Standar kecantikan yang berkembang saat ini sering kali tidak logis dan tidak realistis. Misalnya, kulit mulus, bebas dari bulu tubuh, dan rambut lurus dianggap ideal, sementara kondisi alami seperti hiperpigmentasi sering kali disembunyikan. Hal ini tidak hanya berdampak pada wanita; pria pun menghadapi tekanan untuk memiliki tubuh berotot dan bebas bulu, menunjukkan bahwa fenomena ini mencakup semua gender.
Pengaruh media sosial sangat signifikan dalam memperkuat citra tubuh ideal. Algoritma media sosial cenderung menampilkan konten yang sesuai dengan standar kecantikan tertentu, menjadikan influencer dan selebriti acuan bagi banyak orang. Norma budaya yang mendorong pernikahan di usia tertentu hanya menambah kecemasan, dengan anak muda merasa tertekan untuk memenuhi harapan masyarakat.
Tekanan untuk memenuhi standar kecantikan yang tidak realistis berdampak serius pada kesehatan mental. Banyak anak muda yang mengalami rasa rendah diri, kecemasan, dan depresi ketika penampilan mereka tidak sesuai ekspektasi. Body dysmorphia, atau ketidakpuasan ekstrem terhadap penampilan, semakin meningkat di kalangan pria dan wanita. Selain itu, mereka yang belum menikah di usia yang dianggap "ideal" sering merasa gagal, menambah kecemasan sosial.
Untuk mematahkan siklus ini, penting bagi anak muda untuk memahami bahwa kecantikan dan kesuksesan hidup tidak bisa diukur dengan satu standar. Penerimaan diri dan kesadaran akan keragaman tubuh serta jalur hidup yang berbeda-beda menjadi kunci. Peran media, sekolah, dan keluarga sangat vital dalam menumbuhkan kesadaran bahwa tidak ada definisi tunggal untuk kecantikan atau usia pernikahan yang benar. Keberagaman harus dirayakan, bukan dibatasi.
Standar kecantikan yang sempit dan tekanan untuk menikah di usia tertentu merupakan konstruksi sosial yang berbahaya. Mereka menciptakan ilusi bahwa ada "ideal" yang harus dicapai, padahal kenyataannya, tidak ada satu definisi untuk kecantikan atau kesuksesan hidup. Diperlukan pergeseran paradigma yang mengajak anak muda untuk merayakan keunikan dan perjalanan hidup masing-masing. Dengan melawan narasi toksik ini, kita bisa menciptakan ruang bagi penerimaan diri dan kebebasan dari tekanan sosial.