Entahlah, hingga saat ini saya tidak pernah bertanya mengapa Pak Edi tampak tidak menyukai kesediaan saya menerima lamaran Partai X. Saya hanya bisa meraba-raba adanya praduga dari Pak Edi tentang Partai X yang mungkin dinilai beliau memiliki itikat untuk mendirikan negara Islam atau memiliki potensi untuk melemahkan Pancasila. Ya, Pancasila adalah harga mati bagi Pak Edi untuk Indonesia...
Ekonomi Pancasila VS Ekonomi Neoliberal
Pancasila adalah identitas bangsa ini yang bagi Pak Edi harus dipertahankan mati-matian. Idealisme ini kerap membuat Pak Edi berseteru dengan para ekonom lainnya, terutama yang berasal dari kampusnya, yang begitu mendewakan kurikulum barat yang sarat dengan paham neoliberal.
Jauh sebelum isu neoliberalisme diperbincangkan, Pak Edi sudah lebih dahulu mengkritisinya di ruang-ruang perkuliahan. Hampir semua buku-buku Pak Edi bicara tentang mewaspadai neoliberalisme dan mengedepankan ekonomi kerakyatan.
Isu ekonomi kerakyatan VS ekonomi neoliberal memang santer berkembang menjelang Pilpres 2009 lalu. Isu ini sangat krusial pula bagi Pak Edi. Lantaran hal ini pula, Pak Edi kerap dianggap sebagai ‘orang aneh, unik, nyeleneh, nyentrik, dll’ di mata sebagian besar kolega karena kekeuh menolak neoliberalisme dan selalu mengumandangkan ekonomi kerakyatan atau ekonomi Pancasila.
Pak Edi mengungkap bahwa pengajaran ilmu ekonomi di kampus-kampus telah ‘keliru’. Banyak dosen dan mahasiwa yang terperosok ke dalam perangkap teoretikal-parsial dan menerima begitu saja asumsi dasar neoklasikal yang mengacu pada pola pemikiran ekonomi Barat yang sempit dan ortodoksi.
Ketika saya bertanya tentang banyak ekonom yang menolak jika dikatakan bahwa mereka pengusung neoliberalisme, Pak Edi menjawab, ekonom-ekonom tersebut tidak pernah merasa bahwa apa yang selama ini mereka ajarkan adalah ekonomi neoliberal. Sesungguhnya, para ekonom ini terkurung oleh kurikulum dan silabus ilmu ekonomi neoklasikal. Mereka kebanyakan taken it for granted dan tidak mampu melihat luas aksioma, paradigma atau grand assumptions yang melatarbelakangi berbagai paham dan teori ekonomi yang ada.
Di setiap perkuliahannya, Pak Edi selalu menekankan agar penolak paham neoliberalisme harus memahami terlebih dahulu paham individualisme vs paham kolektivisme. Hal ini menjadi penting agar mereka tidak sekedar mengekor, tetapi memang memahami mengapa mereka harus menolak paham tersebut.
Akibat nyata dari paham neoliberalisme yang merajalela, dinyatakan Pak Edi tercermin dari mentalitas dan moralitas birokrasi yang makin terjebak dalam komersialisasi jabatan sebagai abdi negara. Masyarakat makin terdikte untuk mengkonsumsi barang dan jasa yang padat import-contents. Bahkan, ketergantungan sektor manufaktur yang besar terhadap import-contents menjadi salah satu penyebab utama mengapa krisis moneter dengan hebatnya memperpuruk perekonomian nasional. Pedihnya, pihak asing dan kompradornya kian menguasai surplus ekonomi Indonesia terhadap strata bawah dari struktur sosial dan konstelasi ekonomi. Pinjaman luar negeri yang menumpuk kian meningkatkan intervensi negara-negara donor yang merusak prinsip-prinsip ekonomi. Ini semua tidak lepas dari hegemonisme dan berkembangnya imperialisme baru yang menyebabkan disempowerment terhadap bangsa ini.
Kegigihan pengusung neoliberalisme untuk masuk ke Indonesia semakin jelas terlihat dari upaya mereka untuk memasukkan paham tersebut dalam konstitusi melalui “efisiensi”. Pak Edi mengungkap bahwa perkataan “efisiensi” dalam perekonomian berorientasi pada maximum gain dan maximum satisfaction. Inilah paham liberalisme yang beroperasi melalui laissez-faire. Laissez-faire membuka jalan daulat pasar menggusur daulat rakyat. Laissez-faire akan menggusur orang miskin dan bukan menggusur kemiskinan. Syukurlah, niat terselubung tersebut dapat dipatahkan sehingga berganti menjadi “efisiensi berkeadilan” yang akhirnya mengubah keseluruhan niat terselubung tersebut untuk memasukkan pandangan neoliberalisme ke dalam amandemen Pasal 33 UUD 1945.
Mmm, ya, banyak orang mengatasnamakan rakyat. Ada yang melakukannya secara benar demi kepentingan rakyat semata, tetapi ada pula yang melakukannya demi kepentingan pribadi atau kelompok. Banyak pemimpin dan para elite negeri ini selalu menyertakan ‘atas nama rakyat’ atau ‘demi rakyat’ dalam setiap menyampaikan pendapat, kritik, maupun kebijakan.
Untuk menjamin posisi rakyat yang substansial dan kemakmuran rakyat yang diutamakan, maka Pasal 33 UUD 1945 hendaknya menjadi dasar ekonomi kerakyatan dengan membangun “usaha bersama” dan “asas kekeluargaan”. Pak Edi berulangkali menegaskan, demokrasi ekonomi adala sukma Pasal 33 UUD 1945 yang menolak asas individualisme yang mengutamakan self-interest. Self-interest inilah yang menjadi dasar bagi sistem ekonomi yang liberalistik.
Pasca kejatuhan ekonomi kapitalis, paham neoliberalisme telah mendapat tentangan, baik secara moral maupun teoretikal, di dalam perkembangan ilmu ekonomi baru. Pak Edi dalam setiap kesempatan kerap mengingatkan, kejatuhan ini terjadi pula pada paham fundamentalisme pasar yang merupakan pengusung neoliberalisme. Seiring waktu, mulai terlihat bahwa pasar sarat dengan berbagai ketidakmampuan untuk mendukung kepentingan ekonomi masyarakat, cita-cita pemerataan, dan keadilan. Mekanisme pasar banyak membuktikan kegagalannya, terutama dalam menjaga kepentingan mereka yang lemah daya belinya. Ini semua terjadi karena paham tersebut mengabaikan ilmu ekonomi sebagai ilmu moral.
Sebuah SMS yang dikirim Pak Edi ke sejumlah Profesor dan tokoh nasional di-forward-kan untuk saya. “Pak SBY menegaskan Indonesia tetap pilih ‘jalan tengah’. Beliau pasti di-misled para pembantu ekonominya yang tidak tahu ideologi Indonesia dalam menggunakan istilah jalan tengah. Pak SBY sebenarnya tahu sistem ekonomi kita berdasar Doktrin Kebangsaan dan Doktrin Kerakyatanyang dipertegas Pancasila. Istilah ‘jalan tengah’ terdengar inkonstitusional. Seperti th 2005 (Kompas 16/8/2005) dialog saya dg Pak Jakob Oetama menyimpulkan, Pasal 33 Hatta mendahului pendapat Gidden tentang ‘Jalan Ketiga (The Third Way)’ sbg jalan tersendiri. Sistem Ekonomi Indonesia adalah ‘jalan lurus’ atau jalan khas, Gidden menyebutnya Jalan Ketiga, bukan jalan tengah antara kiri-kanan. Pasal 33 juga demikian, dg istilah Demikrasi Ekonomi 1945 mendahului istilah JW Smith 2000” --- 20 Mei 2011, 08.55.
Sebuah SMS Pak Edi yang menjawab SMS seorang Profesor di-forward-kan kembali untuk saya, “Iya, Pak SBY keliru bilang ekonomi Indonesia adalah ‘ekonomi jalan tengah’. UUD kita menegaskan ekonomi kita adalah ‘ekonomi jalan ketiga’ (kalau pakai istilah Gidden). Istilah kita sistem ‘Demokrasi Ekonomi’ atau ‘jalan khas’, jalan lurus yg hanya menempatkan kepentingan masyarakat/rakyat sebagai primus. “Jalan tengah’ adalah jalan ambivalen (ora rono ora rene, nggak kiri nggak kanan, mbingungi ikut angin dan selera pasar). Makanya Pak SBY dikecam Pak Daoed Joesoef (Kompas, 28 Mei hlm 6). Tapi, banyak gurubesar ekonomi juga keliru sperti Pak SBY, karena termakan teori mainstream yang mengutamakan peran dan kepentingan modal, bukan mengutamakan manusia/rakyat, sehingga pembangunan ekonomi mmebiarkan dehumanisasi dan mengunggulkan pemodal. Makanya Pak Daoed Joesoef mengecam Pak SBY sebagai ‘tdk tahu Demokrasi’. Guru2 besar itu tdk tahu bhw dia telah terdikte oleh paradigma liberalisme+indovidualisme, terjebak kompetitivisme. Maka itu adalah keliru menempatkan Sistem Ekonomi sebagai matakuliah matrikuler S3 Ekonomi Islam, akibatnya para lulusan tdk saja tdk punya identitas, tapi juga tdk punya kompetensi” --- 29 Mei 2011, 16.18.
Mmm... Lho, kok ada nyerempet-nyerempet Ekonomi Islam ya? Hehehe, iya, Pak Edi tidak saja mengkritisi Ekonomi Jalan Tengah ala Pak SBY, tetapi juga Ekonomi Islam...
Untuk mewujudkan cita-cita nasional, Pak Edi selalu menyampaikan bahwa sistem ekonomi yang hendaknya dibangun di negeri ini adalah ekonomi Pancasila. Adapun ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi yang berlandaskan Pasal 33 UUD 1945 yang dilatarbelakangi oleh jiwa pembukaan UUD 1945.
