Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

[SRINTIL] Jalan-jalan Sendiri

24 Agustus 2014   19:39 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:41 97 17
Srintil jalan-jalan sendiri. Dibalut pakaian compang-camping menyusuri malam, sedang kalau siang hampir selalu bersembunyi dan tertawa cekikikan. Beberapa anak kecil yang memergokinya makan rumput di siang hari lari tunggang-langgang segera melapor kepada orangtuanya. Dan karena laporan itulah yang menyebabkan berubahnya pemikiran warga bahwa Srintil bukan setan. “Srintil” adalah julukan yang  diberikan kepadanya, karena mirip dengan nama putri almarhum kepala desa yang meninggal dunia—mati tak lama setelah melihat putrinya berjalan telanjang malam-malam sambil membawa bunga. Hanya kepada istrinya kepala desa ini berkisah sebelum hembusan terakhir nafasnya.

Srintil. Tatapnya tajam. Apatis.

Dia menghilang dari pandangan warga, sejak tersiar kabar di desa; bila sang pujaan hati Srintil menikah tiba-tiba dengan orang lain tanpa sepengetahuannya. Beberapa lama berselang, ayahnya yang kepala desa meninggal sehingga posisinya digantikan langsung oleh wakilnya. Tak kuasa menemukan apa yang dicari, berbulan-bulan lewat akhirnya warga kampung memutuskan mengakhiri pencariannya atas Srintil. Ibunya yang sedih akhirnya mengikhlaskan kepergiannya. Mungkin terseret air sungai yang meluap, begitu pikir mereka. Karena hari-hari itu hujan turun sangat deras di lembah…

Ketika bertahun-tahun kemudian sewaktu warga desa menyangkanya telah mati, dia muncul. Dan berhasil membuat beberapa pemuda lari ketakutan oleh rambutnya yang awut-awutan pada suatu malam. Srintil seperti mata-mata yang licik, bisa menghilang dan muncul begitu saja. Tapi tak juga ditemukan waktu dicari hingga lelah payah. Pintar sekali dia bersembunyi. Sejak beberapa kali kemunculannya yang nyaris telanjang, atas inisiatif beberapa warga desa; kemudian diadakanlah rapat darurat malam-malam di pendopo bagaimana mengatasi kegemparan desa ini. Anehnya, beberapa lama saling berembug dan berbantahan, tak lama kemudian muncullah seseorang yang entah darimana asalnya. Beberapa warga malah mengira orang tersebut adalah dukun karena cara berpakaiannya dan penampilannya yang cenderung eksentrik.

“Apakah semuanya membicarakan Srintil?” Tanya orang yang datang itu.

“Iya. Kalau boleh tahu siapa ya ki? Maaf… sebagai kepala desa yang mengenali baik warganya, saya tak pernah melihat wajah ki…”

“Saya Paito, suami Srintil.”

“Srintil sudah menikah?”

“Maaf, saya juga awalnya tak tahu kalau ini desa asalnya. Mungkin dia minggat karena sesuatu. Karena dia dulu bilang dia sebatang kara… sampai akhirnya meninggalkan saya pula…”

“Mari…. mari… monggo pinarak. Mungkin kita bisa berunding bagaimana mencari pemecahannya. Bagaimana ki mengenal Srintil?”

“Saya memberinya pertolongan. Tampaknya dia sebelumnya dirasuki roh halus sehingga nyaris telanjang sambil berjalan-jalan terseok. Saya kemudian mengusir roh halus ini, dan merawatnya. Saya memakaikannya baju mendiang istri saya yang meninggal dunia. Selain membelikannya baju lain. Saya mempunyai putri yang ikut membantu saya merawatnya. Kami adalah petani, tapi saya juga punya ilmu lain… yang bisa membantu beberapa orang desa kami mendapatkan jodohnya. Menyembuhkan penyakit dan lainnya…”

Lalu senyap suasana di pendopo; semua mata tertuju pada ki Paito. Menanti jabaran kisah berikutnya.

“Berbulan-bulan dia tak berkata-kata, namun memakan dan meminum apa yang saya tawarkan…”

Kemudian ki Paito membungkam sembari menghela nafas dalam.

“Akhirnya dia tiba-tiba bicara pada suatu hari, bilang kalau dia hanya sendiri. Saya lalu mengajaknya bicara lagi. Tapi rupanya pikirannya masih sangat terguncang hingga saya menghentikan rasa ingin tahu saya…”

Hening sejenak.

“…Srintil mengucapkan terima kasih kepada saya. Katanya saya orang yang baik. Dia diganggu banyak makhluk tak kasat mata yang berusaha mempengaruhinya. Mereka berbisik-bisik kepada Srintil. Kadang gaduh dan berteriak-teriak pula seperti suara orang-orang pasar. Katanya salah satunya menuduh sosok lain adalah setan. Tapi beberapa sosok yang berbisik-bisik itu berkata dia adalah Tuhan. Memang membingungkan, dan memperkeruh pemikiran Srintil. Srintil mengaku sampai berteriak-teriak karena tak tahan. Salah satu sosok itu berkata keras kepada Srintil, bahwa dia akan bahagia dan diampuni dosa-dosanya bila mampu berjalan ke puncak gunung di selatan dari tempat kami dengan telanjang.”

