Mentari mulai beranjak meninggi. Dari balik jendela lantai 2 gedung kantor ini, aku bisa merasakan cerah dan indahnya pagi ini. Puji syukur senantiasa tercurahkan untuk Tuhan Yang Maha Tinggi, Maha Segala-galanya atas nikmat yang tak pernah bisa terbeli ini.
Aku mulai mengerjakan tugas rutinku. Mencari buku yang sekiranya menarik untuk ditulis resensinya. Deretan buku yang ada di rak secara perlahan aku perhatikan satu demi satu. Saat mataku meneliti setiap judul buku lantas tiba-tiba aku menemukan sebuah buku saku kecil terselip diantara deretan buku ekonomi.Buku siapakah ini? Sudah jelas bukan salah satu koleksi yang ada di Perpustakaan kami karena tidak ada kode DDC yang tertera di buku itu. Kemudian aku membuka buku kecil itu mencoba mencari tahu buku siapa ini.
Indah Febrian, 20 Februari ’89. Tulisan itu yang pertama kulihat dan terdapat di halaman pertama buku ini. Aku membuka lembar berikutnya. Nampak ada secarik tulisan lagi. Harapan itu selalu ada bagi orang yang selalu berusaha… Ah, sudahlah. Aku tidak ingin melanjutkan lebih lanjut membuka buku ini, toh juga aku tidak berhak untuk membaca semuanya. Aku hanya ingin memastikan bahwa buku ini bukan milik Perpustakaan, tapi milik orang lain. Entahlah bagaimana buku ini bisa berada disini, tertinggal mungkin. Bisa jadi.
“Assalamualaykum…. Permisi maaf mengganggu..”, sapa seorang gadis berparas cantik di depan pintu.
“Walaykumsalam.. Iya mbak bisa dibantu…?”, jawabku sambil menghampirinya.
“Mas perkenalkan nama saya Iin. Saya pegawai baru dikantor ini…”, katanya memulai pembicaraan.
“Oh iya mbak Iin selamat datang. Selamat datang di kantor ini. Ini perpustakaan kami mbak…”, sahutku sambil mempersilahkan dia untuk duduk.
“Iya mas,, waah tempatnya asyik yaa.. Homy kayak rumah sendiri.. Ada karpet dan sofa empuknya lagi…”, katanya sambil tersenyum dan mulai memperhatikan tumpukan buku yang ada di meja sirkulasi.
“Gini mas saya itu kemarin kesini, terus saya berjalan-jalan disekitar situ…”, kata dia sambil menunjuk rak paling ujung.
“Saya ketinggalan sesuatu disini mas.. Kayak diary kecil warna kuning……”
“Eeeemm sebentar… Apakah mbak ini mbak Indah Febrian yang lahir tanggal 20 Februari tahun 89?”, aku langsung menyahut menyela pembicaraan dia.
“Kok mas tau sih..??”, Tanya dia heran.
“Ini buku yang mbak maksud yaaaa…”, jawabku sambil menunjukkan buku itu kepadanya.
“Alhamdulillaaaahh….”, kata dia sambil mengambil bukunya dari tanganku.
“Terima Kasih ya mas.. Untung tidak hilang…. Eeemm,, mas udah baca semua isinya…?”, tanyanya dengan raut muka yang berbeda.
“Eeemm enggak kok enggak.. Saya tadi membuka dan hanya membaca halaman pertama dan kedua dari buku itu saja.. Suer deh…”, kataku seraya meyakinkan dia.
“Bener…???”
“Iya mbak bener…”.
“Baiklah….”, kata dia sambil membawa buku itu lalu duduk dimeja baca.
Aku mengikutinya dan duduk dihadapannya.
“Mbak iin, saya boleh tanya nggak mbak…?”, aku mencoba mencari tahu sesuatu darinya.
“Tanya apa..?”, jawabnya singkat.
“Eeemm.. itu buku apaan sih mbak…?”
Dia lantas menatap mataku dalam-dalam.
“Eh maaf, Eeemm.. maksud saya kok ya buku itu bisa ketinggalan disini dan tadi kayaknya mbak iin seneng banget akhirnya buku itu ketemu gitu…”
“Buku ini sahabatku sejak kecil mas…”, jawab dia sambil tersenyum. Kali ini senyumnya itu nampak lebih cantik daripada senyum sebelumnya.
“Maksudnya sahabat gimana mbak…?”, aku menimpalinya.
“Yaaaaahh.. Sahabat itu selalu ada untuk kita. Ada disaat suka dan duka. Ada disaat pagi dan sore. Ada disaat bokek dan kaya. Dia gak pernah protes kalo aku cerita macam-macam. Aku bisa selalu curhat dengan dia apaaa aja. Aku bisa nangis, aku bisa ketawa, aku bisa kesel, aku bisa seneng… Aku selalu menulis dibuku ini. Tentang apapun. Tentang segala sesuatu yang bahkan nggak bisa aku ungkapkan kepada orang lain. Tapi di buku ini bisa. Apapun ada di buku ini. Yaaa, buku ini sangat setia kepadaku…”, jawabnya sambil menghela nafas panjang.
“Dengan menulis aku bisa bahagia mas.. Aku bisa mencurahkan semua perasaanku lewat tulisan. Bagiku menulis itu adalah aktifitas paling menyenangkan bagiku. Menuangkan ide dalam rangkaian kata supaya dapat dicerna, menggabungkan semua imaji kita dalam suatu bentuk coret-coretan tulisan kita. Aku bisa menikmatinya mas.. Aku bisa merasa bahagia setelah menulis.. Apapun itu mas… Menulis apapun…. Dan bagiku tulisan adalah bentuk curahan hati tertinggi.. Aku lebih memilih buku ini untuk menuangkan semua karena buku ini tak pernah protes, dan dia tak pernah mengeluh untuk selalu mendengar curhatku……”, pungkasnya.