Matahari sudah melebihi sepenggalah. Halaman masjid Darussalam semakin ramai dipenuh-sesaki masyarakat yang ingin menyaksikan penyembelihan hewan kurban. Dua kepala sapi sudah digelindingkan, delapan tubuh kambing digantung di ranting-besar pepohonan. Aku bergeming. Tetapi, Untung yang datang bersamaku seperti sudah mules menyaksikan “pertumpahan darah”. Ia pun pamit pulang duluan.
Dalam perjalanan pulang, Untung bertemu Endang. Sebagai sahabat karib, plus tetangga dekat, Endang tentu tak mau hidup enak sendiri. Meskipun ia sendiri belum mencicipi sate kambing yang mengepulkan asap di depannya, ia mengajak Untung untuk ikut menikmati.
“Dari mana, Tung?” tanya Endang.
“Masjid,” jawabnya.
“Kok buru-buru, sini saja dulu, nyate nich.”
“Nggak ah, aku mau pulang saja. Aku juga mau nyate di rumah, ni sudah kubawa tusukannya,” jawab Untung sambil menunjukkan seikat tusukan sate yang telah dipersiapkan sembari menyaksikan penyembelihan.
Tidak seberapa lama, Untung sudah tiba di ambang pintu rumahnya.
“Hai, Tung,” sapa Mak Inah mengalihkan perhatian Untung dari membuka pintu.
“Ada apa, Mak?” tanya Untung.
“Tadi ada panitia kurban dari masjid At-Taqwa. Cuma, karena anakku merengek minta sate, sudah kubakar tuh di belakang,” jawab Mak Inah.
“Maap ya, Tung,” lanjutnya.
Untung pun memasuki rumah dengan langkah gontai. Harapannya bisa langsung membakar sate ngebul bersama permintaan maaf Mak Inah, tetangganya.