Mohon tunggu...
KOMENTAR
Ilmu Sosbud

Semiotika Sosial Body Shaming pada Film Imperfect

4 Maret 2022   20:00 Diperbarui: 4 Maret 2022   20:03 1149 6

Film Imperfect karya Ernest Prakasa merupakan salah satu yang menceritakan korban body shaming seorang wanita yang bernama Rara yang hidup bersama ibu dan adiknya. Film dijadikan sebagai media yang digunakan untuk menyajikan keresahan-keresahan para lakon di industri perfilman Indonesia, salah satunya adalah film Imperfect: Karir, Cinta, dan Timbangan. Bermula dari keresahan tindakan body shaming yang marak terjadi dilingkungan sosial film ini dirilis pada tanggal 19 Desember 2019.

Sekarang ini penampilan fisik memiliki pengaruh yang besar atas penilaian seseorang terutama adalah standar kecantikan untuk seorang perempuan. Karena penampilan fisik ini dapat digunakan sebagai modal utama untuk bersosialisasi. Banyak dari perempuan yang memiliki tampilan fisik yang cantik, bertubuh ideal, dan memiliki kulit yang putih mereka akan lebih memiliki rasa kepercayaan diri. 

Body shaming ini adalah perilaku mengkritik atau mengomentari fisik atau tubuh diri sendiri maupun orang lain dengan cara negatif, entah itu mengejek tubuh gendut, kurus, dan pendek.

Dilansir dari ZAP Beauty Index bahwasanya pada tahun 2020 terjadi sekitar 62,2% kasus Body Shaming yang terjadi di Indonesia. Body shaming ini merupakan tindakan yang dapat mengakibatkan korban mengalami gangguan psikis, efek dari tindakan tersebut antara lain; 1). Hilangnya rasa percaya diri, 2). Akan menyendiri dan menutup diri, 3). Membuat sesorang tidak berkembang, 4). Menyakiti diri sendiri hingga bunuh diri. 

Hal yang menjadi hambatan untuk seorang Body Shaming adalah ketidak percayaan diri dalam mengungkapkan dan menyalurkan apa yang ada dalam dirinya. Keterbatasan ini membuat ruang gerak terbatas untuk mereka yang merasakan tindakan Body Shaming. 

Hingga saat kini masih belum jelas kapan tepatnya tindakan body shaming terjadi pertama kali, namun perlakuan body shaming ini diyakini bermulai dari adanya kultur penindasan atau bullying ditengah kehidupan masyarakat serta campur tangan media yang membangun paradigma mengenai standar kecantikan.

Isu ini terjadi dikarenakan ada unsur verbal dan non-verbal yang dirasakan oleh mereka. Secara verbal sudah jelas menjadi luka yang membuat mereka tidak percaya diri dan secara non-verbal membuat mereka dikucilkan di lingkungan sosial karena berbeda tidak seperti stigma cantik atau sempurna yang semestinya. Padahal secara penilaian itu adalah suatu hal yang subjektif dan nilainya relatif, tapi sungguh sangat menyiksa hari ini menyasikan dimana sesama manusia ini tidak saling memahami dan menghargai satu sala lain dimana humanisme tidak lagi berperan secara semestinya.

Lingkungan sosial salah satu yang menjadi penyebab kasus ujaran body shaming sering menjadi ujaran hal yang sepele bagi masyarakat. Dilangsir dari jurnal Mehawesh (2018) hal tersebut masuk kedalam semiotika sosial yang diartikan sebagai interaksi manusia, atau dapat pula diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan masyarakat. Dengan kata lain, semiotika sosial adalah sebuah ilmu yang mempelajari sederetan objek, peristiwa, kebudayaan, dan lain-lain di tengah masyarakat sebagai sebuah tanda yang memiliki arti tertentu.


Ada beberapa pendapat salah satunya dari Halliday (1978) yang mengartikan bahwa kondisi sosial seseorang dapat di bentuk oleh budaya, ketika seseorang mempelajari bahasa pasti akan mempelajari budayanya. Perilaku body shaming merupakan unsur sosial yang negatif bagi masyarakat. 

Perilaku tersebut dapat terjadi ketika masyarakat menjadikan ujaran body shaming sebagai suatu budaya. Lingkungan merupakan hal yang dapat di perhatikan karena ketika kita di satu lingkungan yang negatif maka, kita akan terhasut negatif juga. 

Seperti kasus dalam film ini berada di dalam lingkungan yang hampir keseluruhan tokoh pemain memiliki tubuh yang sempurna, maka pemain lain akan mengatur pola perilaku untuk memiliki tubuh yang ideal dan tokoh Rara dalam film tersebut sebagai korban dari lingkungan yang memiliki tubuh ideal.

Denotasi merupakan sistem makna pertama yang telah disepakati secara kovensional. Denotasi menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi merupakan sistem makna kedua yang tersembunyi. Film tersebut mengandung makna denotasi dan konotasi untuk menunjuk tingkat makna. 

Makna denotasi adalah makna tingkat pertama yang bersifat objektif yang dapat di berikan terhadap lambang-lambang, yakni dengan mengaitkan secara langsung antara lambang dengan realitas atau gejala yang di tunjuk. Banyak sekali ujaran yang memiliki makna tersebut, bahkan film ini sudah terkenal oleh masyarakat indonesia sebagai film yang memiliki unsur makna yang tersembunyi.

Berdasarkan pemaparan di atas, penulis menyarankan agar penelitian film tentang kejadian di kehidupan nyata dalam hal ini body shaming perlu ditingkatkan. Tanda-tanda yang dibuat dalam film tersebut dapat dijadikan acuan untuk mencegah tindakan body shaming di masyarakat dan menjadikannya penyebab terjadinya kasus body shaming. 

Mengingat banyaknya kasus body shaming yang terjadi akhir-akhir ini, sebagai penonton khususnya penonton film tersebut perlu lebih memperhatikan kualitas film yang mereka tonton agar masyarakat bisa mengambil tayangan tersebut sebagai pelajaran bukan contoh yang buruk. Penonton diharapkan lebih kritis terhadap film yang ditayangkan.


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun