Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Bisakah Anak Kita sebagai Agen Perubahan?

13 Juli 2013   20:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:36 234 2
Ada ungkapan bahwa Celoteh Anak adalah Gambaran Masa Depan Bangsa, apakah benar hal tersebut ? Tentunya perlu penelitian, pembuktian dan keseriusan untuk mengungkap kebenaran akan hal itu. Tetapi ada beberapa hal yang seringkali kita salah dalam menempatkan seorang anak sebagai obyek bukan sebagai subyek yang mempunyai pemikiran tersendiri dan bisa melakukan semuanya, seperti bermimpi, mempunyai cita-cita dan berfantasi, serta mereka butuh untuk didengar, diarahkan dan dimanifestasikan sebagai monumen pengharapan dan pembuktian bahwa mereka adalah insan yang mempunyai pandangan dan sikap tersendiri, yang terkadang pandangan polos dan jujur mereka adalah sebuah tamparan keras dan kebenaran yang harus kita renungkan dan aplikasikan segera. Kita masih terlalu sombong untuk mengakui eksistensi mereka sebagai pribadi yang unik, dan terlebih parah lagi kita masih menjadi pendengar yang buruk buat anak-anak kita. Kesombongan itu terlihat jelas ketika kita selalu memberikan doktrin-doktrin pembenaran menurut kita dan memaksakan kehendak kita yang seringkali kita labeli dengan sebuah tujuan yang baik buat anak kita kedepannya. Cara kita memperlakukan mereka seringkali menciptakan ketidaknyamanan mereka untuk bisa terbuka dan mengeluarkan kemampuan terbaik mereka, fantasi mereka yang notabene hal itulah yang sangat diinginkan oleh mereka dan diakui oleh kita sebagai orang tua. Beberapa kesalahan yang klise dan masih sering kita lakukan terhadap anak-anak kita adalah : 1. Bersikap Keras Atas nama kedisiplinan yang masih sering kita comot dari pendidikan ala Jepang, kita tanpa sadar sebagai orang tua masih sering bersikap keras cenderung kasar terhadap anak-anak kita, apalagi kalau mereka melakukan kesalahan menurut kita seperti bentakan, kekerasan fisik (mencubit, memukul dll) selalu menghiasi hubungan ortu dan anak yang acapkali menimbulkan trauma berkepanjangan dan sangat mempengaruhi psikologis anak secara keseluruhan dan akan terbawa pada karakter anak pada saat dewasa menjadi lebih beringas, eksplosif, temperamen, penakut, pecundang dll. 2. Bersikap Otoriter Dengan alasan untuk kebaikan anak, seringkali kita masih bersikap otoriter dalam mendidik putra-putri kita dan tanpa sadar kita telah mengebiri hak-hak mereka seperti hak mengutarakan pendapat, hak bermain, hak belajar dengan sesuatu yang disenanginya, hak memilih sesuatu dll, yang mana hak-hak tersebut kita rampas dari mereka dan menggantinya dengan hal-hal yang sangat tidak disukai oleh mereka tetapi kita secara otoriter memaksakannya untuk menjadi sesuatu yang mereka harus lakukan. Hasilnya si anak menjadi pendiam, penakut, pemberontak dan mungkin mempunyai beberapa kekecewaan yang terpendam dan terakumulasi dalam suatu batas tertentu yang akhirnya akan meledak pada saat dan momentum yang salah dan tidak dikehendaki. Media diskusi seringkali tidak digunakan untuk menggali potensi anak dan pengembangan kepribadian secara signifikan, otoritas satu arah yang membuat orang tua sekarang telah menghambat perkembangan anak menjadi kepentingan pribadi orang tua bukan malah untuk menggali potensi dan menyalurkan harapan dan keinginan sang anak, seperti dalam hal memilih sekolah baik SD, SMP maupun SMA bahkan sampai perguruan tinggi atau kursus/pelatihan bahkan kegiatan ekstrakurikulerpun sang anak tidak diberikan kebebasan bersuara dan memilih sesuai keinginannya. 