Aku hidup untuk sebuah cita-cita yang akan penuh dengan hambatan untuk mencapainya. Setelah mampu kuselesaikan hambatan yang satu, maka akan datang hambatan yang lain. Begitu seterusnya hingga kematian memutuskan. Aku hidup untuk mati. Untuk hidup setelah kematian, tepatnya. Lalu apalagi yang aku tunggu?
Aku masih menunggumu ada disampingku. Menggenapkan separuh dienku. Melengkapi separuh sayapku. Aku terlalu rapuh tanpamu. Meski telah kucoba untuk menerima yang lain. Ternyata, aku tak mampu pergi darimu. Walau kutahu kau sudah ada yang lain. Walau kau sering menoreh luka. Walau aku tak tahu apa rasamu padaku. Aku seolah tak perduli. Aku terlalu takut memulai. Aku takut terluka. Meski denganmu aku tetap terluka.
Aku terhempas pada bahagia yang kau cipta untukku. Sebab kini kau yang bisa menerima keadaanku selain keluargaku. Mungkin itu yang membuatku menunggumu. Hingga kulukai hati lain yang mencoba masuk. Sungguh aku pun ingin cinta yang menghormatiku, menghargaiku, cinta yang tulus. Namun, aku terlalu takut memulai. Aku takut untuk kembali membuka luka itu.
Maka pada akhirnya aku pun bersandar padaNYA. Mengharap kasih sayangNYA. Dan memasrahkan perjalanan hidupku padaNYA, karena hanya Ia yang tahu yang terbaik untukku.
Dapoerkata, 4 Desember 2011
Koki Kata
Elia Noviyanti