Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Kompasianer Calon Kapolri?

4 Oktober 2010   07:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:44 156 0
Kompolnas telah menyaring delapan nama calon yang mereka seleksi. Dari delapan bakal calon itu, komisi yang dipimpin Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan Djoko Suyanto itu mengajukan tiga nama calon kepada Presiden. Ketiga nama itu disebut-sebut ialah Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Mabes Polri Komjen Nanan Soekarna, Kepala Badan reserse dan Kriminal Komjen Ito Sumardi, dan Kepala Lembaga Pendidikan Kepolisian Komjen Imam Sudjarwo. Namun Kapolri merekomendasikan dua nama  yaitu Nanan Sukarna dan Imam Sudjarwo. Dalam perkembangan di mata publik dan internal Polri, Nanan disebut-sebut sebagai calon yang paling layak. Dari sisi angkatan di Akademi Kepolisian, Nanan lebih senior, yakni angkatan 1978, sedangkan Imam angkatan 1980.  Selain itu, track record Nanan dinilai lebih baik karena pernah memimpin kepolisian daerah tipe A, sedangkan Imam memimpin Polda tipe C. Nanan juga dikenal sebagai perwira yang getol memberangus mafia judi dan korupsi. Namun timbul polemik karena Imam Sudjarwo yang ditengarai akan dipilih oleh SBY dianggap mempunyai kedekatan hubungan pribadi dengan SBY. Belakangan pemberitaan diramaikan lagi setelah kans Ito Sumardi yang juga kompasianer lebih menguat menjadi pengganti BHD setelah SBY mencoret dua nama calon sbelumnya. Diduga, pencoretan Nanan terkait dengan pertemuannya dengan Aburizal Bakri, walaupun pertemuan itu telah dibantah oleh Nanan.

Banyak pihak yang menilai penunjukkan Kapolri tidak transparan dengan mengesampingkan masukan dari publik. Siapakah yang dimaksud publik itu ?. Seperti kita ketahui bahwa penunjukkan kapolri harus atas persetujuan DPR yang menjadikan kedudukan Kapolri dapat bermuatan politis kepentingan parpol.  Maka, munculnya nama Ito secara tak terduga, dinilai sebagai proses pemilihan Kapolri yang tidak transparan. Ada kecemasan publik soal institusi Polri. Isu rekening tidak wajar sejumlah perwira Polri, berbagai kekerasan belakangan, dan terakhir kekerasan di Sumatra Utara, Jakarta Selatan, dan Tarakan, Kalimantan Timur, sangat penting dijawab. Itulah utang Polri yang ditagih masyarakat. Proses pemilihan ini bisa dijadikan momentum untuk mengembalikan kepercayaan publik, publik yang menghendaki keamanan sesunngguhnya, bukan keamanan kedudukannya.

Seharusnya, hubungan antara Presiden dengan Kapolri yang masih tertutup inilah yang harus diselesaikan secara transparan. Sebab, jika Nanan dipanggil Aburizal Bakri memang masuk akal terkait dengan persetujuan DPR. Semua sudah maklum, seperti halnya persetujuan pengangkatan deputy gubernur BI yang diwarnai suap, masyarakat sudah kehilangan kepercayaan terhadap DPR.  Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin sudah minta pihak-pihak terkait dengan proses pemilihan calon Kapolri transparan mengungkap nama-nama calon pengganti Jenderal Bambang Hendarso Danuri ini yang artinya DPR sendiri harus diawasi. Ketidak percayaan kepada DPR inilah yang sesungguhnya yang membuat masyarakat luas ikut mengontrol secara langsung. Akibatnya, setiap pergantian jabatan yang menyangkut persetujuan DPR akan menimbulkan polemik yang berkepanjangan.

Banyaknya intrik, banyaknya kemauan serta pendapat selama ini menyebabkan suhu politik terus memanas, sibuk dengan politik seperti ini membuat pemerintah tak dapat beranjak menangani ekonomi secara sungguh2. Apalagi citra negeri seperti ini akan dijauhi oleh investor untuk menanamkan modalnya guna menambah lapangan kerja masyarakat. Keterpurukan ekonomi akibat image keamanan yang tidak kondusif seperti sekarang ini telah pula dipakai oleh pihak yang tidak puas untuk melakukan manuver politik.  Menguatnya rupiah akibat menurunnya mata uang USD yang dipengaruhi oleh situasi ekonomi Amerika Serikat makin mempersulit pasar produk export negeri ini. Menurunnya pendapatan usaha pada akhirnya menurunkan pula kemampuan pembayaran upah yang pada akhirnya juga berujung pada PHK. Belum sampai disitu, gejolak perburuhan akan makin meningkat akibat persoalan upah yang akan makin memperburuk keadaan yang tentunya akan pula membuat iklim investasi makin tidak menentu. Belum lagi rentetan peristiwa kekerasan yang makin meningkat belakangan ini sebagai imbas dari kemelut sosial yang disebabkan keterpurukan ekonomi membuat kerja Polri makin berat.  Inilah yang membuat Polri harus berteriak soal minimnya dana pengamanan, tidak ada alasan untuk mempersoalkan dana pengaman, seperti itu pendapat para politisi yang lebih senang membiayai gerakan masa yang sering anarkhis.

Keadaan seperti ini karena lemahnya kepemimpinan SBY, begitulah tudingan kepada SBY yang dianggap tidak becus memimpin negara. Tidak ada yang melihat apa latar belakangnya, SBY adalah hasil pemilihan rakyat secara langsung mengikuti amandemen UUD, begitu juga wakil rakyat. Sama2 hasil  pilihan rakyat yang menciptakan situasi adu kuat diantara kedua kubu pilihan rakyat itu karena tidak memiliki konsensus kepada bangsa.  Suap, fasilitas berlebih, plesiran, spa adalah bukti konsensus kepada bangsa itu sama sekali tidak ada kecuali untuk kepentingan masing2 pihak yang duduk dikekuasaan. Wajar saja keadaan menjadi seperti sekarang ini karena semua berangkat dengan uang. Politik uang dapat terjadi karena memang peluangnya dibuka lebar2, lihat saja sewaktu pilkada, pileg, uang bertebaran dimana2, rakyatpun senang dengan fenomena itu. Kemelut ini hanya akan selesai jika terjadi revolusi, tetapi kembali lagi pada aturan, semua berlindung dibalik undang2 dan undang2 itu dapat berubah tafsir tergantung kebutuhan yang berkuasa. Tidak perlu mengherankan juga, persetujuan undang2 pun berbau suap karena ada kepentingan.  Inilah yang namanya zaman edan !

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun