Menurut Setyadi, dia sudah menyerahkan uang sebesar Rp 600 juta dari komitmen sebesar Rp 1 miliar. Uang itu dibayarkan melalui Mashuri melalui beberapa termin, yakni Rp 200 juta, Rp 250 juta pada 8 April, Rp 50 juta tanggal 12 April. Terakhir tanggal 13 April jam 24.00 sebesar Rp 100 juta. Sementara itu Dewan Pimpinan Daerah PKS Jember menyatakan, tak pernah meminta uang kepada Setyadi. Uang sebesar itu disebut PKS hanya titipan, dan sudah dikembalikan kepada yang punya. Namun Taufik menyatakan belum pernah menerima pengembalian uang itu.
Hanya sebuah contoh saja, permainan uang bukan hanya dilakukan oleh anggota dewan saja, tetapi juga oleh partai yang mempunyai hak mengusung sebuah jabatan. Transaksi kekuasaan sudah menggurita, kasus Gayus Tambunan dan Bahasyim, makelar kasus atau praktek money politics yang ditangani oleh penegak hukum seolah tidak diambil peduli. Tersangkutnya kasus hukum akibat praktek korupsi atau transaksi kekuasaan hanyalah sebuah kesialan belaka, mental korup dan perdagangan kekuasaan sudah sangat kental disegala sendi bangsa ini.
Mungkin saat ini rakyat hanya dapat menonton sambil berharap dapat masuk dalam lingkaran itu, hari berganti, generasi kekuasaan berganti tetapi mental itu tidak dapat berubah, mental korup dan culas itu sudah dimulai dari pendidikan bangsa ini. Ujian nasional sebagai ajang uji kwalitaspun sudah disiasati, pak guru membiarkan keadaan tersebut demi nama baik sekolah yang diukur dari jumlah kelulusan siswanya. Pendidikan sudah dimanipulasi yang mengajarkan siswa menghalalkan perbuatan curang, sebuah generasi hasil pendidikan curang itu nantinya akan mengganti kekuasaan generasi pendahulunya. yang korup dan curang.
Jangan bicara agama, departemen agama sebagai departemen kebaikan juga tidak terlepas dari praktek pelanggaran hukum seperti yang dilakukan oleh mantan menterinya yang harus mendekam dalam penjara. Apa yang menyebabkan bangsa ini menjelma menjadi manusia curang justru setelah meraih kemerdekaan dan berdemokrasi. Bukan salah agama yang tidak merubah kelakuan bangsa, agama adalah pedoman hidup agar manusia menghormati norma kebaikan menuju kehidupan masa nanti. Menunaikan ibadah haji yang harus diberlakukan kuota dan system inden mestinya menunjukkan bangsa ini semakin sadar tentang nilai religius, tetapi nyatanya nilai religius yang dipegang teguh itu hanya berlaku dimasyarakat penonton. Ketika berubah peran menjadi aktor, nilai itupun dicampakkan.
Saat ini, pencabulan dan perbuatan maksiat dapat dilakukan oleh siapa saja termasuk oleh orang yang menyebut dirinya Kyai, mengawini anak dibawah umur dengan dalih agama sudah biasa terjadi seolah melegalisasi perbuatan menyimpang. Inilah ciri masyarakat yang menggunakan akal yang diberikan untuk menghalalkan segala cara. Mengakali makna agama, membohongi komitment rumah tangga pada akhirnya hidup dalam dunia kebohongan.
PKS sebagai partai religius, nyatanya tak lebih dipakai sebagai kedok kemunafikan, berlandaskan ajaran lurus, dalam prakteknya juga tetap melakukan perbuatan curang, dipercaya mampu mengemban amanat konstituennya, nyatanya transaksi politik tetap dijalankan, mungkin hanya kelakuan oknum tetapi membawa nama partai. Tidak akan ada kasus jika tidak ada perbuatan curang, jangan tanya norma agama, ini dunia bung....!!!! Mungkin seperti itu motto hidup bangsa ini, agama hanya dipakai sebagai topeng, matanya tetap sama, mata duitan juga.