Setidaknya ada 2 peristiwa yang membuat saya terhenyak, merenung, dan merasa menemukan jawaban yang terkait diantara keduanya.
Semua adalah bagian dari masa lalu saya.
Yang pertama, pertemuan saya dengan wanita itu.
Kami bicara sekitar 2 jam.
Dari hati ke hati.
Belasan tahun lalu, kami pernah bertemu dalam keadaan ia menangis.
Ia harus memilih pilihan yang tidak ingin ia pilih.
Tak ada pilihan, ia terpaksa harus memilih pilihan yang tidak ingin ia pilih.
Dengan istikharah, ia memutuskan.
Namun saya tahu, ada doa yang ia panjatkan atas kesakitannya yang tak pernah ia ceritakan kepada siapapun.
Setelah beberapa bulan kembali berinteraksi dengannya, tiba-tiba kemarin, ia bercerita tentang pencarian panjangnya.
Ya, setidaknya sudah 3 kali ia merasa menemukan jawaban atas pencariannya itu.
Pencarian yang mungkin tidak masuk akal bagi kebanyakan orang.
Tapi ia kukuh menunggu jawabanNya untuk doa yang pernah ia pinta belasan tahun lalu.
Saya tidak tahu harus menyampaikan apa untuk meredakan sedihnya ketika berkisah.
Sudah beberapa bulan, ia memang menjadi pribadi yang sedikit berbeda.
Hingga kemarin, ia akhirnya bertutur.
Situasinya yang sudah menikah, mungkin tampak tak masuk logika jika ia masih mencari cinta sejatinya.
Upsssss, cinta sejati lagi? Hari begini?
Hehehe....
Hmffffhhhh...
Maaf.
Ya, bagi saya, cinta sejati memang sesuatu yang abstrak.
Kita tidak bisa melihat.
Kita tidak bisa mendengar.
Kita tidak bisa meraba.
Tapi, kita bisa merasakan dan kita tahu ia ada.
Seperti iman. Ini adalah tentang keyakinan.
Dan Allah Maha Mencintai yang sebagian kecil keMaha-anNya dilimpahkan kepada umatNya.
Dan cinta sejati sangatlah subyektif.
Masing-masing memiliki interpretasi yang mungkin tak pernah sama.
Dan wanita itu, kembali menangis di hadapan saya.
“Akhirnya aku menemukannya, pelabuhan terakhirku. Aku memang sudah menikah. Demikian pula dengannya. Tapi aku tahu, setelah pencarian panjang, aku yakin dialah cinta sejatiku. Ini mungkin kesalahan. Tapi mungkin ini juga kebenaran. Kita tidak pernah tahu. Allah yang lebih tahu. Tapi aku merasa... Dialah jawabanNya.”
Saya yang beberapa pekan ini juga gampang mengharu biru, jadi menitikkan air mata. Dia tidak pernah bercerita tentang pernikahannya yang selama ini tampak baik-baik saja. Saya tahu, dia tidak akan merusak pernikahannya dengan kabur bersama cinta sejatinya. Dan dia akan selalu berusaha bahagia dengan jalan hidupnya. Yang membuat saya takjub adalah keteguhan hatinya untuk menemukan cinta sejati sesuai yang ia yakini.
“Aku memang pernah salah mengira. Tapi justru dari kesalahan itu aku mengetahui mana yang benar. Aku senang akhirnya sampai pada hari ini. Aku sudah lelah mencarinya. Bahkan aku hampir mengira bahwa Allah tidak menjawab doaku. Tapi hari ini.... Aku mengetahuinya.... Aku merasa, memang ia pelabuhan terakhirku. Meskipun aku sempat ragu, tapi hari ini... Aku tak meragu. Aku akan menunggu sampai cinta ini dalam ridhoNya....”
Upsssss....
Saya termangu mendengar kata-katanya. Sampai sebegitu kukuhkah hatinya dengan apa yang ia yakini itu? Lalu bagaimana dengan suaminya? Lalu bagaimana dengan anak-anaknya? Apa maksud dari kata-katanya?