3. Bersikap Arogan/Sombong Pernahkah kita ketika berbicara dengan anak kita berusaha untuk berjongkok untuk mensejajarkan diri kita dengan si kecil, sehingga pandangan si kecil bisa lurus kedepan tanpa harus mendongak ? Pernahkah kita menggunakan pikiran si anak untuk memutuskan sesuatu masalah yang berkaitan dengan si anak ? Pernahkah kita menyalahkan diri kita sendiri ketika ada sesuatu yang terjadi dengan anak kita ? Pernahkah kita meminta maaf terlebih dahulu kepada anak kita jika kita melakukan kesalahan ? Pernahkah kita mengucapkan kata "tolong" ketika menyuruh putra-putri kita melakukan sesuatu yang kita kehendaki ? dan tentunya masih banyak hal-hal lain yang membuktikan bahwa sebagai orang tua kita masih terlalu arogan/sombong terhadap hal-hal yang sederhana dan mudah kita lakukan manakala kita bisa bersikap sedikit lebih arif dan bijaksana dalam mendidik putra-putri kita. 4. Bersikap Membandingkan Terkadang jika kita kesal, marah, dan malu dengan putra-putri kita, kita selalu membandingkan anak kita dengan anak tetangga ataupun orang lain yang menurut kacamata kita lebih baik daripada anak kita, dan hal itupun seringkali terlontar dari mulut kita saat memarahi putra-putri kita seperti "Nak, kenapa sih kamu nggak kayak si Ali anak Pak Jamal yang pintar mengaji dan selalu juara kelas ? Nak, kenapa sih kamu kok nakal sekali tidak seperti anak Pak Eko yang penurut ?" Membandingkan putra-putri kita dengan putra-putri orang lain seringkali kita gunakan untuk dalih mengangkat motivasi anak kita supaya bisa sama dengan anak yang kita bandingkan, tetapi kita lupa bahwa setiap anak mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing yang tentunya kita tidak bisa menghakimi mereka menjadi tidak sebanding, dan hal itu adalah keputusan yang keliru, dan seringkali tidak meningkatkan motivasi anak yang seperti kita harapkan tetapi malah membuat anak kita menjadi "underspirit" dan rendah diri sehingga jika hal itu yang terjadi akan membuat anak kita menjadi lebih terpuruk dan sangat sulit untuk membangkitkannya lagi. 5. Bersikap Menghakimi Seringkali secara tidak sadar kita telah menciptakan rumah kita sebagai ruang pengadilan dimana sang anak sebagai terdakwa dan kita sebagai hakimnya. Justifikasi kesalahan ataupun ketidaksesuaian dengan standart kita  atau boleh dibilang kehendak mutlak kita memberikan tekanan psikologis pada anak bahwa mereka adalah obyek kesalahan yang harus dihakimi oleh orang tua yang sejatinya harus mereka hormati dan bukan malah untuk ditakuti. Adjudsment kesalahan yang harusnya butuh pemecahan secara bijak dan lembut penuh kasih sayang sehingga anak akan menerimanya dengan ikhlas serta mau memperbaiki kesalahannya seringkali tidak kita gunakan, sehingga acapkali kesalahan yang telah diplot sebagai bentuk pengerdilan kapasitas anak untuk tidak terpuruk menjadi media hukuman yang harus ditimpakan semuanya ke anak dan nyaris sang anak tidak berhak melakukan eksepsi sama sekali...tragis memang dan kenyatannya hal ini masih sering terjadi di sekeliling kita. 6. Pelit Pujian Pada dasarnya manusia sangat suka untuk dipuji, tetapi seringkali kita sebagai orang tua sangat pelit atau sulit memberikan pujian kepada anak kita secara langsung dengan asumsi sang anak nantinya nggak besar kepala atau sombong jika sering dipuji padahal anak membutuhkan pengakuan kualitas mereka, pendorong semangat dan memotivasi mereka untuk terus maju. Justru yang sering didapat sang anak dari orang tuanya adalah sikap meremehkan, penyepelean dan bahkan pengerdilan dengan tujuan agar sang anak bisa termotivasi, padahal yang terjadi justru sang anak akan menjadi minder, rendah diri, serba ragu-ragu dan sulit mandiri. Seyogyanya pujian yang kita berikan pada sang anak juga tidak berlebihan dan letakkan pada porsi yang tepat misalnya jika sang anak habis mengikuti perlombaan dan kalah, maka kita harus tetap memujinya dan mengatakan "Nak, kamu telah berusaha dengan maksimal dan kamu anak yang hebat meski belum bisa menang hari ini, insyalloh suatu saat pasti akan menang, tetaplah berusaha yaa.." bukan malah mengatakan "Mengapa kamu nggak bisa menang sih, gitu aja kalah, cemen kamu..Awas kalau besok-besok nggak menang lagi." Mungkin masih banyak sikap para orang tua yang tidak layak dalam metode pendidikan modern dimana sang anak haruslah menjadi subyek bukanlah sekedar sebuah obyek belaka. Mereka mempunyai hak untuk bersuara, mengajukan pendapat, menjawab, mempunyai keinginan dan harapan serta cita-cita sehingga potensi mereka bisa terus tergali secara maksimal dan peran orang tua hanya membimbing, mengarahkan dan mendidik sang anak dengan baik sehingga output si anak akan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh sang anak meski kita juga harus percaya bahwa takdir