Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Sarimin Gubernur DIY

6 Desember 2010   19:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:57 361 0
Masih hangat polemik RUU Keistimewaan DIY dimana Sri Sultan HB X dijadikan tokoh sentral sebagai reaksi pernyataan SBY dalam sidang kabinet belum lama berselang.  Kerajaan Jawa hanyalah sejarah, saat ini kita hidup dalam negara kesatuan Republik Indonesia namun sebagian dari masyarakat Jawa terutama masyarakat Jogyakarta masih melihat Raja Mataram  bukan sebagai tokoh seremonial bersanding dengan Presiden RI keberadaannya. Polemikpun berkembang yang mempertangkan dua tokoh itu, sementara itu Sri Sultan HB X mendapatkan tepukan ketika menerima bintang jasa dari Presiden RI atas jasanya dalam bidang pendidikan.  Sebuah pertanda bahwa Sri Sultan HB X menyadari kedudukannya sebagai tokoh seremonial, tetapi sebaliknya masyarakat Jogya berpikir lain, sudah selayaknya Sri Sultan HB X  menjabat sebagai Raja seumur hidup dengan status Gubernur DIY.

Adalah pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang menempatkan  Sultan Jogya sebelumnya sebagai alat untuk mengendalikan dan menjajah bangsa ini.  Perjanjian Giyanti yang memecah kesultanan ini menjadi dua kubu, satu berpusat di Solo, yang lain berpusat di Jogya. Jogyakarta menjadi Istimewa dengan Sultan menduduki jabatan pemerintahan RI, sementara di istana mangkunegaran di Solo dipimpin oleh raja seremonial, raja dari keluarga keturunan raja mataram.  Namun keduanya mempunyai kesamaan, diperalat oleh pemerintahan kolonial dengan tetap membiarkan raja jawa ini tetap eksist untuk memimpin masyarakat jawa secara seremonial agar tidak melakukan penentangan terhadap bangsa penjajah.  Pangeran Diponegoro, Sultan Mahmud Badarudin, Sultan Hasanudin merupakan  contoh tokoh bangsawan yang mengangkat senjata melawan bangsa penjajah karena harga diri bangsa yang dijunjung tinggi.  Sebaliknya, apa yang dilakukan oleh para sultan Jogya adalah berdiam diri membiarkan rakyatnya terjajah. Jika melihat apa yang dilakukan raja2 lain di Nusantara, perlakuan terhadap Sultan Jogya didalam negara kesatuan RI menjadi tidaklah fair, yang berdiam diri melihat bangsanya terjajah justru di istimewakan. Sebaliknya, kerajaan nusantara lainnya yang kerajaannya hancur karena melawan bangsa penjajah tidaklah diperhatikan atau tidak distimewakan seperti Sri Sultan HB X yang mendapat jabatan Gubernur karena keturunan.

Mengistimewakan salah satu warga negara mungkin dapat menimbulkan rasa cemburu, terlebih distimewakan karena berkolaborasi dengan bangsa penjajah agar bangsa penjajah tidak menghadapi perlawanan. Budaya jingkok masyarakat jawa yang masih membedakan strata sosial masa lampau itu  biarlah menjadi kekayaan budaya, dicampur aduk dengan kepentingan politik hanya akan menimbulkan sikap yang kontra produktif dalam masyarakat.  Mungkin pertimbangan semacam inilah mengapa terjadi kemandegan dalam pembahasan RUU keistimewaan Jogyakarta yang dapat menimbulkan kecemburuan  sosial keturunan raja2 nusantara lainnya. Memperlakukan Sultan sebagai seorang yang istimewa yang secara otomatis menjabat sebagai Gubernur DIY, apalagi Sultan menjadi salah satu pengurus partai,  keistimewaan yang diberikan tersebut dapat mengundang intrik yang dapat memecah belah NKRI. Indonesia bukanlah jawa, Negara Kesatuan RI itu dulunya terdiri dari banyak kerajaan,  maka jika pemerintah harus bersikap fair akan ada Gubernur seunur hidup dari Sumatera Utara, Riau, Sulawesi karena alasan keturunan seorang raja masa lalu.

Daerah Istimewa Jogyakarta, istimewa karena apa ?.   Agar tidak menimbulkan gejolak yang lebih luas lagi dalam NKRI sebaiknya dihapuskan saja istimewanya. walaupun status Istimewa tetap dipertahankan, tetapi bukan karena keberadaan Sri Sultan HB X,  lebih tepat karena "Gethuk" nya, gethuk istimewa dari Jogyakarta.  Tentunya masyarakat Jogyakarta perlu juga menyadari, DPR RI bukan DPR nya Jogya, bukan pula DPR ketoprak, jangan memaksakan kehendak. Pembahasan RUU Istimewa itu mandeg karena sesungguhnya tidak ada alasan yang tepat menetapkan adanya gubernur seumur hidup.  Terlebih Sultan HB X ikut berpolitik, menetapkan Sultan HB X sebagai gubernur seumur hidup daat menimbulkan kerentanan negara kesatuan RI, kemungkinan tuntutan serupa akan datang dari daerah lain, daerah yang mempunyai raja sebelum terbentuknya NKRI.  Jika Sarimin boleh mencalonkan menjadi gubernur DIY, lebih baik memilih Sarimin menjadi Gubernur DIY dari pada harus menerima Gubernur seumur hidup dengan alasan yang tidak tepat. Sarimin Raja gethuk Jogya, gethuk eksport yang mendatangkan devisa dan memberikan lapangan kerja secara nyata akan lebih pantas menjadi pemimpin karena karya dan keberhasilannya, bukan karena keturunan. Sayangnya sarimin masih pergi kepasar sehingga tidak bisa mencalonkan diri menjadi gubernur DIY.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun