[caption id="attachment_132471" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (staff.blog.ui.ac.id)"][/caption] Rumahnya berada disebuah gang yang sempit dipinggiran Jakarta, rumah itu tidak seberapa luas. mungkin hanya berukuran 36 m2, berdinding bataco tanpa panfon langit2. Rumah yang sangat sederhana begitu juga perabotan yang ada dalam rumah itu. Tapi jangan salah duga, penghuni rumah itu, seorang2 wanita lanjut usia yang telah ditinggal suami untuk selama2nya, sesungguhnya dia mempunyai asset yang nilainya saya perkirakan lebih dari Rp. 100 Milyard. Kekayaan yang halal, yang berasal dari peningglan mendiang suaminya. Saya tanya, apakah dia mampu membaca dan menulis, dia mengaku dapat membaca, makanya dia dapat mengerti isi surat yang dipegangnya, begitulah penjelasannya. Berceritalah dia tentang isi surat itu, surat itu peninggalan mendiang suaminya yang meninggal beberapa tahun silam. Surat tanah dan hak waris itu saya perkirakan bernilai lebih dari seratus milyard lebih, saya hanya dapat geleng2 kepala, seorang nenek sebatang kara yang harus hidup dalam kemiskinan karena dunia peradilan kita tidak memihak orang seperti nenek ini. Seorang nenek yang buta hukum yang menjadi korban dari sistem peradilan yang lebih mementingkan uang daripada kebenaran. Sebuah potret dari orang2 betawi yang teraniaya justru dalam situasi demokrasi, demokrasi yang tidak mengindahkan hak seseorang, geram hati ini mendengar kisah nenek ini, saya ajak dia untuk melihat tanah peninggalan suaminya, astafirullah ..... hanya itu yang saya dapat ucapkan, tega sekali negara ini memprlakukan nenek seperti itu. Demikian juga keluarga besarnya dibuat tidak berdaya mengahadapi hukum yang diputar balik sehingga membuat mereka menjadi manusia yang terpinggirkan. Mereka tidak percaya dengan polisi, mereka tidak percaya dengan peradilan, hanya mukzizat Allah yang bisa menolong, itulah ucapan mereka ditengah keputus asaan. Mereka adalah sebagian dari masyarakat betawi yang tentunya sebagai masyarakat asli jakarta mempunyai tanah2 yang tidak sedikit peninggalan leluhurnya, namun seiring dengan perkembangan kota Jakarta, tanah itu menjadi sangat mahal harganya dan membuat orang2 yang tamak ingin menguasainya dengan segala cara. Beberapa surat girik dan sertifikat asli dipegang oleh nenek itu, tetapi semua surat kepemilikan tanah asli itu seolah tak ada gunanya, semua tanah yang disebut dalam surat itu telah diduduki orang !. Sebidang tanah di Jalan protokal yang saya taksir nilainya lebih dari Rp. 100 Milyard, sertifikat aslinya itu ada ditangan nenek ini, tapi nenek ini tidak berani menginjakkan kaki ditanah yang menjadi haknya karena tanah itu dijaga oleh satpam. Begitu juga tanah yang berada didaerah yang sudah menjadi daerah elit, telah berpagar dan dijaga. Siapakah mereka itu ?. Mereka adalah manusia2 yang mampu membayar, membayar siapa saja untuk menduduki hak orang lain. Tak salah kalau dikatakan, karena kepolosan dan keluguan masyarakat Betawi, mereka telah dijadikan objeck rampokan kaum pendatang yang lebih mempunyai kepandaian dan keberanian. Mudah2an makelar kasus di negeri ini dapat segera diberantas, korban didepan mata saya, seorang nenek yang sebatang kara yang sebetulnya seorang milyuner, namun akibat permainan makelar kasus hidupnya sangat menderita seperti yang saya saksikan. Masyarakat betawi yang seolah tidak mempunyai hak lagi di tanah leluhurnya, sedikit demi sedikit terdesak kepinggiran, bahkan tersingkir dari wilayah jakarta tanah leluhurnya itu.
KEMBALI KE ARTIKEL