Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Haruskan Presiden dari Jawa?

26 Oktober 2011   15:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:28 207 1
Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Theo L Sambuaga berpendapat meski Aburizal Bakrie bukan berdarah Jawa, namun rakyat Indonesia diyakini bisa menerima ketua umum Partai Golkar itu sebagai Presiden. Rakyat Indonesia kini makin terbuka dan dewasa dalam berbangsa dan bernegara. Latar belakang primordial tidak menjadi hambatan bagi seseorang untuk menjadi pemimpin nasional. Selanjutnya menurutnya , dalam perkembangannya masyarakat Indonesia saat ini sudah tidak mempermasalahkan lagi golongan ataupun etnis tertentu. Meski penduduk Indonesia mayoritas Jawa, namun terbuka terhadap suku lainnya.

Jawa atau bukan, mestinya tidak menjadi tolok ukur kemungkinan seseorang dapat diterima sebagai pemimpin nasional.  Yang menjadi persoalan saat ini, iklim politik demokrasi saat ini  tidak  dapat memunculkan pemimpin yang bersih dan kharismatik  sebagai akibat dari undang2 yang memungkinkan munculnya parpol2 baru. Parpol, hanyalah kendaraan politik dalam memenuhi syarat maju dalam kompetisi sehingga tidak membangun loyalitas elit politik itu sendiri.  Kita sudah terbiasa mendegar politikus kutu loncat, tak ada konsensus yang dapat mempersatukan kader partai, ketika tidak terjadi kesepakatan maka dengan mudah berganti atribut parpol atau membentuk parpol baru. Fenomena prilaku elit politik seperti ini menumbuhkan sebuah keadaan dimana parpol tak ubahnya sebagai badan usaha dan tariffpun berlaku dengan dalih biaya kampanye. Tingginya biaya politik menjadikan kekuasaan sebagai keberhasilan dari investasi yang ditanamkan.

Gaduh reshuffel kabinet menunjukkan gambaran bahwa kekuasaan menjadi penting artinya dalam penguasaan sumber daya, baik politik maupun keuangan. Kasus2 korupsi yang tidak pernah tuntas itu sesungguhnya memang merupakan jalan pengembalian investasi dengan cara peggelembungan anggaran negara. Kompetisi politik seperti ini, hukum dapat digunakan dalam kepentingan politik. Dengan mudah seseorang politikus terperosok masuk kedalam lubang tikus yang digalinya sendiri ketika terjadi ketidak sejalanan.  Siapa yang bersih siapa yang kotor menjadi tipis perbedaannya. Lucu memang, ketika seorang penegak hukum berhadapan dengan pesakitan, dengan lantang kesalahan pesakitan diungkapnya. Namun dilain waktu, karena kasus lain, sang penegak hukum menjadi pesakitan. Say  hello dalam satu nasib sepenanggungan karena  sama menjadi orang  sama2 bersalah yang sebelumnya dia menjadi orang yang berada posisi yang berlawanan.

Situasi negara yang seperti ini, semua serba tidak ada kepastian, tidak ada kepastian hukum seperti tadi menjadikan politik negara ini juga menjadi tidak menentu.  Kita telah mencoba menerapkan kedaulatan berada ditangan rakyat, rakyat memilih presidennya dengan berjuta harapan akan kemajuan. Namun apa yang terjadi hanyalah sebuah sandiwara, suara rakyat hanyalah sarana untuk menuju kekuasaan semata mata. Kursi kekuasaanpun menjadi panas karena semua merasa memiliki hak yang sama, interprestasi  undang2pun disesuaikan dengan kebutuhan elit politik, suara rakyat dapat dieliminir ketika kehendaknya tidak diakomodir.  Terus menerus terjadi gonjang ganjing politik, namun satu hal sangat patut disayangkan ketika ras dipolitisir. Keberhasilan sesorang bukan karena rasnya, bukan karena sukunya tetapi oleh kempuannya.  Jawa sumatera, sulawesi hanyalah asal usul manusianya, asal usul tidak menjamin seseorang menjadi pandai, menjadi disukai dan tidak pula menjamin mampu memimpin.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun