Babak I: Tiga Poros Kekuatan
Jonathan Miller, delegasi Amerika Serikat, berdiri dengan percaya diri. Suaranya bergema di aula besar:
"Amerika tetap berdiri teguh mendukung Israel. Perdamaian di kawasan hanya bisa dicapai jika Iran menghentikan ambisi nuklirnya dan kelompok teroris di Palestina disingkirkan."
Ivan Smirnov, delegasi Rusia, membalas dengan tenang:
"Hegemoni seperti itulah yang memicu kekacauan ini. Dukungan Anda kepada Israel dan sekutu Anda hanya memperpanjang penderitaan rakyat Palestina."
Li Wei, dari Cina, berbicara dengan gaya diplomatik:
"Terlalu banyak tangan bermain di Timur Tengah. Cina tidak memilih pihak, tetapi menyerukan solusi berdasarkan keadilan global, bukan kepentingan sepihak."
Di sudut lain, delegasi Arab Saudi, Pangeran Khalid bin Salman, menyatakan:
"Kami mendukung perdamaian, tetapi stabilitas kawasan harus dimulai dengan memulihkan hubungan diplomatik yang sehat antara negara-negara Teluk dan dunia Muslim."
Dari Mesir, Menteri Luar Negeri Omar Al-Sisi menambahkan:
"Mesir akan tetap menjadi penjaga perdamaian. Tapi dunia harus memahami, tanpa keadilan bagi Palestina, tidak akan ada stabilitas."
Sementara itu, Yaman yang dilanda perang sipil mengirim delegasi kecil, seorang ulama muda bernama Sheikh Ahmed, yang berbisik pada delegasi Iran di sela konferensi:
"Bukankah waktunya kita mengakhiri konflik internal ini sebelum berbicara tentang perang besar?"
Babak II: Di Tanah Konflik
Di Gaza, seorang pemuda bernama Yusuf berdiri di antara reruntuhan rumahnya. Ia baru saja kehilangan saudara perempuannya dalam serangan udara Israel. Di sisi lain, di Tel Aviv, seorang tentara muda Israel bernama David memandangi foto keluarganya sambil bertanya-tanya apakah semua ini sepadan dengan darah yang tertumpah.
Di Teheran, Iran, seorang komandan militer mempersiapkan serangan balasan terhadap Israel. Tetapi ulama tertinggi memperingatkan:
"Jika perang ini hanya membawa kehancuran lebih banyak, lalu apa artinya perjuangan kita?"
Arab Saudi mulai memainkan peran sebagai mediator. Dalam pertemuan rahasia di Riyadh, Pangeran Khalid bertemu dengan utusan Iran, Palestina, dan Amerika. Di sana, ia berkata:
"Kami berada di tengah dunia Islam. Jika perang terus terjadi, kami semua yang akan terbakar. Kita harus menemukan jalan keluar bersama."
Babak III: Sekutu Amerika Bergerak
Di Washington, tekanan datang dari negara-negara sekutu Amerika di Eropa dan Asia untuk menghentikan dukungan buta kepada Israel. Jepang dan Jerman mendesak agar Amerika memainkan peran sebagai penjaga perdamaian, bukan provokator perang.
Namun, sekutu tradisional Amerika seperti Uni Emirat Arab dan Bahrain mencoba menyeimbangkan diri. Mereka mendukung Abraham Accord tetapi juga khawatir bahwa perdamaian dengan Israel justru memicu ketegangan lebih besar di dunia Islam.
Di Mesir, Presiden mendesak pengaktifan kembali Inisiatif Perdamaian Arab yang telah lama diabaikan.
"Hanya solusi dua negara yang dapat menyelesaikan masalah ini. Dunia harus memilih untuk berhenti memihak dan mulai berdialog."
Epilog: Harapan di Tengah Kekacauan
Konferensi itu tidak menghasilkan kesepakatan besar, tetapi berhasil menciptakan momentum baru. Sebuah tim independen yang terdiri dari perwakilan negara-negara Teluk, Iran, Mesir, Rusia, Amerika, dan Cina dibentuk untuk merancang peta jalan perdamaian yang melibatkan semua pihak, termasuk Palestina dan Israel.
Di Gaza, Yusuf menatap ke arah barat, berharap hidup lebih baik. Di Riyadh, Pangeran Khalid mengirim pesan damai ke Teheran. Di Tel Aviv, David berbicara dengan ayahnya tentang keinginannya meninggalkan militer. Di aula PBB, Ivan dan Li Wei sepakat bahwa dunia memerlukan titik tengah untuk menghindari kehancuran besar.
Dunia masih jauh dari perdamaian, tetapi ada secercah harapan bahwa titik tengah itu bisa ditemukan.
TAMAT