Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat Pilihan

Netral di Pilpres, Benarkah Masuk Neraka?

6 Juni 2014   22:30 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:58 142 0
''Neraka terdalam dicadangkan bagi mereka yang bersikap netral di saat krisis.'' (Martin Luther King Jr)Makin hari, rasanya makin panas, karena situasi politik yang semakin menegang. Dari kampanye baik baik sampai pada akhirnya melibatkan emosi emosi yang terpendam. Sehingga seringkali logika dan pikiran jernih tidak dapat digunakan. Apalagi dicekoki berita yang berisi fakta, isu ataupun fitnah yang sudah campur aduk. Ya dari televisi yang bermacam, juga media online yang lebih banyak lagi.Dari sisi psikis, saya sungguh miris. Karena pilpres kali ini yang menghadirkan dua kubu, melahirkan dua arus besar yang saling tarik menarik, juga saling menggempur. Yang saya liat bukannya melahirkan kesadaran demokrasi yang lebih matang, justru sebaliknya. Membuahkan militansi tingkat kronis di masing masing pihak.Semua merasa paling benar, paling baik. Entah isu, entah fakta yang negatif selalu menjadi amunisi. Dan secara tidak sadar tumbuh pengkultusan terhadap tokoh tokoh yang digadang. Alhasil, ketika bertemu yang tidak sepaham, dihatinya langsung terbentuk dinding untuk proteksi pendapat diri.Hal ini kebanyakan malah terjadi di tingkat menengah ke bawah. Yang tadinya berteman, jadi renggang. Yang mulanya pacaran, kepikiran buat putus aja.. yang sudah keluarga... ehmm tidak taulah.. moga moga paling parah cuma lempar piring  hehehe (maaf sedikit hiperbola)Ada yang menarik perhatian saya, saya mencoba membuka ruang diskusi dengan seorang politisi (saya anggap gitu karena memang dia all out terjun di dunia politik di daerahnya) yang cantik. Seorang terdekat saya. Saat saya katakan bahwa saya netral, segera saja dia tuliskan di BBM yang merupakan ungkapan Martin Luther King Jr, '' Neraka terdalam dicadangkan bagi mereka yang bersikap netral di saat krisis moral'.Ungkapan tersebut sebelumnya juga saya dengar melalui acara ILC, oleh Karni Ilyas.Benarkah demikian?Bagi yang meng-iya-kan, mungkin karena berpikir bahwa dalam situasi sekarang, setiap individu WAJIB ikut berpartisipasi sebagai bagian 'gerakan perubahan'' dari situasi moral yang amburadul, menuju perbaikan moral. Dan caranya adalah ikut mencoblos saat pilpres ini.Apakah harus begitu? di dalam situasi sekarang, yang tergambarkan begitu mencekam. Apakah harus ikut andil? Pertanyaannya adalah, harus ikut yang mana? Pada kenyataannya, saat seseorang ikut salah satu pasangan, maka oleh pendukung pasangan lainnya, sudah ditanggapi dengan rasa antipati. ( karena secara tidak sadar, militansi dukungan ke pilihannya begitu membakar fikirannya). JIka demikian, keikutsertaan seseorang tersebut pun akhirnya akan dinilai salah karena tidak sesuai dengan harapan pendukung pasangan yang lain.Walaupun sudah ada deklarasi  kampanye damai, tapi pada kenyataannya tetap pilpres ini melahirkan dua kubu yang saling menyerang. Terutama di tingkat bawah. Dengan kenyataan ini, apakah ikut berperan aktif bisa dikatakan masuk surga? (merujuk ungkapan Martin Luther King Jr)Dari perspektif islam pun ada juga, ada dorongan agar sebaiknya ikut berperan serta, karena jika tidak ikut, sama artinya mendukung KETIDAKBAIKAN menang. Pertanyaannya, manakah yang BAIK, manakah yang BURUK? karena semua mengklaim dirinya the best.Jika cara berpikir bahwa pilpres ini adalah perwakilan kebaikan dan kejelekan, maka sampai kapanpun negeri ini tidak akan bisa tenang dan damai. Apalagi sampai membawa neraka dan surga. Yang ada hanyalah ketegangan, kemarahan, curiga dan saling tuding.Saya jadi bertanya, kenapa kita tidak merubah cara berpikir yang ada? Persaingan Prabowo dan Jokowi adalah persaingan sesama anak bangsa, yang semuanya adalah demi kebaikan bangsa. JIkalau ada kurang lebihnya, itu adalah manusiawi. Mereka sudah memilih berjuang lewat politik. Jika moral sekarang dianggap sudah sampai level akut, apakah politik adalah satu satunya jalan menuju solusi?Bukankah politik hanyalah satu satu sisi hidup? Masih ada budaya, ekonomi, religiusitas,pendidikan yang merupakan jalan berperan serta dalam perbaikan moral? Dengan demikian, apakah bisa dikatakan bila netral di bidang politik bisa dikatakan, dapat kapling di neraka?Seseorang memilih netral, tentu punya alasan khusus. Bukan semata ketidakpedulian terhadap lingkungan sekitar. (dalam hal ini kehidupan bernegara). Dan setiap pribadi sangat mungkin berbeda alasan kenapa dia memilih netral.Bagi saya pribadi, dahulu saya seorang partisan. Yang berjalan penuh idealisme di kepala saya. Tapi seiring berjalannya waktu. Idealisme itu hilang termakan oleh kenyataan yang memiriskan. Cita cita politik yang bersih dan penuh kebaikan seperti utopia saja. Karena pelaku pelaku politik adalah manusia. Yang masih punya hawa nafsu keduniawian. Dan siapapun yang terjun ke politik praktis, ibarat dia menceburkan diri ke kubangan lumpur. Untuk saat ini, mungkin masih beberapa jauh ke depan. Sehingga ketika kita memutuskan memilih, bisa bener bisa tidak. Iya kalau kita milih bener, alhamdulillah.. bila ternyata salah, berarti kita ikut andil mendukung yang salah. (jika dibuat dikotomi salah dan benar). Di mata Tuhan, apakah kita termasuk salah?Saat ini, dalam situasi yang ada sekarang, saya hanya ikuti pesan nabi, yang menasehatkan kepada sahabatnya, bila (ketika) terjadi fitnah di tengah tengah kalian, beruzlah lah. Fitnah di sini bisa berarti, situasi yang tidak menentu, seperti waktu zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib. Uzlah artinya menyepi, tidak ikut ikutan. Karena semuanya merasa benar sendiri dengan dalil dalinya sendiri.Jadi, apakah netral masuk neraka? jawaban saya TIDAK... karena memperbaiki moral tidak harus dengan politik.  Tapi bisa lewat jalan sisi kehidupan yang lain..

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun