fenomena tersebut membuka peluang masyarakat sekitar untuk membuka usaha baik skala kecil, menengah, hingga skala besar. bahkan tak ketinggalan investor-investor baik domestik maupun manca negara membidik DIY sebagai ladang usaha mereka. dari sesaknya pelajar yang tiap tahunnya datang silih berganti masyarakat memanfaatkannya dengan membangun rumah kost, warung makan, dan lain-lain. sedangkan keterlibatan pihak investor dapat dilihat dengan semakin menjamurnya cafe-cafe, restaurant, tempat hiburan malam, toko swalayan, pusat perbelanjaan, tempat kost eksklusif hingga apartemen yang katanya sesuai kantong mahasiswa.
kota pelajar inipun tak ubahnya ibu kota yang semakin hari semakin sesak dengan pengusaha. memang dengan semakin banyaknya pengusaha maka pendapatan daerah pun semakin tinggi melalui pajak yang dibayarkan. namun pengusaha-pengusaha ini hanyalah manusia biasa, mereka tak luput dari kapitalisme. hal tersebut menjadikan setiap produk/jasa yang ditawarkan  menjadi modus untuk mengeruk penghasilan sebesar-besarnya. kini barang-barang menjadi serba mahal (bukan karena imbas kenaikan harga BBM), bahkan tempat kost pun harga sewanya semakin melangit tiap tahunnya padahal tak ada perubahan berarti  baik dari fasilitasnya maupun kenyamanannya. memang terdapat tempat kost yang menyediakan fasilitas bagi penghuninya namun harganya bak menyewa hotel. bukan main memang para pengusaha ini mengeruk harta pelajar yang tak semuanya berkantong tebal. yah begitulah indikator kapitalisme telah menjamur di kota pelajar yang istimewa ini.
selain daripada itu semua masih banyak fenomena yang mengindikasikan kapitalisme telah menjajah daerah istimewa ini. kini Yogyakarta bukan hanya daerah istimewa karena historisitasnya di negara ini namun juga menjadi zona yang istimewa bagi para kapitalist.
semoga daerah istimewa ini kembali merakyat bukan semakin meningratkan para kapitalist.