Harap-harap cemas, takut, marah, ingin berteriak lalu menangis. Dalam hati bertanya, "mengapa begini? salah siapa ini?" tak kutemukan jawabannya. Gelisah menatap jarum jam yang terus bergerak.
Sepertinya aku harus siap, karena ini adalah akhirnya.
"Sudah pulang atau belum ya? Dengar sesuatu nggak?" tanyaku bisik-bisik.
"Kayaknya belum, tapi nggak tahu juga. Aku takut terjadi sesuatu kak" jawab adikku sambil celingak celinguk ke bawah dari arah jeruji balkon.
"Semoga nggak, kita siap-siap aja lari ke bawah kalau misalkan dengar sesuatu yang agak gaduh, atau tunggu aba-aba dari ibu sekiranya butuh bantuan" sambil mengelus perlahan rambut adikku yang berantakan.
Hari itu tiba, hari yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya terjadi, hari yang penuh luka, hari yang mengubah hidupku selamanya. Malam dimana bapak datang kerumah hanya untuk mengemasi barang-barangnya.
Terdengar suara mobil terparkir dan langkah kaki yang berjalan cepat. Adikku mengintip dan memasang telinga, berjaga-jaga kalau saja bapak berani kasar atau main tangan.
"Mau panjang atau pendek?" celetuk Bapak pada Ibu yang sedari tadi duduk di ruang tamu menunggunya. Ibuku yang sudah tak tahan dengan perselingkuhannya memutuskan untuk berpisah saja, sudah terlalu lama Ibu memendam sengsara.
"Pendek, saya udah tau semuanya. Nggak ada yang perlu di bahas, kamu boleh pergi." Jawab Ibuku dengan suara pelan.
Bapak segera menuju kamar, mengambil tas carrier kesayangannya dan memasukan baju-bajunya. Setelah menaruhnya di mobil, ia kembali masuk untuk mengambil beberapa barangnya yang mampu ia bawa ke dalam mobil.
Yang kukira akan ada keributan, ternyata mereka hanya saling diam tanpa kata.
Aku yang sedari tadi sedih, kesal karena kelakuan Bapak, bahkan bersiap mencaci jika terjadi keributan dibawah tadi, malah sebaliknya. Sekuat tenaga menahan tangis, berusaha tegar dan memasang wajah puas penuh kebencian di depan adikku.
Ketika mesin mobil mulai di nyalakan, terbesit di kepala untuk berlari menemuinya sekedar mengucapkan kata perpisahan. Namun egoku masih begitu besar, malam itu yang ku fikirkan hanya dia harus segera pergi dari hidup kami.
"Sudah pergi ya kak?"
Dengan tatapan polos adikku bertanya pelan.
Namun tatapan itu membuat lidahku kelu untuk menjawabnya, aku kehabisan kata-kata.
Hatiku menangis sejadi-jadinya, menatap malang adik kecilku yang mungkin perasaannya sedang hancur, yang mungkin hati kecilnya berkata tidak ingin Bapak pergi atau bingung kenapa Bapak tega. Aku ingin memeluknya tapi gengsi seakan menahanku melakukannya.
"Sudah, memang seharusnya dia pergi, anggap aja nggak ada. Kasian kan ibu kalau harus diperlakukan kayak gitu. Suatu hari pasti dia nyesel udah ninggalin kita demi perempuan yang lebih jelek dari Ibu." Jawabku dengan nada sinis dan wajah mengantuk.
Hampir tengah malam dan aku memutuskan untuk menuju kasur dan membaringkan badanku ke arah dinding. Menangis sejadi-jadinya, karena aku tahu betul bukan hanya dia yang akan menyesal karena meninggalkan kami, tapi aku juga akan sangat menyesal karena tidak sempat mengucapkan selamat tinggal atau menatapnya lebih dekat untuk terakhir kalinya.