Kawasan pusat kota Jakarta yang bersih dipagari gedung-gedung megah, diselingi pagar pepohonan hijau, di pagi yang sejuk, disirami hangat sinar mentari, dihembus lembut udara segar, pria dan wanita, tampan-tampan dan cantik-cantik, dengan dandanan rapi, berjalan kaki berangkat kerja menuju kantornya.
Ohh, wowww....... suatu pemandangan yang sangat indah di mata, indah di rasa. Lebih indah dari pemandangan serupa yang kadang muncul di televisi tentang kawasan pedestrian di berbagai kota besar dunia. Alangkah bagusnya bila pemandangan indah ini berlangsung setiap hari, atau minimal seminggu sekali.
Pemandangan yang indah ini tidak hanya bisa dinikmati oleh pembaca dan pemirsa berita media. Para pria dan wanita indah yang sedang melakoni jalan kaki ke tempat kerja tersebut terutama yang lebih maksimal menikmati semua pemandangan indah itu. Menjadi penikmat keindahan sekaligus juga menjadi keindahan bagi penikmat-penikmat yang lain.
Berjalan kaki bersama ribuan keindahan lainnya menuju tempat kerja, adalah aktivitas sosial riil yang bisa mengobati sindrom kondisi sosial masa kini, masyarakat yang tersekat-sekat dunianya dalam alam maya gadget.
Melihat orang lain tidak sekedar gambarnya di layar gadget, tetapi melihat seluruh bentuk nyatanya dengan segala goyangan indah tubuhnya, dengan aroma wangi parfumnya, dan merdu renyah suaranya, serta hangat ceria senyum tawanya. Interaksi biologis-sosial nyata antar anggota komunitas suatu kawasan, menjelang para pegawai memulai kerja, pasti memberikan efek positif bagi suasana batin dan kinerja sepanjang hari.
Beraktivitas fisik yang pasti sehat di pagi yang cerah disorot hangat mentari pagi, menghirup udara kota Jakarta yang bersih dari asap pekat knalpot, bebas dari kebisingan suara kendaraan, sembari menikmati pemandangan keindahan ribuan ciptaan terbaik Tuhan. Bukankah itu suatu impian bagi penduduk DKI Jakarta?
Ketidaknyamanan hidup di Jakarta seperti kemacetan yang selama ini dikeluhkan dan menjadi bahan caci maki kepada para pemimpin DKI yang silih berganti seketika musnah tanpa suatu usaha, tanpa biaya. Pemimpin DKI saat ini, Ahok yang cerdas, harus menangkap peristiwa indah ini, dan menjadikannya kondisi permanen, atau minimal berulang, di kawasan perkantoran tersebut, bahkan bisa diterapkan di berbagai kawasan di ibukota. Kalau Ahok tidak dapat menangkap kenyataan keindahan ini, pantas diragukan kecerdasannya.
Angka-angka statistik buruk seperti tingkat polusi udara kota, polusi suara, kemacetan, kecelakaan kendaraan bermotor, masalah sosial seperti pengemis, pengamen dan copet jambret di angkutan jalan, joki three in one, pelanggaran lalu lintas, seketika sirna.
Masalah penampungan kendaraan pribadi di titik luar kawasan bebas kendaraan bermotor, pengaturan jalur transportasi umum, itu semua bisa diatur. Penolakan dari sebagian masyarakat bila kebijakan kawasan bebas kendaraan ini diberlakukan? Itu reaksi wajar tipikal masyarakat Indonesia yang selalu menentang hal baru meski baik tujuannya. Contoh nyata adalah kewajiban memakai helm pengaman bagi pengendara bermotor, yang ditentang di awal, dan kini telah menjadi kebiasaan dan kebutuhan, bahkan gaya penampilan bagi para pengendara motor.
Semoga pemandangan indah orang kantoran berjalan kaki berangkat kerja ini tidak hanya terjadi saat ada Konferensi Asia Afrika yang entah berlangsung berapa tahun sekali di Indonesia. Pemerintah DKI harus menjadikan kegiatan bagus ini kondisi rutin. Syukur ditiru dan diterapkan pula di kota-kota besar lain di Indonesia.
Memandang lawan jenis dalam usia dan penampilan terbaiknya saat melenggang menuju tempat kerja, di pagi yang segar dan cerah, siapa yang tidak suka? Hahahaha..........