Pagi menjelang siang, dia sedang merapikan janjang buah aren yang dipanen dari pohon dekat pondoknya yang berada di tepian hutan Batangtoru. Merupakan tugas kaum lelaki memanen janjang itu dari pohon, sementara kaum perempuan memasaknya.
Tahapan pertama dari olahan itu adalah merebus. Buah dimasukkan ke dalam tong rebusan. Selama dua jam, kayu-kayu kering yang diambil dari hutan sekitar, menjadi bara api yang menyala kuat. Setelah dingin, buah aren dipotong ujungnya, lalu dengan alat penekan sederhana, buah kolang-kaling yang putih seperti rambutan, dikeluarkan dari cangkangnya. Setiap buah aren biasanya berisi tiga kolang-kaling, namun kadang ada juga yang berisi empat.
Kolang-kaling yang baru selesai direbus itu masih belum bisa dimakan. Masih harus diproses lagi. Dipukul-pukul hingga pipih dan kemudian direndam dengan air biasa. Setelah sepekan dalam rendaman, jadilah kolang-kaling itu bentuknya pipih seperti yang biasa ditemukan di pasar. Nantinya bisa diolah menjadi manisan, dikolak atau bahan untuk es campur.
"Kalau tidak direndam, tidak bisa dimakan. Akan gatal," kata Gusmiati.
Bagi Gusmiati, usaha membuat kolang-kaling ini hanyalah kegiatan tahunan. Sekitar dua minggu menjelang dan saat puasa. Melalui proses yang panjang itu, dapat dihasilkan sekitar 200 kg kolang-kaling. Dijual Rp 6 ribu per kg kepada pengepul yang datang menjemput ke rumah. Lumayan sebagai tambahan biaya rumah tangga bagi warga dusun ini.
Bagian Konservasi
Kendati proses membuat kolang-kaling berlangsung setahun sekali, pohon aren atau pohon enau (Arenga pinnata) tak bisa dipanen saban tahun. Buah aren yang siap panen itu minimal usianya sekitar 3,5 tahun di pohon. Cukup lama. Makanya akan digilir, pohon mana yang siap panen. Jadi perlu banyak pohon.
Rentang waktu panen yang lama ini, justru menjadikan petani banyak menanam aren. Setiap sudut yang memungkinkan, sebatang pohon aren ditanam. Maka, satu keluarga bisa memiliki ratusan batang pohon. Jika tidak memanfaatkan buahnya, pohon juga bisa disadap, diambil air niranya dan diolah menjadi gula merah maupun gula pasir berwarna cokelat.
Pohon aren ini yang menjadi bagian dari konservasi alam di wilayah Sitandiang. Tak ada lahan kritis. Bagian dari kearifan lokal masyarakat dalam bidang lingkungan.
Konservasi alam yang baik di Sitandiang ini nyatanya tak hanya bermanfaat untuk warga dusun itu sendiri. Di bawah sana, Sungai Batangtoru meresapi setiap tetes air dari proses konservasi itu yang mengalir dari anak sungai Aek Sitandiang. Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batangtoru mengandalkan sungai itu untuk menghasilkan tenaga listrik berdaya 510 megawatt, nanti kalau sudah selesai dibangun.
Maka, proses konservasi yang berlangsung di Sitandiang terbukti akan memberikan manfaat ekonomi yang besar. Tidak hanya di Sipirok, melainkan Indonesia. Sebab tahun-tahun berikutnya interkoneksi listrik akan semakin merentang jauh, dan produksi listrik dari aliran Sungai Batangtoru itu akan dinikmati seluruh masyarakat Indonesia. Sebatang pohon aren tepian hutan Batangtoru, dan daya listrik di ujung Indonesia. Mengagumkan.