Perjalanan menulis paling awal saya, kalau boleh jujur, disebabkan oleh kekonyolan masa remaja. Waktu itu saya jatuh cinta lalu membuat puisi. Klise sekali, ya? Tapi seiring waktu berjalan, setelah sekian puluh puisi saya hasilkan, saya menyadari bahwa saya terlalu egois dan bodoh.
Betapa tidak? Menulis puisi hanya untuk cinta memang manis kedengarannya. Tapi mungkin juga tidak banyak yang tahu, betapa hal itu sulit membuat kita bangkit. Sah-sah saja menulis puisi, tapi setidaknya harus memberi manfaat, baik untuk si penulis maupun si pembaca (pembacanya tak harus selalu orang yang dicinta tadi). Sementara, puisi-puisi yang saya tulis, tidak memberi manfaat apa-apa selain menambah lembar kekaguman saya yang berlebihan kepada seseorang.
Tapi saya bersyukur. Dengan kejadian itu, saya pelan-pelan sadar—terutama setelah seorang teman menghilangkan sebagian puisi itu (yang tersimpan di draft ponsel saya). Lalu saya tersentak, seolah ada yang berbisik: "Apa hanya sampai di situ? Apa tidak ada hal lain yang bermanfaat dari kegiatan menulismu?"
Maka, suatu malam di akhir tahun 2010 saya tidak bisa tidur. Kesadaran itu kembali di saat saya mendengar suara dengkur tidur teman-teman sesama perantau. Di tengah kondisi sulit hidup sebagai perantau, saya tahu saya akan lebih sulit untuk menjadi bermanfaat bagi orang banyak, selain dengan cara menulis. Ya, saya ingin bermanfaat dengan menulis, saya ingin menginspirasi dengan menulis. Dua keinginan itu membuat saya seperti bandeng di wajan berisi minyak panas, yang dibolak-balik agar matangnya merata. Saya terus berpikir keras, tidak bisa tidur.
Pada saat yang sama, saya ambil ponsel: membuka Google. Saya cari informasi apa pun yang memungkinkan saya memulai menulis dengan jalan baru: bukan jalan cinta monyet. Maklum, saya belum tahu apa-apa tentang penerbitan. Saya kala itu bahkan tidak tahu, bahwa ternyata di Indonesia ini ada banyak sekali anak muda yang punya keinginan yang sama dengan saya: menjadi penulis. Bayangkan, konyol sekali ketika saya berpikir bahwa mungkin hanya segelintir saja yang menginginkan itu.
Lalu, setelah dapat gambaran—meski agak kabur—tentang tata cara mengirim naskah buku ke penerbit dari internet, mulailah saya menulis. Kalau tidak salah ingat, waktu itu bulan Oktober 2010. Saya mulai menulis sebuah novel yang isinya tentang kehidupan jalanan kota Jakarta. Waktu itu saya sering melihat kehidupan semacam itu—atau bahkan saya sempat menjadi bagiannya walau sekadar sebagai penonton saja.
Karena tak ada komputer—jangankan komputer, laptop saja tidak ada, apalagi saya dan teman-teman di kost-kostan ketika itu tidak membutuhkannya untuk bekerja—maka warnet memberi solusi. Saya setiap hari datang ke warnet, berjalan kaki, hanya untuk menulis novel pertama itu. Rasanya jangan ditanya. Bahkan saya tak tahu harus memulai dengan kalimat apa!
Maklum, dulu saya hanya terpaku pada penulisan puisi dengan diksi yang itu-itu saja, tidak kreatif, payah, buruk, dan klisenya melebihi wafer cokelat kebanyakan. Lagi pula saya juga tidak pernah menulis cerita—benar-benar sebuah cerita maksudnya. Bukankah puisi dan cerita berbeda? Dan bukankah yang disebut puisi lebih bebas? Sebab sebetapa pun buramnya isi sebuah puisi, orang tak akan banyak protes—kecuali puisi tersebut berisi hal-hal yang tidak menyenangkan terkait pihak tertentu, misalnya.
