Fenomena ini semakin berkembang, terutama dalam hubungan di mana salah satu pihak, yang secara material sangat bergantung pada pasangan, justru mengklaim independensi. Padahal, di balik citra tersebut, tuntutan materi menjadi fokus utama hubungan. Sikap ini membuat istilah independen kehilangan makna aslinya, karena independensi sejati seharusnya diukur dari kemampuan untuk berdiri sendiri tanpa memanfaatkan relasi sebagai sarana pemenuhan kebutuhan material.
Label "independen" ini sering digunakan untuk melindungi diri dari kritik, seolah-olah tuntutan mereka untuk gaya hidup mewah atau fasilitas tertentu sepenuhnya sah karena mereka adalah pribadi yang "mandiri". Namun, dalam banyak kasus, keinginan akan validasi sosial melalui materi seringkali mendominasi sikap ini. Istilah "realistis" juga digunakan dengan cara serupa, di mana ekspektasi finansial yang tinggi terhadap pasangan dianggap sebagai standar wajar untuk membangun relasi yang stabil.
Pengaruh media sosial dan tren gaya hidup glamor turut memperburuk fenomena ini. Banyak orang merasa bahwa pencapaian pribadi atau identitas mereka didasarkan pada barang yang mereka miliki atau gaya hidup yang mereka pamerkan. Akibatnya, tekanan untuk memenuhi tuntutan material semakin kuat, sehingga merusak keseimbangan emosional dan intim dalam hubungan.
Penting untuk lebih kritis terhadap penggunaan istilah "realistis" dan "independen" dalam konteks ini. Kemandirian sejati dalam sebuah hubungan berarti mampu berdiri sendiri secara emosional dan finansial, tanpa menggantungkan diri pada keuntungan materi dari pasangan. Dengan pemahaman ini, kita dapat membedakan antara relasi yang sehat dan yang terjebak dalam pola materialisme terselubung.