Era demokrasi pasca tumbangnya pemerintahan orde baru membawa perubahan pada pengelolaan ketatanegaran dengan dilakukannya amandemen UUD 45 yang sebelum dianggap sakral dengan pancasila sebagai faham yang ditanamkan kepada bangsa ini. Keinginan merubah UUD 45 dan Pancasila dianggap dosa besar yang membahayakan negara. Sebuah garis politik yang keras ditanamkan kepada rajyat negeri ini namun langsung pudar begitu rezim berganti. Namun walaupun begitu persatuan Indonesia tetap terjaga. Perubahan pola pemilihan umum membawa pula warna politik dinegeri ini, Presiden hasil pemilihan langsung itu harus berjibaku memeprtahankan citra dari serangan lawan politiknya. Presiden sekarang tidak seperti Presiden Suharto yang dapat melakukan perintah apa saja terhadap penanganan lawan politiknya, Presiden saat ini terlihat membatasi atau dibatasi kekuasaannya dan hal ini menjadi terkesan kehilangan rantai komando kekuasaan yang menyebabkan timbulnya intrik dan pertanggungan jawab yang disalahgunakan. Banyaknya kepala daerah yang mbalelo dan terlibat korupsi, demikian pula wakil rakyatnya adalah sebuah karakter yang makin berani dari pemilihan langsung. Tak ada yang menguasai kami karena kami adalah pilihan rakyat, mungkin pemikiran seperti ini yang menimbulkan sikap lebih berani yang sayangnya dimanfaatkan untuk korupsi.
Pos Keuangan Negara menjadi sangat penting, demikian juga kedudukan wakil presiden, pemikiran profesional akan berbeda dengan pemikiran politis, demikian juga kepentingannya. Agaknya SBY terlalu percaya diri, pos penting itu diserahkan kepada non partisan yang diterima mitranya sebagai pendukung pribadi SBY atau sama saja merupakan kelompok SBY. Makin beraninya para penguasa yang dipilih langsung oleh rakyat menjadikan tambahan keberanian pula para birokrat melakukan tindakan korupsi. Berawal dari politik uang, sebuah perhitungan pengembalian investasi yang sangat menarik dan profitable menjadikan tarif politik makin meningkat. Sebagai seorang menteri yang bertanggung jawab untuk menaikkan pendapatan negara, disatu sisi Sri Mulyani dianggap sukses meningkatkan pendapatan negara dengan kepungan pajak terhadap rakyat. Daerahpun berlomba meningkatkan pendapatan karena terdapat kepentingan pengembalian investasi politik. Pajakpun menjadi tumpang tindih, satu sisi pajak daerah dikenakan, dilain sisi pemerintah pusat mengenakan pula untuk objek yang sama. Sebagai contoh, retribusi parkir adalah merupakan penerimaan daerah yang merupakan imbal jasa pengguna lahan parkir tetapi nyatanya parkir tersebut dikenakan pajak yang merupakan porsi pemerintah pusat. Demikian juga retribusi pasar, dewasa ini pasar banyak dibangun oleh developer yang seluruh biayanya ditanggung oleh oleh pembeli bangunan pasar, prinsipnya bangunan pasar menjadi milik pembeli dan tidak ada investasi pemerintah daerah. Nyatanya pemerintah daerah masih mengenakan retribusi pasar diluar retribusi kebersihan yang memang pemda melakukan investasi untuk penanganan sampah.
Masih banyak pengenaan pajak yang tumpang tindih, hal ini membuat masyarakat bingung, kesempatan inilah yang dipakai oknum seperti Gayus Tambunan melakukan aksinya. Pajak yang membingungkan tersebut menjadikan rakyat sebagai kaum kriminal dengan sangsi hukuman berat. Tak mau pusing dengan perkara, banyak yang memilih berdamai walaupun tidak mengerti kesalahannya. Sri Mulyani yang pandai menyiasati, mungkin dianggap sebagai pejabat yang sukses membuka peluang pendapatan negara tetapi hal ini dimanfaatkan pula untuk menaikkan pendapatan birokrat untuk kepentingan diri sendirinya.
Hanyalah sebatas menyiasati pajak dan menjaga stablitias moneter dalam situasi negara yang tidak terkontrol, ekonomi biaya mahal itu menyebabkan penurunan daya beli masyarakat akibat makin menyempitnya lapangan kerja. Departemen tehnis lainnya, tertama yang menangani pembangunan infrastruktur ekonomi harus putar otak akibat dana yang terbatas, terlebih setelah dilakukan privatisasi BUMN yang secara langsung mengurangi penghasilan para birokrat. Suatu etos kerja yang kurang mendukung yang menyebabkan ketidak puasan rakyat terhadap pemerintahan. Hal ini bukan tidak disadari oleh pemerintah, jalan keluarnya adalah melakukan pinjaman luar negeri.
Sebuah kerja keras penaggung jawab keuangan karena beban hutang lama dan biaya politik yang tinggi, namun kesalahan tetap dicari karena Sri Mulyani bukanlah partisan. Melihat situasi yang berkembang dalam gaya politik saat ini, sulit bagi siapapun untuk bekerja secara maksimal. Boediono yang diharapkan sebagai benteng ekonomi betandem dengan Sri Mulyani akan sulit dapat memperbaiki ekonomi karena vonis politik itu. Tidak ada seorangpun yang berani untuk mengambil kebijakan guna meningkatkan ekonomi negeri ini, semua penguasa hanya akan mengikuti alur yang berkembang. Ekonomi akan berkembang sesuai irama yang dibentuk oleh masyarakat walaupun harus dikepung pajak karena tingginya biaya politik. Dalam situasi seperti ini akan sulit mendatangkan investor untuk memberikan lapangan kerja, selain karena situasi politik, rasa nasionalisme yang salah akan lebih menakutkan bangsa lain.
Sedikit demi sedikit kekayaan alam akan tergerus untuk membayar hutang luar negeri, kesempatan kerja yang terus menurun, demikian juga dengan daya beli masyarakat, tetapi kita masih bersyukur, indonesia sebagai negara agraris masih mampu bertahan. Lihat saja kehidupan rakyat Indonesia bagian timur, mereka masih dapat bertahan karena masih tersedianya kemurahan alam, tak ada negarapun mereka masih mampu survive. Mungkin yang harus diperhatikan saat ini adalah jangan sampai rakyat tidak puas dengan perilaku politikus negeri ini. Sri Mulyani telah hengkang untuk menyumbangkan pikirannya bagi kepentingan bangsa lain, demikian juga banyak ahli yang lainnya. Ego itu telah membawa negara ini kearah kehancuran apabila tidak ada perbaikan. Penangkapan Susno Duadji juga dipandang sebagai sikap kontra perbaikan negeri ini, mungkin masih akan muncul susno2 yang lain atau Sri Mulyani yang lain setelah rakyat mulai bergerak mencari perbaikan karena rakyat tidak mengharapkan negara ini hancur.
Mungkin Sri Mulyani yang lain akan merasa khawatir dengan negara ini tetapi tidak dapat menghadapi situasi politik yang berkembang karena kekhawatiran akan bernasib seperti Susno Duadji. Hanya menunggu keruntuhan bukanlah tindakan yang bijaksana, berjuangpun akan berujung kesengsaraan. Serba salah, mungkin untuk saat ini hanya doalah yang paling tepat, semoga negara ini diselamatkan dari mara bahaya.