Para pakar mengidentifikasi candu internet sebagai bagian dan dampak dari sebuah pelarian jiwa yang sepi. Dunia web memang indah. Dia memberikan sebuah janji akan kemajuan yang sangat revolusioner di segala bidang. Tetapi, ketika kemajuan itu telah diraih, orang menjadi sadar bahwa internet juga bisa menjadi sebuah bencana, apabila tidak dimanfaatkan pada jalur yang sebenarnya, dan dengan cara yang semestinya. Ketika beberapa riset ilmiah di berbagai belahan negara maju memberikan rekomendasi dan konfirmasi bahwa semakin banyak netter dan web-junkies yang terbuai dalam jerat candu internet, maka para pakar teknologi informasi dan psikiater pun juga semakin sadar, ini adalah sebuah kesalahan besar yang harus segera diperbaiki.
Dr Hanz Zimmerl, seorang terapis dari Austria yang terlibat dalam kajian tersebut berani menyimpulkan bahwa 40 persen dari 200 juta pengguna internet di seluruh dunia, sudah tidak lagi bisa mengendalikan diri, dan sudah terkena sindroma menakutkan ini. Para ahli psikologi dan psikiater berpendapat bahwa ini adalah sebuah penyakit kejiwaan pertama yang bisa dengan cepat “menular”, dan kemudian mewabah dengan sangat cepat pula. Kematian akibat sindroma ini memang sangat jauh dari kemungkinan itu. Tetapi, yang menakutkan adalah bahwa kecanduan internet bisa menjadi sebuah penyakit jiwa yang sangat mengganggu sendi-sendi kehidupan kalangan modernis. Penyakit ini sangat berkaitan dengan kepribadian seseorang. Walaupun demikian, meski sudah mendapatkan bukti-bukti bahwa sindroma kecanduan internet memang telah berwujud fakta, para pakar toh belum menemukan kata sepakat tentang ukuran-ukuran ilmiah yang bisa digunakan untuk memastikan bahwa seorang pengguna internet memang sudah mengidap penyakit ini. Misalnya saja, para dokter, ahli terapis dan para psikiater sampai sekarang masih saja ragu-ragu akan batasan yang memastikan, sampai stadium berapakah seorang suffer dapat digolongkan sebagai pecandu internet.
Seperti yang dikatakan Andre Hahn, seorang sarjana psikologi dari Universitas Humbolt di Berlin, Jerman, karena sindroma ini adalah sebuah fenomena kejiwaan. Dan fenomena ini justeru berbasis pada masalah kepribadian. Tetapi, para pakar dan psikiater dari berbagai perguruan tinggi itu pun sampai saat ini masih saja terlibat dalam perdebatan yang justeru membuat semua orang semakin ketakutan: mereka masih mempertanyakan dan mempersoalkan apakah terapi terhadap para penderita sindroma ini memang diperlukan atau tidak ?. Diam-diam dan dengan didasarkan pada keyakinan bahwa ini memang sebuah sindroma yang dicegah dan diobati, beberapa praktisi psikologi memang sudah mengadakan sejumlah riset secara terpisah. Mereka terlebih dahulu membuat beberapa premis ilmiah. Dr Ivan Goldberg, seorang psikiater dari New York, misalnya, berani menggunakan istilah “Internet Addiction Disorder” (IAD, gangguan kecanduan internet) untuk mengidentifikasi kelainan ketergantungan akan internet ini.
Dr Kimberly Young, Direktur Center of Online Addiction pada Universitas Pittsburg-Bradford, Amerika Serikat, membuat analisa yang jauh lebih seram. Menurut dia, siapapun, tak peduli siapa orangnya, yang terhubungkan dengan modem ke internet, sangat berpotensi untuk masuk dalam jerat candu internet. Penulis buku Caught in The Net ini sudah mendapatkan lebih dari 400 kasus yang berhubungan dengan gangguan akibat penggunaan internet. Tetapi, kapan sebenarnya seorang pengguna internet dapat dikatakan sudah kecanduan? Sekali lagi, para pakar dan ahli medis menyepakati satu hal bahwa batas-batas kapan seseorang dinyatakan sebagai pecandu internet, belum jelas untuk didefinisikan. Hanya saja, jika seseorang sudah merasa tidak lagi dapat mengendalikan keinginannya yang besar untuk bermain internet, dan jika ia sudah tidak dapat lagi melakukan upaya-upaya penghindaran diri, maka dapat dikatakan ia sudah dikuasai oleh keinginannya. Dia sudah kecanduan internet, dia sudah terjangkit syndrom, dia sudah mengalami gangguan kejiwaan. Sesorang yang sudah terjangkit syndrom ini antara lain terlihat dari sikap yang tidak disadarinya seperti :