Dalam kehidupan nyata, seringkali terjadi bahwa perempuan diharapkan untuk menikah pada usia yang relatif muda sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh masyarakat. Norma-norma sosial yang menganggap pernikahan sebagai sebuah pencapaian penting bagi seorang perempuan seringkali menekan mereka untuk menikah dalam waktu yang relatif cepat setelah mencapai usia dewasa. Hal ini tercermin dalam cerita-cerita tentang pernikahan dini dan tekanan sosial yang dialami oleh para tokoh perempuan dalam "Kitab Kawin".
Tuntutan untuk menikah sering kali tidak hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam keluarga dan lingkungan terdekat perempuan tersebut. Di banyak komunitas, perempuan sering diberi tekanan untuk segera menikah, seringkali karena keyakinan bahwa pernikahan adalah satu-satunya jalan menuju kebahagiaan dan kesuksesan bagi seorang perempuan. Ini menciptakan paradoks di mana perempuan dihadapkan pada pilihan antara mengikuti tuntutan sosial atau mengejar impian dan aspirasi pribadi mereka.
Dalam konteks ini, "Kitab Kawin" menjadi lebih dari sekadar sebuah karya sastra; ia menjadi sebuah kritik sosial terhadap norma-norma yang membatasi kebebasan dan potensi perempuan. Melalui cerita-ceritanya yang kuat, Laksmi Pamuntjak menyoroti betapa pentingnya untuk membebaskan perempuan dari belenggu standar-standar pernikahan yang telah dibentuk oleh masyarakat. Ia mengajak pembaca untuk merenung tentang kompleksitas dan tekanan yang dihadapi perempuan dalam menghadapi harapan-harapan yang ditetapkan oleh masyarakat, serta untuk mendukung perjuangan menuju kesetaraan gender dan kebebasan individual.
Dengan demikian, "Kitab Kawin" tidak hanya merupakan sebuah karya sastra yang menghibur, tetapi juga sebuah panggilan untuk bertindak dalam mengubah realitas sosial yang ada, sehingga setiap individu, tanpa memandang jenis kelamin, memiliki kesempatan untuk hidup sesuai dengan keinginan dan potensinya sendiri.