Keliling Indonesia, dari sabang sampai Meruke belum pernah aku jumpai nama Jalan Ken Arok padahal Ken Arok seperti pelajaran sejarah yang aku dapatkan adalah pendiri kerajaan Singosari. Apakah kesalahannya karena dia membunuh Tunggul Ametung dan mengawini Ken Desdes, bininya Tunggul Ametung itu sehingga tidak perlu dikenang ?. Kan sudah ada Kebo Ijo yang jadi ada kambing hitamnya. Mungkin kalau Ken Arok hidup jaman sekarang, secara hukum dia bebas, nama baiknya tidak tercoreng, kalau kata Pak Hakim bebas, ya bebaslah. Tapi tak apalah, yang menilai adalah masyarakat, walaupun dia bebas dari jerat hukum sehingga masyarakat banyak gak suka seperti nasibnya Ken Arok, masih banyak cara untuk meraih kekuasaan, toh...gak menang dalam pilihan rakyat tetep aja bisa ikut mengisi kekuasaan. Kalo cari kesalahan memang gampang ya...... mengapa gak duit aja ya yang gampang dicari.... kalau duit gampang dicari mungkin gak ada lagi kerjaan orang mencari muka apalagi mencari masalah. Sepertii reformasi di tubuh kompasiana ini, wajah baru mestinya juga diikuti oleh para kompasianer seperti kita ne untuk punya etos yang baru, walaupun nyleneh2 tapi bertanggung jawab. Jangan ikuti gawenya Lapindo, maunya seh ngantongin duit aja, kalau untung diem2, giliran terjadi masalah...mulai deh berhitung.....kalo korbanya cuma satu orang itu namanya resiko, kalo korbanya banyak..bencana alam deh namanya, kalau bencana alam itu urusan negara..... Berkaca pada masa lalu, bangsa ini masih harus bersabar lagi, kalo ribut melulu siapa yang kerja ya ...walaupun ributnya cuma dimulut, nanti orang kerjanya nunggu ribut mulut itu selesai, wah.... repot juga buat orang yang punya tanggungan banyak. Tapi kita juga gak boleh bertindak, nanti dibilang subversif, keluar dari kelaziman yang berlaku walupun kelaziman itu gak sesuai dengan hati nurani rakyat. Tetapi rakyat yang mana yang diklaim ya.....?. Yah....itulah kebiasaan kita, maunya kita sendiri tapi mengatas namakan orang lain, begitu juga kebiasa petinggi kita....kalau kepojok dia selalu berdalih membawa amanat rakyat, demi rakyat saya siap berkorban....sebaliknya kalo soal gusur menggusur...alasanya, kami hanya menjalankan perintah atasan..... itulah sebuah kenyataan yang kita lihat, semua ingin dinilai sebagai orang baik. Kembali pada wajah baru kompasiana, mau oprak oprek cari fileku, sudah malas, malas harus set back dan juga buat apa aku cari2 lagi sebab aku ikut nimbrung di kompasiana ini hanya untuk senang2 dan bagi2 ilmu, bagi2 pengalaman mungkin bisa berarti buat orang lain. Aku juga gak pengen dikenal, sebab realitanya menjadi orang dikenal itu banyak mumetnya ketimbang tenangnya, berbuat salah dikit aja sudah dihujat, dicaci maki, kayaknya harus menjadi orang super steril dari kesalahan.
Menengok kebelakang, marilah kita menengok nasib Ken Arok, pendiri kerajaan yang bernasib sial karena garis politiknya yang tidak mendapat simpati rakyat Indonesia walaupun karyanya diabadikan sebagai nama jalan yang merupakan cara penghormatan bangsa ini. Setelah hasil karya Ken Arok bertahan beberapa abad, sejarah menceritakan bahwa bangsa ini dijajah oleh bangsa asing selama 350 tahun hingga kekuasaan kembali ketangan bangsa Indonesia melalui Proklamasi kemerdeakaan tanggal 17 Agustus 1945.
Bung Karno yang pertama memimpin negeri ini mempunyai garis politik yang anti imperialisme, dengan jargon politiknya BERDIKARI, tapi faktanya tidak terlepas dari hutang luar negeri untuk memperkuat militernya. Demikian pula pada zaman orde baru, pinjaman luar negeri makin menggunung untuk keperluan militer dan keperluan lainnya. Tak juga berbeda jauh dengan pemerintahan SBY, untuk keperluan BLT pun masih mengusik pinjaman luar negeri. Sebuah fakta yang tidak dapat kita ingkari, bahwa sesungguhnya Indonesia tidak pernah terlepas dari bangsa asing.
Tak pantas pula memperbandingkan zaman sekarang dengan zaman Ken Arok, dunia sudah berputar dan terus akan berputar. Menengok kebelakang untuk melihat jalan yang sudah kita lalui adalah juga untuk meyakinkan kita bahwa kita tidak kearah tujuan yang salah.
Bersambung.
KEMBALI KE ARTIKEL