“Biar Allah saja yang menyelesaikan semuanya. Aku pasrahkan urusan cinta ini kepada Sang Pemiliknya. Setidaknya sekarang aku lega dan tak lagi penasaran. Aku akan belajar sabar menunggu sampai Allah mempertemukan kami. Jika tidak, aku yakin Allah punya cara sendiri untuk menyelesaikannya. Jika ia milikku, maka Allah pasti akan mengembalikannya kepadaku...”
“Ini Iis. Adam cerita kalau Mas X minta Adam bantu garap majalah. Awas ya, Mas X gak boleh hanya manfaatin Adam. Kalau memang mau bantu ya bantu beneran. Jangan hanya manfaatin untuk kepentingan sesaat. Adam itu sahabatnya Iis. Jangan mentang-mentang karena dia bisa nulis, terus dimanfaatkan. Kalau mau bantu, bantu Adam memperoleh pekerjaan yang baik. Adam itu belum punya pekerjaan tetap, belum menikah. Bla bla bla...................” cerocos saya langsung usai mengucapkan Assalamu’alaykum.
“Aku mau bantu Adam beneran, Is. Aku bayar dia. Dia akan aku kontrak. Ini profesional, Is. Dia dulu pernah jadi anak buahku. Aku gak mungkin mempermainkannya. Tahun depan aku akan perjuangkan dia untuk mengajar. Bla bla bla........” tutur Mas X dengan tenang sambil menguraikan rencananya untuk membantu Adam ke depan.
“Ya, beneran lho ya. Iis pegang omongannya Mas X.....” kata saya akhirnya.
“Is, aku masih punya tanggungan ke Iis. Aku mau membayarnya. Bla bla bla.......” sahut Mas X.
Karena terganggu sinyal, Mas X mengirimkan SMS. “Assalamu’alaykum Non. Minta no rekeningnya. Kalau punya Mandiri, BCA atau Muamalat, aku kirim sekarang juga. Aku kirim y juta dulu ya. Sisanya insya Allah bulan depan. Aku minta maaf. Bla bla bla..”.
Mmm... Saat itu juga saya mengirimkan pesan kepada sahabat saya di Yogya. Saya menceritakan tentang Mas X yang tidak ada angin tidak ada badai mengirimkan transferan uang yang menjadi piutang saya selama 8 tahun. Uang yang relatif tidak besar, tetapi Mas X membutuhkan waktu 8 tahun untuk dapat membayarnya. Ia membayar disaat saya membutuhkan dan di saat saya sudah belajar mengikhlaskannya. Mas X ternyata sudah berniat untuk membayarnya sebelum saya wisuda. Mas X menganggap saya selama ini mampu sehingga ia mendahulukan untuk membayar utang-utang yang lebih mendesak kepada pihak lain.
Sahabat saya kemudian menjawab via SMS, “Tuhhh kan... Jika itu milikmu pasti akan kembali padamu. Satu bukti janji Allah benar adanya.”
Membaca pesan pendek itu, saya kemudian tiba-tiba teringat kata-kata senada dari wanita yang saya temui sebelumnya. “..... Jika ia milikku, maka Allah pasti akan mengembalikannya kepadaku...”. Dan sahabat saya mengirimkan pesan “Jika itu milikmu pasti akan kembali padamu”. Apakah ini cara Allah menunjukkan jawaban atas keraguan saya kepada kata-kata wanita itu?
Ya Rabb, ampuni aku yang meragukan keyakinan wanita itu kepadaMu. Seketika Engkau menunjukkan kuasaMu dengan kejadian yang langsung terjadi kepadaku bahwa sesuatu yang memang menjadi milikku akan kembali padaku. Tak terbersit di pikiran hambaMu ini bahwa uang yang hilang 8 tahun lalu itu akan kembali kepadaku.
Ya Rabb, aku percaya maksud baikMu untuk semua penantian. Engkau yang lebih tahu kapan menjawab doaku. Cukup sabar dan sholat sebagai penolongku. Ya Rabb, aku percaya, jika ia milikku, maka Engkau pasti akan mengembalikannya kepadaku. Aku pun akan belajar sabar menunggu. La tahzan...!