“Pemikiran Srintil yang grusa-grusu membutuhkan perhatian lebih. Kadang saya mengajaknya ke sawah untuk sekedar membuatnya beroleh kesibukan dan pengalaman yang lain, supaya tidak jenuh mengurus rumah. Meski pekerjaan itu dia lakukan dengan sukarela. Dia tidak menolak. Tapi dia masih bicara kalau terus dibisiki oleh sesuatu ini… hingga akhirnya suatu saat Srintil bertanya, ‘Apakah saya ingin melihatnya bahagia?’ “

Ki Paito diam sejenak. Kemudian balas memandang tatapan warga dengan menatap mereka satu persatu. Lalu berpaling ke arah lain.

“Dia seperti putri saya sendiri. Sepertinya usianya juga lebih tua tak jauh berbeda selisihnya dengan putri saya. Dan berbulan-bulan saya melihatnya sayu, dengan senyum yang dipaksakan. Tatapannya juga sering menerawang…”

” ‘…Kenapa kamu bicara begitu, nduk…?’ Saya waktu itu bertanya karena tak habis pikir, tentu saja saya ingin.”

” ‘…Bapak seperti orangtua saya yang baik…’, dia bilang begitu kepada saya dengan halus sekali…”

“Saya tidak tega melihatnya seperti itu. Saya bertanya kepadanya, ‘Terus? saya ingin lihatmu senyum dan lincah seperti Tumirah saya nduk…’ Saya bicara seperti Bapak kepada anaknya. Tumirah adalah putri saya.”

” ‘Saya ingin menikah dengan bapak…’ dia berkata sambil melihat tajam kepada saya.
Saya tak langsung mengiyakannya. Tapi mengelus lembut rambutnya yang panjang. Akhirnya saya meminta pendapat orang-orang di desa saya, termasuk perangkat desa. Mereka sudah tahu tentangnya karena saya memberi tahu. Bagaimanapun tidak enak hati pula karena seorang wanita yang tidak jelas asal-usulnya tiba-tiba muncul… dan setelah sekian lama lalu meminta saya menikah dengannya. Saya mencoba mencari tahu asal-muasalnya. Tapi desa kami terpencil… dan jauh dari desa lain. Desa ini saja letaknya dua puluh desa dari tempat saya.
Dan memang, ternyata muskil. Lalu mereka menyarankan untuk saya membuat keputusan yang terbaik bagi dia dan saya saja. Saya berunding pula dengan Tumirah. Meski tak tahu harus melakukan apa, dia juga menganjurkan apa yang menurut saya baik. Semua menyuruh saya membuat keputusan saya sendiri.
Lalu saya menurutinya dan kami pun menikah. Dia tersenyum kepada saya. Saya tak pernah melihatnya tersenyum mengembang seperti itu…”

Ki Paito melihat beberapa warga desa pendopo memperbaiki sikap duduknya. Mereka terlihat berpikir, dengan pandangan yang mengambang.

“Kalau dihitung usia pernikahan kami telah tiga bulan. Walaupun kami seranjang, saya tidak pernah berhubungan layaknya suami istri karena saya mengkhawatirkan kondisinya. Tiba-tiba dia bicara sesuatu kira-kira seminggu setelah menikah. Katanya dia berasal dari desa ini. Dia bilang ingin pulang. Saya percaya kepadanya karena hanya saya yang bisa dia ajak bicara. Saya mengiyakannya, hanya saja saya berpikir harus mempersiapkan segalanya dulu waktu itu. Seperti bekal makanan dan uang yang banyak. Saya juga harus berpamitan kepada tetangga sekitar saya untuk menitipkan Tumirah. Tetapi kemudian saya menyadari Srintil pergi sendirian tanpa saya ketika saya kembali ke rumah yang kosong. Tumirah dan saya mencari ke mana-mana seluruh penjuru desa dibantu warga, tidak ketemu. Saya tidak membiarkannya begitu saja, akhirnya saya menyusulnya. Saya pun tak tahu letak desa ini seandainya tidak bertanya kepada orang-orang sepanjang perjalanan… Sebelumnya saya mengambil arah yang berlawanan hingga saya diberi tahu oleh prajurit keraton. Desa ini terletak di arah timur dari desa saya, tetapi saya berjalan ke barat awalnya. Sekali-dua kali kali saya menemukan gadis dengan nama Srintil di desa-desa yang saya lewati…”

Warga desa dan ki Paito mengambil nafas dalam-dalam serta membungkam, hingga akhirnya mereka mengalihkan pandangan kepada Kepala desa Talangrejo ini. Baru saja sang Kepala desa akan mengambil suara untuk langkah selanjutnya, tiba-tiba terdengar teriakan wanita paruh baya dari arah gapura pendopo yang disusul dengan sosok mbok Painem tergopoh-gopoh mendekat. Dia menunjuk ke arah jalan masuk luar gapura…

Dan di kejauhan terlihat, sosok Srintil yang sangar awut-awutan berjalan terseok, mendekat dengan menyeret tubuh seseorang yang mirip dengan mantan kekasihnya dulu. Dia telah mati di tangan Srintil.


#cerpen pertama yang dibuat, iseng untuk menyemarakkan event Srintil. Kemiripan kisah, nama dan peristiwa serta tempat namanya apa, hayoooo…

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun