimpulannya, CNN sebagai media telah berperan dalam proses pemberitaan isu di Papua baik isu terkait kebebasan pers maupun isu lainnya yang kemudian bisa disuguhkan secara mendalam melalui fakta fakta yang ada. Sehingga posisi CNN sebagai media global dapat dikatakan dalam posisi belum mencapai menyelesaikan konflik yang terjadi yaitu kebebasan pers dan otoriter di negara demokrasi. CNN mempertajam berita yang berasal dari fenomena yang terjadi sehingga menjadi suatu berita yang berbobot dari konflik yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Tapsell, R. (2016, Januari 19 ). The media and subnational authoritarianism in Papua.
Lpmdinamika.co. (2013, November 13). Peran Media di Tengah Konflik. https://lpmdinamika.co/tidak-ada/peran-media-di-tengah-konflik/