[caption id="attachment_55311" align="alignleft" width="250" caption="Suasana Sidang Pansus"][/caption] Makin terlihat saja rakyat diajak bodoh, cari2 argumentasi untuk menyalahkan kebijakan moneter justru makin terlihat kepolosannya sendiri. Panggil2 semua pihak minta penjelasan, Pansus makin bingung kemana arahnya, mungkin karena sudah frustasi, tembak langsung Sri Mulyani, ngaku saja deh..... Adnanpun ikut bicara...SBY, ngaku saja bertanggung jawab. Kompasianer ikut juga bikin analisa, baca berita sepotong lalu bikin kesimpulan, tapi sayang tidak semua kompasianer dapat dibodohi, masih banyak yang berpikiran waras dan jernih. Teringat saya masa lalu saat saya ikut menangani pinjaman swasta kepada sebuah Bank di Frankfurt, dengan selembar surat garansi dari bank pemerintah maka cairlah uang dalam bentuk Deutch Mark tanpa jaminan yang berarti. Zaman pemerintah orde baru yang royal katabelece, dengan fasilitas PMDN semua menjadi lancar. Pinjaman ini hanyalah salah satunya saja, saya sudah tengarai bakal macet karena penggunaannya tidak benar dan lebih dari itu dapat membuat tumbang bank pemerintah yang bertindak sebagai garantor. Rapat2 dengan pejabat, munculah kebijakan PKLN ( Pengawasan Kredit Luar Negeri ), kebijakan formalitas karena swasta sudah keburu mengantongi duit, kreditpun macet yang memang sengaja dimacetkan karena tidak ada jaminan, hanya bortoght ( personal garansi). Keterangan JK saya simak, ternyata pemerintah harus menanggung hutang swasta itu karena bank pemberi garansinya dilikwidasi, sekarang angkanya masih Rp 600 triliun dengan bunga Rp 80 triliun pertahun. Badingkan dengan anggaran militer yang tidak lebih dari Rp 4o triliun, untuk bayar bunga permainan pengusaha yang merangkap jadi perampok saja sudah dua kali lipat dari anggaran militer. Ditambah dengan hutang pemerintah saat ini, maka tanggungan pemerintah berjumlah tidak kurang dari Rp. 2300 triliun. Angka yang sangat fantastis, yang harus dibayar pemerintah pertahunnya juga fantastis berkisar Rp. 180 triliun pertahunnya. Inilah warisan pemerintah sekarang, kebijakan moneter mau tidak mau harus menjaga stabilitas moneter akan hutang itu tidak meledak lagi karena depresiasi rupiah. Rakyat yang sudah sengsara karena duit negara habis untuk bayar hutang peninggalan pemerintahan orde baru, jika hutang itu sampai meledak, rakyatpun makin sengsara. Jika rupiah nukik Rp. 1000 rupiah saja, hutangpun bertambah Rp. 230 triliun. Untungnya rupiah menguat hingga rakyat tidak tambah sengsara. Mengamankan nasib rakyat dengan kebijakan moneter bermain likwiditas dan bunga, sektor riel untuk sementara dikorbankan. Krisis diamerika menakutkan Indonesia, jika 700 milyard USD untuk membailout perusahaan2 di Amerika tidak disetujui senat, urusan menjadi runyam buat Indonesia, krisis itu bisa merembet sampai Indonesia karena komoditas export Indonesia masih bertujuan utama ke USA, Eropa, Jepang juga sudah menyatakan resesi. Untuk pengaman di Indonesia, pemerintah menutup resiko dengan membailout Bank Century, luka sedikit diobati, RP 6,7 T diputuskan untuk membailout Bank Century. Bandingkan dengan 700 milyard USD, Rp. 6,7 T tidaklah ada artinya, cuma nol koma sekian persenya, bandingkan dengan kemungkinan peledakan hutang akibat krisis global yang membuat rupiah sempat goncang, Rp 6,7 triliun jika dikonversi dengan efektifitasnya paling tidak telah menurunkan hutang RI sebesar Rp. 230 triliun jika asumsi kurs Rp. 10.000/USD. Menguatnya rupiah dibawah Rp. 10.000/ USD saat ini adalah efektifitas yang jika dikonversi kedalam penurunan hutang maka angka itu akan menghasilkan penghematan tidak kurang dari Rp. 100 triliun. Ini adalah analisa ekonomi makro, bisa membuat analisa jika mengetahui duduk persoalannya, tanya sana, tanya sini pasti susah untuk mengerti karena bukan dunianya. Anggota pansus tidak akan paham dunia seperti ini jika tidak mempunyai pengalaman dalam hubungan perbankan internasional. Yang begini tidak ada teorinya, seluk beluk dan aturan hukumnya mengikuti hukum arbitrase, hukum antar negara dan indonesia berdasarkan hukum itu mengambil alih hutang luar negeri swasta yang merangkap menjadi perampok. Besar mana antara Rp. 6,7 T dengan Rp. 600 T ?. Sadar tidaknya, rakyat telah dibodohi oleh para politisi yang haus kekuasaan, tidak semua rakyat bodoh, mungkin politisi itu yang bodoh. Pansus tambah bingung, mau panggil SBY supaya mengaku, bagusnya belajar lebih banyak lagi tentang tata krama dan mekanisme perbankan dan penganggaran agar terlihat lebih pandai.
KEMBALI KE ARTIKEL