Tapi saya tidak mau berhenti. Saya seperti didorong oleh kekuatan entah apa, yang membuat saya terus menulis walau keadaan kian sulit. Saya tidak akan menyebutkan keadaan semacam apa itu. Saya cukup bilang bahwa dalam waktu sekitar seminggu, saya hanya bisa menghasilkan 10 halaman. Jangan tanya seberapa lama waktu yang saya butuhkan untuk menyewa komputer. Dalam sehari saya bisa membayar 4 jam menjelang tengah malam dan hanya bisa menulis paling banyak satu setengah halaman saja!
Empat jam bukan waktu yang singkat. Empat jam kalau kita gunakan untuk menonton sepak bola di TV, bisa dua kali pertandingan penuh. Bisa saja sepuluh gol terjadi dalam waktu sepanjang itu. Sementara, gol sebanyak itu saja bisa tercipta, saya heran, kenapa saya hanya mampu menulis sebanyak satu setengah halaman? Padahal, jujur saja, waktu itu saya belum tahu format tulisan yang benar (ukuran/jenis huruf, margin, dan spasi). Belakangan saya tahu, bahwa format saya ketika itu menyimpang, alias terlalu besar dari ukuran standar yang ada.
Tapi saya tidak menyerah. Setelah mendapat 10 halaman, dengan senang saya print tulisan pertama itu, lalu menunjukkan ke teman saya—tepatnya memamerkan. Bayangkan, yang ada di kepala kita kalau sudah melakukan hal yang sulit, pastilah ingin mendapat apresiasi. Paling tidak, walau tidak ada pujian, janganlah dicela. Tapi ini tidak. Teman saya justru bilang, "Membaca judulnya saja aku gak tertarik. Kalau aku punya penerbitan sendiri, lalu menerima tulisanmu, begitu membaca judulnya, langsung kutolak!"
Entah rasanya seperti apa. Saya lupa. Mungkin seperti disuguhi satu kilo cabe rawit tanpa air minum. Sakit, panas, marah, kesal, intinya sekitar itu-itu sajalah. Itu kejadian tahun 2010 yang banyak menyisakan kenangan pahit di kehidupan saya. Kemudian setelah itu saya berhenti menulis. Saya putus asa. Saya belum sadar, bahwa dalam dunia kepenulisan juga diperlukan kritik agar ke depan karya kita jadi lebih baik. Tapi ketika itu saya tidak mau dikritik. Saya benci dikritik.
Saya teruskan aktivitas saya dengan tidak lagi menulis.
Hampir dua tahun kemudian saya baru mulai menekuni, membuang rasa kecewa itu, dan mengubahnya menjadi energi positif. Saya tidak tahu. Mungkin ini sudah takdirnya; saya bertekad tidak akan berhenti apa pun yang terjadi!
Mei 2012 saya mengikuti perlombaan. Pertama kali ikut, saya ingat, waktu itu saya menulis artikel tentang internet. Tulisan ini nyaris berhasil, tapi karena satu persyaratan yang tidak terpenuhi: "harus berteman dengan akun Facebook penyelenggara", maka naskah saya digugurkan alias batal menang. Tidak masalah.
Berikutnya, lomba menulis cerpen. Nah, ini yang menarik, karena saya tidak pernah menulis cerpen, sulit juga. Tapi akhirnya saya bisa. Saya ingat sekali, waktu itu hadiah pemenangnya adalah sepatu baru dan uang tunai, serta buku antologi hasil lomba yang diterbitkan. Saya langsung berpikir, "Ini saatnya membuat Ibu senang!" Sebab sejak dulu saya sering bilang bahwa saya ingin menulis, tapi saya tidak bisa mewujudkan itu. Sebagai seorang anak, saya ingin membuat Ibu tersenyum mendapati karya anaknya terbit. Itu saja cukup saya syukuri.
Tapi ketika pengumuman, lagi-lagi saya gagal. Entah kenapa kali ini sangat kecewa. Mungkin karena batal memberi "hadiah" buat Ibu. Atau mungkin karena panitianya sempat bilang bahwa cerpen-cerpen yang gagal itu dikarenakan ditulis jauh dari kaidah keislaman. Padahal waktu itu saya menulis tentang pengalaman semasa kecil dengan Ibu. Saya tidak paham isi kepala panitia itu, tapi saya tidak sudi untuk mencari tahu. Saya hanya tersinggung dan tidak akan mengikuti lomba di tempat itu lagi.