Alloh SWT bisa saja tidak sesuai apa yang anak kita inginkan dan kita selaku orang tua harapkan. Setidaknya kita telah berusaha untuk menjadi yang terbaik untuk putra-putri kita, selebihnya kita serahkan pada yang diatas untuk memberikan justifikasinya. ANAK SEBAGAI AGEN PERUBAHAN Dalam lingkup kecil sebuah keluarga, peran sang anak juga menjadi titik sentral perubahan dalam dinamika suatu keluarga. Suara-suara dan tingkah laku mereka yang mengedepankan akhlak telah membuat mereka layak untuk didengar, diakui, dan dihormati agar mereka bisa selalu percaya diri dalam melakukan sesuatu yang bermanfaat minimal bagi dirinya sendiri atau bahkan orang lain. Berani mengatakan tidak untuk sesuatu hal yang salah dan berani berkata benar untuk sesuatu yang baik, percaya diri terhadap apa yang dilakukan tetapi tidak gegabah dalam tindakan merupakan pondasi utama dalam pendidikan akhlak dan budi pekertinya. Ibarat sebuah properti, anak haruslah kita jaga, rawat dan bangun sampai mereka bisa mengembangkan dan membangun sendiri kualitas dirinya dan talent serta potensi diri mereka bisa maksimal tergali. Suara, celoteh, fantasi dan perbuatan mereka mencerminkan apa yang pernah mereka lihat, rasakan, pikirkan dan impikan, dan terkadang di luar nalar kita karena mereka mempunyai kejujuran dalam berpikir dan berfantasi di dalam dunia mereka sendiri. Pikiran dan fantasi mereka bisa merubah keadaan, dunia disekelilingnya atau bahkan dunia dalam arti yang sebenarnya. Yah mereka bisa menjadi agen perubahan untuk menjadikan dunia yang lebih baik dan bahkan mereka terkadang memperjuangkan nasib dunia untuk mereka sendiri dan anak cucu mereka... Subhanalloh... Kita seharusnya malu sebagai orang dewasa atau orang tua mereka jika kita tidak bisa berbuat lebih baik dari ekspetasi mereka terhadap kehidupan dan masa depan versi mereka. Kita harus bisa menyelami dunia mereka seakan kita berada pada dimensi yang berbeda, dimana banyak sekali kejujuran dan kepolosan yang spontan mereka utarakan yang seringkali bertolak belakang dengan apa yang kita lakukan, seperti pada beberapa anak berikut ini yang berhasil merubah dunia dan menginspirasi banyak orang serta menunjukkan bahwa mereka mempunyai sesuatu yang harus didengar, dihormati dan harus dilakukan segera, serta berani memperjuangkan sesuatu yang menjadi pilihannya dan kebaikan umat di dunia ini, beberapa dari mereka adalah :

  • SEVERN SUZUKI : siapa yang tidak tahu dengan gadis ini, seorang gadis yang berhasil mengguncang dunia dengan pidatonya tentang masalah lingkungan hidup, dimana pada saat usia dia 9 tahun, dia telah mendirikan Enviromental Children's Organization (ECO) yaitu organisasi yang terdiri dari sekumpulan anak-anak yang belajar dan mengajarkan kepada anak-anak lainnya tentang masalah lingkungan. Dia begitu concern dengan lingkungan hidup dan masa depan bumi ini, dan moment undangan pada Konferensi Lingkungan Hidup PBB tahun 1992 tidak disia-siakannya. Dia maju untuk berpidato tanpa menggunakan teks, dia dengan lantang bicara di hadapan ratusan undangan yang terdiri dari para delegasi elit dari berbagai negara (pengusaha, wartawan, politisi dan anggota perhimpunan) tentang masalah lingkungan hidup. Beberapa hal yang perlu dicatat dari isi pidatonya adalah :
  1. Kemauan kuat dan kerja keras untuk menunjukkan sesuatu atau pandangannya, dan itu dibuktikan dengan menggalang dana bersama organisasinya untuk bisa menghadiri undangan dari PBB.
  2. Dia berpidato untuk mewakili generasi masa depan dia, anak-anak yang kelaparan, makhluk hidup yang diambang kepunahan dan beberapa kehidupan yang lebih baik.
  3. Berbicara tentang dunia yang sudah mengalami kerusakan akibat kita terlampau mengeksploitasi untuk kepentingan pribadi dan golongan tertentu saja.
  4. Jika kita tidak bisa mengembalikan hutan yang rusak, hewan yang punah, menutup lubang ozon, maka kita harus berhenti untuk merusaknya..
  5. Mengungkapkan bahwa kita harus lebih empati dan saling berbagi terhadap sesama yang lebih lemah dan sangat membutuhkan
  6. "Kita selaku dikenang karena perbuatan kita, bukan kata-kata kita."
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun