[caption id="attachment_116359" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Barangkali Misran, seorang matri kesehatan yang merasa bertanggung jawab terhadap kesehatan 9.000 penduduk 5 desa di Kutai Kertanegara, Kaltim sama sekali tidak menyangka bahwa mengobati penduduk adalah pelanggaran hukum dimata Jaksa dan Hakim. Dia harus pasrah menerima Vonis 3 bulan penjara atas tindakan kemanusiaanya itu. UU no 36/2009 bagi hakim pantas untuk mengirim dirinya kebalik jeruji besi. Masyarakat 5 Desa tersebut saat ini kehilangan orang yang membantu mereka bila dalam keadaan sakit, mereka kita harus menempuh perjalanan paling tidak sejauh 30 KM untuk mendapat pelayanan kesehatan akibat putusan hakim itu. Misran selama 18 tahun mengabdi menjadi Kepala Puskesmas Pembantu, dia membawahi 5 desa, 3 diantaranya yaitu Desa Kuala Samboja, Pemedas dan Tanjung Harapan. Dalam hal ekonomi, 5 desa tersebut lebih terbelakang dibandingkan daerah lain di Kutai Kertanegara. 9 ribu penduduk yang dibawahi Misran umumnya berprofesi sebagai buruh dan nelayan. Tentunya desa2 tersebut bukan menjadi lahan menarik bagi dokter yang lebih suka memberi obat bermerk karena biaya pendidikannya yang sangat mahal. Tidak adanya dokter di Puskesmas tersebut, tentunya mendorong Misran turun tangan sendiri sebagai panggilan tugas dan tanggung jawab, tetapi apa lacur, undang2 yang baru berumur satu tahun itu menjerat lehernya kedalam kurungan. Kasus mantri desa tersebut bermula ketika hakim PN Tenggarong yang diketuai oleh Bahuri dengan hakim anggota Nugraheni Maenasti dan Agus Nardiansyah memutus hukuman 3 bulan penjara, denda Rp 2 juta rupiah subsider 1 bulan penjara kepada Mirsam pada 19 November 2009. Hakim menjatuhkan hukuman berdasarkan UU 36/ 2009 tentang Kesehatan pasal 82 (1) huruf D jo Pasal 63 (1) UU No 32/1992 tentang Kesehatan yaitu Mirsam tak punya kewenangan memberikan pertolongan layaknya dokter. Undang2 yang diterapkan secara kaku seperti ini sudah banyak menelan korban rakyat kecil, perkara pisang klutuk, buah coklat, celana dalam serta buah semangka telah mengirim rakyat kecil kepenjara. Bukan hukumnya yang tidak tepat dan tidak berperikemanusiaan, tetapi nurani para hakim yang kurang peka terhadap kemanusiaan. Berkaca pada kasus Gayus Tambunan yang bebas dengan alasan tidak cukup bukti, hal ini tidak berlaku bagi Misran. Apakahseperti ini mental hakim kita, hukum tidak berlaku untuk yang banyak duitnya.
KEMBALI KE ARTIKEL