Setelah itu, tidak terhitung, banyak kekecewaan saya rasa. Gagal dalam perlombaan pun seolah jadi jadwal mingguan atau kadang harian, karena saking banyaknya lomba yang saya ikuti (yang kesemuanya saya tulis di komputer warnet). Awal-awal kecewa, tapi pelan-pelan terbiasa. Saya siap menerima kegagalan. Tapi satu kekurangan saya: saya masih tidak bisa dikritik.
Suatu ketika, saya tunjukkan cerpen saya ke seorang teman. Itu cerpen tentang kisah nyata saya. Kebetulan ketika itu saya sudah menjuarai satu kali perlombaan menulis, tepatnya sebagai juara dua. Karena jadi juara itulah, saya kemudian mengenal teman yang satu ini. Setelah membaca cerpen saya, dia bilang cerita itu terlalu mudah dan kurang istimewa. Saya seketika itu tersinggung dan menampik dia dengan berbagai penjelasan. Sebab, menulis kisah nyata itu harus apa adanya. Saya tidak sadar, bahwa ketika itu saya hanya sedang berkilah, alias tidak mau mengakui bahwa tulisan saya memang dikemas dengan kemasan yang kurang spesial, bahkan buruk.
Koleksi bacaan saya sedikit, tidak banyak. Mungkin itu yang membuat wawasan saya kurang terbuka. Maka, setelah saya membaca beberapa karya yang lebih berkualitas, sekitar seminggu kemudian saya sadar, bahwa kritik teman saya waktu itu benar. Saya malu mengatakan padanya. Tapi saya berjanji tidak akan marah, kesal, atau mengeluarkan ekspresi semacam itu lagi bila suatu hari nanti dikritik.
Dari titik ini saya memulai dengan langkah paling baru. Tidak ada pikiran-pikiran negatif. Saya hanya ingin membawa pemikiran positif. Juli 2012 menjadi garis start pendakian saya dengan pemahaman baru: siap menerima kegagalan dan siap tulisan saya "dihina".
Sejak itu, silih berganti lomba-lomba saya ikuti. Menang kalah sudah biasa, walau jauh lebih banyak kalahnya. Saya pikir tidak apa-apa, sebab kata orang bijak, kesuksesan butuh proses dan proses itu penting. Tanpa proses, manusia tidak akan bisa berkembang kecuali dengan cara menyuap atau menggunakan alat ajaib Doraemon. Tapi saya tidak mau melakukan itu, walaupun benar Doraemon ada di hadapan saya, dan walaupun benar saya punya uang dan celah untuk menyuap. Saya tidak mau.
Menulis dengan cara seperti ini saya lakoni sampai bulan-bulan berikutnya. Warnet masih menjadi "teman" saya, sebab saya belum punya "mesin tik". Barulah pada bulan Oktober 2012 saya bisa membeli sebuah netbook. Kecil tapi berguna. Dari benda ini saya kemudian menghasilkan beberapa naskah buku. Maka, kalau boleh dibilang, tahun 2013 adalah tahun tergila saya dalam menulis. Kalau tidak salah hitung, sampai detik ini, saya sudah menulis sekitar 13 naskah buku. Tiga di antaranya sudah terbit: Dermaga Batu (kumpulan puisi, 2013), Jalan Setapak Aisyah (kumpulan cerpen, 2013), dan Minus Menangis (kumpulan cerpen, 2014). Beberapa naskah lain belum terbit karena sering juga mengalami penolakan di penerbit. Tapi saya tidak mau berhenti. Sejak terbitnya Dermaga Batu, saya sudah ketagihan untuk menerbitkan buku lagi dan lagi.
Tapi, dari sekian ratus cerpen yang saya tulis—baik itu yang saya kirim ke berbagai lomba, atau yang dihimpun dalam kumcer—saya tak pernah sekali pun menembus koran. Selama ini saya hanya bisa menembus media cetak lewat "sedikit puisi" dan "sedikit artikel". Saya tahu kemampuan saya kurang, maka saya terus mengasahnya. Saya tidak berhenti dan terus mengirimkan cerpen-cerpen ke media cetak. Semakin saya ditolak oleh suatu media cetak (jujur saja, bukan ditolak, kadang digantung alias tidak ada kabar sama sekali, bahkan pernah sampai ada yang sepuluh bulan lebih!), semakin saya tahu saya harus berjuang lebih keras untuk bisa "mencuri" hati redaktur.
