Pada masa orde baru, buruh yang murah menjadi primadona Indonesia untuk menarik datangnya investor. Sayangnya negara kita tidak mampu meemanfaatkan kondisi tersebut karena banyaknya regulasi yang berujung dengan uang suap. Malaysia lebih maju selangkah dibanding Indonesia, daya tarik investor ke Malaysia karena upah buruh yang murah juga, dan upah buruh yang murah itu diperoleh dari Indonesia. Lucunya, atau mungkin lebih tepat merupakan kebodohan, para buruh migran ini disebut pahlawan devisa yang sesungguhnya mereka ini adalah korban dari kurang fahamnya para petimggi negeri ini sehingga dapat dibodohi bangsa Malaysia. Sebuah pengalaman saya pribadi masa lalu, ada suatu saat saya dihire oleh lembaga asing untuk sebuah pekerjaan dengan kwalifikasi expert ( minumum S2 + 5 tahun eksperience bidang khusus ) , tetapi billing rate yang diberlakukan untuk bangsa Indonesia jauh dibawah bangsa Filipina. Apakah artinya bangsa Indonesia direndahkan ?. Tidak juga, sebab Indonesia masih banyak bergantung pinjaman luar negeri yang artinya, Indonesia belum mempunyai bargaining untuk menentukan tariff jasa bangsanya sendiri. Dengan kata lain, menerima keadaan, pasrah saja karena kita masih disusui negara lain karena pimpinan negara kita kalah dalam strategi, kalah strategi karena senang disuap untuk mengisi koceknya sendiri.
Ada yang menggelitik perasaan saya, sadar tidaknya sesungguhnya kompasiana tidak menyadari kebodohan bangsanya sendiri. Saya sering membaca artikel HL yang diposting oleh komoasianer migran yang tentunya lebih ditonjolkan sisi senangnya menjadi buruh migran. Bagi saya ini adalah sebuah lelucon yang sangat menyedihkan, sebab sesungguhnya bangsa kita anti imperialis, kaum imperialis diusir dari bumi pertiwi dengan pengorbanan harta dan nyawa. Tetapi karena para pemimpin negeri ini tidak mampu menyediakan lapangan kerja, banyak bangsa ini yang lari dari negeri sendiri untuk menjadi budak bangsa lain. Situasi seperti ini dipolitisir, para korban exploitasi tenaga bangsa indonesia berubah menjadi pahlawan devisa, maka tertutuplah kelemahan pimpinan bangsa ini secara politis dimata rakyat. Situasi ini sudah berlangsung lama, terlebih setelah ambruknya sektor manufaktur di Indonesia akibat krisis moneter 1998.
Sebagaimana disampaikan oleh Ali Mukti, kompasianer yang sukses menjadi TKI di Dubai yang menggambarkan betapa senangnya kehidupan paraTKI yang mempunyai majikan bangsa asing. Memang sangat menarik kehidupan mereka, namun apakah senang itu hanya untuk saat ini saja ?. Tidak usah meniru bangsa manapun untuk maju, bangsa Indonesia mempunyai potensi untuk maju jika kita dapat menghargai bangsanya sendiri. Inilah yang sesungguhnya menjadi pedoman dasar untuk merobah pola pikir yang berkembang saat ini, dulu bangsa kolonial diusir, tetapi sekarang mereka dicari dan dibutuhkan untuk menjadi majikan. Namun demikian adalah menjadi hak setiap orang untuk memperoleh lapangan pekerjaan, namun harus kita akui tidak semua orang mempunyai kemampuan menciptakan lapangan kerja. Salah satu syarat untuk mampu menciptakan lapangan kerja adalah kerelaan menanggung resiko kerugian atau setidak2nya kita tidak mendapat apa2. Inilah yang tidak dimiliki petinggi negeri ini maupun aparaturnya, jika sesorang ingin membangun usaha, didepan mata sudah terganjal berbagai peraturan yang diikuti sejumlah uang, baru bergerak sudah diperlakukan bak penjahat kelas berat sebagai pelanggar aturan, begitu seterusnya sehingga sulit membuat kalkulasi usaha secara benar. Akibatnya, lapangan kerja sulit tersedia, menjadi buruh migran bukan berati lepas dari incaran pungutan dinegeri sendiri, mulai dari jalur khusus dibandara sampai perjalanan ketempat tinggal tetap menjadi incaran kaum haus uang.
Mengaca dari strategi yang dilakukan oleh negara jiran itu dalam menarik investor untuk membangun industrinya, tenaga murah menjadi daya tarik investor, tetapi mereka memakai tenaga bangsa Indonesia yang murah. Namun demikian bukan juga berati pemerintah tidak berupaya, situasi politik membuat tenaga menjadi marah, sedikit2 demo yang membuat investor takut berinvestasi di Indonesia. Jika tidak marah, senyum2 main mata, perizinan diberikan untuk berinvestasi mengeruk kekayaan alam bangsa Indonesia. Kali ini senyum itu bukan senyum hepi, tetapi senyum pahit ...meringis. Sebab, membiarkan makin meningkatnya jumlah TKI maka akan semakin terjadi peluang pelecehan bangsa, sementara para penguasa sudah cukup puas melewati masa jabatan dan tidak dipaksa turun. Mestinya para penguasa menyadari, mengapa bangsa malaysia dengan seenaknya melanggar kedaulatan negara ini ?. Jawabannya simple, bangsa malaysia yakin bahwa para penguasa negeri ini tidak akan sungguh2 mempertahankan kedaulatan bangsa, jangankan wilayah, manusia Indonesia saja bisa dijual oleh bangsa Malaysia. Promosi tenaga murah oleh Malaysia, investorpun berdatangan, kita bangga dapat pujian, tenaga kerja Indonesia murah dan baik2 dan aman. Pandangan martabat yang rendah terhadap TKI itu semakin terlihat menyusul banyaknya kasus2 penyiksaan dan pemerintah Indonesia hanya bisa menghimbau dan memanfaatkan untuk kepentingan politik.