Hadirnya ekonomi Islam, terutama di perguruan-perguruan tinggi, sebagai alternatif solusi yang ditawarkan untuk menjawab persoalan di negeriini, bagi Pak Edi tampaknya juga perlu banyak dikritisi. Meski banyak yang mengecam Pak Edi, tapi saya bisa memahami kekhawatiran Pak Edi. Pak Edi selalu mengatakan pada saya agar jangan terbawa euforia ekonomi Islam dan kemudian menjadikannya sebagai utopia.
Dulu, Pak Edi memang cukup sengit jika membahas topik atau hal-hal yang berbau ekonomi Islam. Seiring waktu, saya merasakan mulai adanya perubahan dari Pak Edi dalam membijaki hal-hal tersebut. Setidaknya ini saya dapati dari SMS Pak Edi untuk seorang Sesepuh TNI, mantan Pangdam Brawidjaja 1986, dan pernah menjadi murid Bung Hatta di SSKAD (sekarang SESKOAD) tahun 1957-1959 untuk matakuliah Ilmu Politik dan Tata Negara. Jenderal TNI tersebut mengatakan bahwa dirinya bahagia dan bangga bisa meneruskan idealismenya, meski mungkin belum berarti dlm nilai dan perbuatan, tetapi pasti dlm wawasan, pendapat, dan sikap. Pak Edi kemudian membalasnya, “Betapa pun cuma nyala lilin, nyala lilin itutepat harus kita pelihara sebagai induk buat menyalanya lilin2 lain seantero Indonesia kemudian. Keresahan di kelas2 saya mulai yg di S1, S2, dan S3 terhadap premanisme (thdp obstand der Horden) memberi harapan bahwa mereka haus perubahan ke arah perbaikan, meikuti pedoman kuliah bahwa development is dignified process of humanization, utk bakal tibanya zaman besar. Tinggallah saya tunjukkan gugus bintan di Selatan sehingga mereka paham akan penjuru2 mata angin menuju kedigdayaan bangsanya dan kemakmuran serta kebahagiaan rakyatnya. Memang sekarang masih memprihatinkan seperti Friedrich von Schiller prihatinkan tentang zaman gelap di Eropa, dikatakannya bhw eine grosse Epoche hat das Jahrhudertgeboren, aber der grosse Moment findet ein kleines Geschlecht. Saya yakin eine grosse Epoche yg lain akan tiba bila dapat kita hadirkan eine grosse Held. Saya berusaha ikut memahatnya di kampus2” --- 3 Juli 2011, 11.58.
Jawaban bijak pun diberi oleh Jenderal TNI sepuh tersebut yang begitu masuk ke hati saya, “Dimasku, ‘cita2, disiplin dan harapan’, peninggala Hoo Chi Minhutk bangsanya. JF Kenndey pun tekankan ‘Upaya kita tdk mungkin berhasil dlmsatu masa pemerintahan, mungkin jg tdk sepanjang hidup kita, but we have to begin’. Prof Sri-Edi sdh menanamkan di pikiran dan nurani para mahasiswa, satu hari kelak pasti menuai.” --- 3 Juli 2011, 12.31.
Ya, saya merasakan Pak Edi dari waktu ke waktu semakin bijak dalam menyikapi perbedaan. Meski tak hilang juga karakter berapi-apinya ketika menyatakan pendapatnya, tapi Pak Edi kini dapat menyatakan sikap dan pandangannya tanpa harus menyerang. Saya pun memilih untuk tetap menyampaikan sikap dan pandangan tanpa harus melebarkan jurang perbedaan. Bagi saya, benang merah dan kesamaan visi misi dari ekonomi Islam dan Pancasila lah yang harus diperjuangkan bersama. Kalaupun ada perbedaan, tidak harus disikapi secara egois dan menganggap diri sendiri yang paling benar dan orang lain yang paling salah. Kita semua manusia yang memiliki ilmu bak setetes air di tengah samudara. Kita semua, tanpa melihat usia, adalah orang-orang yang tidak boleh berhenti belajar di sepanjang hayatnya. Seperti Iman Syafi’i mengatakan, saya sudah berusaha yang sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya, tetapi saya tidak memungkiri jika saya juga memiliki kemungkinan untuk salah.
Hiksss... Pak Edi, saya takut tidak bisa memenuhi harapan Pak Edi yang beberapa kali disampaikan di SMS, 'jadilah kamu ekonom yang paripurna'. Saya juga mungkin tidak bisa sebaik yang diinginkan Pak Edi untuk menjadi 'ekonom Islam yg punya skills ekonomi profesional, theoretically and empirically competent and be capable of becoming reputable in policy formulation'. Tetapi percayalah Pak, saya akan belajar ekonomi dan berusaha sebaik-baiknya untuk menjadi ekonom yang humanis dan bermanfaat bagi negeri ini...