Karena ingin mengasah kemampuan menjadi lebih baik lagi, saya mulai mengikuti lomba-lomba bergengsi dan meninggalkan lomba-lomba kecil yang biasa saya ikuti via internet. Tujuannya agar saya bisa mengukur kemampuan saya, sebab juri-juri lomba bergengsi tentunya lebih kompeten dan ahli di bidangnya. Meski demikian, kegagalan masih saya dapat—banyak malah. Tapi saya tidak bosan. Saya tetap menulis.
Sampai suatu ketika, pertengahan Agustus 2014, ada kabar baik. Cerpen saya yang berjudul "Robot-Robotan di Rahim Ibu" berhasil menempati posisi juara dua dari lima ratus lebih peserta se-Indonesia dalam ajang ASEAN Young Writer Award 2014. Dengan kata lain, saya termasuk satu dari dua peserta Indonesia yang terpilih di ajang bergengsi tingkat Asia Tenggara ini.
Meski tidak/batal ikut berangkat bersama Faisal Oddang (juara satu dari Indonesia) ke Bangkok, Thailand untuk menghadiri penyerahan penghargaan ini secara langsung, saya bersyukur karena mendapat plakat dan piagam dari ajang ini. Itu suatu saat akan menjadi bukti perjuangan yang bisa saya ceritakan kepada anak cucu. Sebuah kenangan manis yang tak terperi. Cerpen itu saya tulis tepat di hari ulang tahun saya yang ke-23, tepatnya pada Juni 2014. Saya tak menyangka, ide sederhana dari cerpen itu dapat diterima dan "menjebol" keraguan saya bahwa saya tidak bisa menulis cerpen dengan baik. Ternyata saya bisa.
Begitulah buah kesabaran. Setelah jatuh bangun, setelah menikmati proses, saya menemukan anak tangga pertama yang akan membawa saya ke puncak mimpi. Betapa tidak indah? Mimpi menjadi penulis saya tapaki pelan-pelan, membuat saya makin mantap dan yakin dengan "pilihan" jalan ini.
Dukungan dari orangtua, keluarga, sahabat, dan teman-teman membuat saya terus berjalan meski rintangan menghadang. Setelah kabar dari Bangkok itu, saya dikejutkan kabar lain, yakni bahwa salah satu naskah novel saya "dilirik" oleh penerbit mayor. Ini kejutan lain, sebab—walau naskah itu sederhana, karena seumur-umur baru kali itu menulis novel teenlit; jauh dari kebiasaan saya yang sering mengangkat tema dewasa—itu punya kesan tersendiri. Kenapa? Karena naskah itu adalah naskah novel pertama yang saya tulis di akhir tahun 2010 itu: naskah yang sempat membuat saya putus asa akibat dikritik teman. Saya tak menyangka naskah itu akan terbit dan tak lama lagi "mejeng" di rak toko-toko buku nasional.
Memang, sejak dikritik itu, saya tidak pernah menyentuh naskah ini. Saya tinggalkan dengan hanya 13-15 halaman dan tersimpan di ponsel. Tahun 2013, saya terdorong untuk menyentuhnya lagi, menambah sedikit ide baru, melanjutkannya sampai lebih dari 100 halaman. Istimewanya, naskah novel ini adalah naskah novel fiksi pertama yang saya tulis, tanpa "metode" kerangka atau membuat sinopsis terlebih dulu. Semua mengalir begitu saja dari awal sampai akhir. Judul yang dipilih untuk calon novel ini adalah "Matahari yang Setia" (tak lama lagi hadir di toko buku, jadi jangan lupa beli, ya. :D ).
Menulis memang butuh proses, kesabaran, dan kebiasaan. Dari secuil kebaikan yang saya raih lewat menulis, tentunya masih panjang proses yang harus saya lalui. Saya masih ingin belajar dan belajar. Saya haus mengasah kemampuan menulis.
Ada yang perlu kita ingat: belajar itu tanpa akhir. Yang berakhir hanya hidup. Maka, selalulah menulis, sebab masih banyak hal yang tidak kita tahu. Yang kita tahu pasti hanya satu: kelak kita mati. Mati meninggalkan tulisan, berarti mati menjadi sejarah. Mati tanpa tulisan, hilanglah kita dari cerita. Pilih yang mana, terserah kita. [ ]