Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Blunder Jokowi Ikut Dalam Konflik PPP

29 Oktober 2014   02:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:22 127 0
Menteri Hukum dan HAM Yassona H Laoly sehari setelah dilantik sebagai Menteri Hukum dan HAM, langsung meneken SK Kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di bawah kepemimpinan M Romahurmuziy. Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM itu bernomor: M.HH-07.AH.11.01 Tahun 2014 tentang Pengesahan Perubahan Susunan Kepengurusan DPP PPP. SK tersebut sudah beredar di kalangan wartawan.

Merasa mendapat dukungan legalitas  dari pemerintah, dua kubu yang berseteru makin memanas. Akibatnya, rapat paripurna pengesahan alat kelengkapan dewan (AKD) berlangsung panas dan ricuh  yang diwarnai aksi banting meja  karena kekecewaan Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan versi Romahurmuzy, Hasrul Azwar.Kisruh mulai terjadi saat pimpinan sidang paripurna, Agus Hermanto memutuskan daftar nama AKD yang disampaikan oleh PPP. Setelah palu diketok, paripurna langsung banjir interupsi. Interupsi demi interupsi bermunculan karena ketidakjelasan internal PPP. Pasalnya, ada aksi saling klaim di fraksi PPP terkait pengajuan AKD antara kubu Romahurmuziy dan kubu Suryadharma Ali.

Hazrul dari kubu Romahurmuziy maju ke meja pimpinan membawa dua map, satu map batik dan satu map hijau. Kedua map itu kemudian diketahui berisi surat putusan Kemenhumkam tentang struktur PPP. Di dalam surat itu, Kemenhumham mengesahkan hasil Muktamar PPP di Surabaya dengan Romahurmuziy sebagai Ketua Umum.

Ikut campurnya pemerintah dalam konflik PPP ini akan menjadi preseden tidak baik  dalam hubungan kerja DPR yang didominasi oleh KMP untuk masa-masa mendatang. Seperti kita ketahui, PPP saat ini terpecah menjadi dua kubu, kubu Suryadarma Ali lebih cenderung bergabung dengan KMP sebagai koalisi oposisi, sedangkan kubu Romahurmuziy seperti kita ketahui mendapat jatah kursi kabinet Jokowi-Jk yang didukung KIH yang hingga saat ini belum menyerahkan  daftar formatur AKD dari fraksi partai koalisinya.

Guna mengikut ritme kerja pemerintahan Joko Widodo melalui Kabinet Kerja, DPR juga harus segera bekerja dengan langsung mensahkan komisi dan alat kelengkapan dewan (AKD). Tentunya, konflik yang terjadi di DPR ini akan berpengaruh pada jalannya pemerintahan.  Namun sebaliknya, konflik ini lebih diwarnai oleh keinginan PDIP meminta jatah formatur AKD sekaligus menjawab tudingan yang ditujukan kepada KMP yang ingin mengganjal pemerintahan Jokowi-Jk.

Jika kita menengok kebelakang, pemilu 2009 terulang lagi, kala itu PDIP  dipencundangi oleh poros tengah yang menaikkan Gus Dur sebagai presiden walaupun PDIP sebagai pemenang pemilu. Pemilu 2014, walaupun sebagai pemenang pemilu, PDIP harus menerima kenyataan diberi peran minoritas dalam komposisi kabinet  bahkan di DPR-MPR harus menerima kenyataan menghadapi KMP yang menyapu bersih semua formasi jabatan.

Harus diakui, Jokowi cukup cerdik dalam menggeser peran PDIP dengan mengatas namakan  rakyat dan KPK dalam menentukan kabinet. Namun, ikut campurnya pemerintah dalam konflik PPP akan menjadi blunder apabila Jokowi tak mampu meredam konflik tersebut.  Sebab, bagaimanapun kabinet tidak dapat bekerja melaksanakan program apabila terkendala oleh revisi APBN yang memerlukan persetujuan DPR. Sementara kader PDIP yang merasa kecewa dengan keputusan Jokowi  menjadi diragukan akan all out berjuang untuk kepentingan pemerintah, paling tidak tanda-tanda itu sudah terlihat dengan ditundanya penyerahan daftar nama calon formatur AKD. Penundaan itu apalagi kalau bukan untuk meminta jatah jabatan dalam formartur AKD untuk partai.

Kabinet kerja namun tidak bisa bekerja dan rakyat disuguhi sebuah rencana besar yang tidak tahu kapan dilaksanakan mengingat belum bisanya DPR untuk bekerja oleh karena perebutan jabatan di DPR. Sama-sama cerdik  melakukan manuver politik, kabinet sudah terbentuk berdasarkan hak prerogative presiden namun AKD belum terbentuk untuk membahas kebutuhan anggaran kabinet. Artinya,kalau pemerintahan harus berjalan,bukan kekuasaan semata yang diperlukan, lebih dari itu adalah kerukunan sebagai falsafah bangsa.  Pesta rakyat pada akhirnya hanya sebagai seremonial show of force   sebuah kemenangan yang semu  dan faktanya tidak serta merta mendapat legitimasi dari sudut ketata negaraan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun