Situasi seperti ini tentunya sangat memprihatikan, siapapun yang berkuasa akan menghadapi persoalan sebab dengan terciptanya situasai tersebut, kerjasama luar negeripun akan terhambat. Padahal, saat ini Indonesia telah melaksanakan perdagangan bebas, hanya berlaku pada tingkat regional saja, dalam kurun waktu kurang satu bulan, beberapa sektor industri sudah menghadapi kerugian yang dapat menghancurkan industri itu dan pada akhirnya akan meningkatkan pengangguran.
Ambisi politik yang memanfaatkan masa melalui pengembangan opini, jika kita tidak bersikap hati2 dapat menimbulkan kerugian pada diri kita sendiri. Sebuah pemahaman dalam dunia politik, memanfaatkan kepintaran, uang, kekuatan dan kelicikan adalah lumrah dalam negara yang sekular. Tidak perlu memegang etika, sebab etika hanya berlaku dalam hubungan sosial kemasyarakatan. Politik uang, membangun kerusuhan yang melibatkan massa, membuat skenario serta menghilangkan lawan politik dengan berbagai cara adalah lumrah seperti tindakan mengkriminilasi
Zaman terus berkembang, ukuran baik buruk menjadi berbeda pula. Awal peradaban manusia, pemimpin adalah orang kuat secara phisik dan terus berkembang sejalan dengan perkembangan peradaban yang meciptakan pemimpin yang dipandang sebagai orang baik sebagaimana pemimpin agama. Zaman terus berkembang, timbul pemisahan agama dan pemerintahan dan pemimpin yang terciptapun berbeda lagi, kuat, kaya, pintar, licik bahkan bersifat represive seperti kita kenal dengan sebutan ditaktor.
Jika kita berharap mempunyai pimpinan negara yang baik dalam ukuran norma dan etika, kita akan kembali pada awal perhitungan abad dimana pemimpin tercipta karena keteladanan seperti yang kita kenal dengan pemimpin agama. Sebuah proses panjang dari peradaban manusia, kita telah melalui proses tersebut, pemimpin harus mampu mengakomodir berbagai kepentingan. Disitulah adanya persaingan, tentunya yang pertama diakomodir adalah kepentingan mayoritas karena pada kelompok itulah kekuatannya.
Demikian pula yang terjadi di Indonesia, sebuah proses politik yang berlangsung tidak berpedoman pada norma dan etika agama, sah2 saja, begitu jawaban yang kita dengar tentang persaingan politik yang dinilai tidak sejalan dengan etika sosial kemasyarakatan. Semua politisi yang ada berpegang pada hal semacam itu makanya dibentuk pengawas pemilu dan peradilannya. Bersaing bebas dalam dunia seperti, ada yang kalah dan ada yang menang dalam persaingan. Ketika yang kalah protes karena dianggapnya curang, pengadilan yang memutuskan. Tidak puas dikalahkan, dicari lagi cara untuk menjatuhkan pesaingnya dengan membangun opini sesuai keiinginanya, rakyatpun diharapkan bergolak, kemudian dia berbicara lagi atas nama rakyat.
Ada tehnik pembuktian yang bahwa berita telah dipakai sebagai sarana pembangunan opini seperti sample yang saya pakai disini.
http://polhukam.kompasiana.com/2010/01/23/cara-membangun-opini/
atau artikel ini dan tautannya disini
http://new-media.kompasiana.com/2010/01/23/sri-mulyanti-diberhentikan/
Pemberitaan yang benar adalah pemberitaan yang berimbang, pada sampel berita tersebut adalah upaya pengembangan SBY sudah bersikap tidak patut karena sudah merasa khawatir dengan kekuasaannya. Cara ini adalah untuk memompa semngat masyarakat yang sudah terpengaruh agar bertindak lebih agresif lagi. Siapa yang akan menjadi korban, rakyat itu sendiri untuk kepentingan para politisi.
Sebetulnya kunci permasalahan ini adalah pada rakyat itu sendiri, rakyat telah sepakat memilih wakil dan pemimpinya, kalau ternyata tidak ada orang yang ideal, itu adalah resiko rakyat mengapa memilih bangsanya sendiri kalau bangsa sendiri tidak ada lagi yang dipercaya.
Apa yang saya sampaikan adalah sebuah methode bagaimana kita membuat sebuah analisa, dengan mengambil sampel pemberitaan dan memposting artikel pancingan yang dapat mengundang emosi kompasianer, telah saya buktikan bahwa emosi kompasianer telah terpengaruh permaianan politik. Atau sebaliknya dia adalah pemain yang memanfaatkan media Kompasiana untuk kepentingan dirinya.