Beberapa pelaku bom bunuh diri memang berasal dari lingkungan pendidikan yang diselenggarakan oleh Baasyir, namun apakah para pelaku bom bunuh diri tersebut adalah hasil methode pendidikan islam yang diterapkan, jika melihat kurikulum pendidikan yang disyaratkan oleh Departemen Agama dipastikan bukan dari hasil methode pendidikan itu. Mungkin hanyalah sebuah kebetulan, rekruitmen islam garis keras menarik perhatian kalangan santri2 Baasyir dimana Baasyir dikenal mempunyai sikap yang konsisten sejak era orde baru dalam memandang perjuangan Islam. Sikap teguh Baasyir dalam menolak asas tunggal Pancasila membuat dirinya harus mengasingkan diri ke Malaysia selama 17 tahun. Baasyir sebagai tokoh panutan yang tidak mudah merubah pandangan perjuangan tentu menekankan keteguhan itu kepada santrinya. Kharisma Baasyir inilah yang menjadikan dirinya tokoh sentral termasuk para pelaku pengeboman itu atau yang dikatakan sebagai para teroris itu. Menerima siapapun termasuk para "pejuang" Islam adalah tradisi yang dibangun dalam tradisi silaturahmi. Walaupun tidak terlibat dalam kegiatan terorisme, namun sebagai seorang yang ditokohkan sikap tidak menganjurkan atau tidak melarang dapat dipandang mendukung terorisme. Dengan hubungan seperti ini hukum dapat menjangkau Baasyir, bukan karena Baasyir sebagai Amir JAT atau Ketua FPI Surakarta, melainkan karena ketokohannya dimata para pejuang islam garis keras.
Nasib yang sama dialami oleh Ketua Umum FPI Habib Riziq, namun bukan lantaran terlibat aksi terorisme sebagaimana yang dituduhkan kepada Baasyir, Riziq dijatuhi hukuman penjara karena didakwa ikut bertanggung jawab pada peristiwa di Monas yang melibatkan anggota FPI. Berbagai aksi paramiliter FPI ini yang bertindak sebagai polisi agama telah menimbulkan pro kontra akibat tidak tegasnya aparat kepolisian menindak prilaku bisnis yang dinilai bertentangan dengan ajaran Islam. Sebuah situasi yang dilematis dimana negara sekular memberikan tempat2 hiburan, walaupun ada aturan ketertiban namun aturan tinggal aturan yang sering dilanggar. Leluasanya FPI melakukan tindakan kepolisian tersebut menimbulkan kecurigaan FPI sesungguhnya dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Aksi2 FPI yang sering main hakim sendiri itu menimbulkan tudingan setiap kekerasan antar agama adalah ulah FPI. Namun seperti biasa, FPI menolak tudingan tersebut termasuk tudingan sebagai dalang penyerangan Jemaah Ahmadyah. Bahkan FPI balik mengancam akan menggulingkan pemerintahan SBY jika ormas ini dibubarkan.
Melihat hubungan kedua tokoh ini agaknya perjuangan yang mengatasnamakan islam ini disamping melalui jalan dakwah juga sepakat dengan aksi polisi agama. Hanya bedanya, Riziq lebih memilih skala nasional dengan sasaran tempat hiburan dan kelompok yang dinilai berbeda dengan pandangan Islam sedangkan Baasyir dinilai berskala internasional. Tentunya, mengingat Indonesia masih memerlukan hubungan baik dengan negara asing, bisa jadi apa yang disampaikan Baasyir benar, penangkapannya karena pesanan luar negeri. Pesanan atau tidaknya, seharusnya penegakan hukum harus tegas terhadap sipapun yang mengganggu ketentraman masyarakat. Apakah Riziq berlaku sebagai otak kekerasan agama belakangan ini, agaknya masih sulit dibuktikan. Terlebih Ahmadyah secara terang2an telah menuding fatwa MUI sebagai provokator dan sebaliknya MUI balik menuding Ahmadyah sesat. Mudah2an rakyat tidak tambah bingung.