Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money

Bekerja Bak 'Kutu Loncat'? So What!

4 Januari 2011   06:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:59 194 0
TUGAS MSDM__KULIAH UMUM 13 OKTOBER 2010

(Ema Hari Ervita Sari - 209000018)

Bekerja bak 'kutu loncat'? So what!

Lulusan terbaik STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara) tak menjadi jaminan untuk mendapatkan pekerjaan yang terbaik pula. Siang tadi saya mendengar sharing ilmu dari Bapak Tedy, yang sekarang bekerja di Public Policy Institute Paramadina. Dulunya, beliau adalah seorang lulusan terbaik STAN pada jamannya. Akuntan adalah profesinya saat itu. Namun, ketika beliau masuk dalam pemerintahan, beliau merasa bahwa kemampuannya sebagai akuntan sangat tidak dihargai. Tak diragukan lagi, kedudukannya disana tidak akan memberikan nilai lebih bagi kehidupannya, keluarlah beliau dari pegawai negri.

Karier beliau sangat dipertaruhkan saat itu. Ketika banyak orang yang mengidam-idamkan profesi sebagai pegawai negeri, beliau malah dengan mudahnya melepaskan jabatannya yang telah didudukinya selama 1,5 tahun. Beliau memilih untuk menjadi 'kutu loncat' dalam hal ini. Sejak tahun pertamanya menjadi job hoper hingga sekarang, beliau memiliki track record yang luar biasa banyak dan beragam. Segala bidang pekerjaan telah beliau lakoni demi kepuasan batinnya. Namun, apakah perilaku seperti itu baik bagi kehidupan?

Belajar dari pengalaman Bapak Tedy, menurut saya hal itu baik asalkan dampak bagi lingkungan dan diri kita sendiri juga baik. Terlebih lagi jika motivasi dibalik itu semua adalah untuk memperbaiki system sebuah organisasi. Layaknya Pak Tedy, beliau memiliki misi untuk melakukan manajemen perubahan pada satu perusahaan ke perusahaan lainnya hingga terbentuk sebuah organisasi yang baik. Semangat muda beliau membawanya menuju pintu kemuliaan yang luar biasa untuk mengubah dunia. Bekerja sebagai konsultan financial, beliau memperbaiki suatu organisasi dan mengundurkan diri ketika dirasa organisasi tersebut telah berhasil. Beliau memilih untuk memasuki kasus-kasus di lain organisasi dari pada harus tetap diam untuk menikmati keberhasilannya memperbaiki sebuah organisasi. Hal itu memberikan kepuasan tersendiri secara batiniah.

Dibalik itu semua, ada strategi-strategi yang harus diterapkan agar apa yang dilakukan benar-benar membuahkan hasil yang berdampak baik bagi lingkungan (organisasi) dan juga diri kita sendiri. Orang yang berprofesi sebagai job hoper tidak harus pandai atau memiliki IPK yang tinggi. Namun, yang dibutuhkan hanya semangat juang dan keteguhan hati. Sebagai job hoper, gaji dan jabatan bukanlah prioritas. Mereka hanya mencari keberhasilan dari tiap-tiap apa yang mereka lakukan, mereka harus mendapatkan benang merah dari tiap misinya.

Pada awalnya memang hal itu dirasa sangat mustahil karena orientasi bekerja pada umumnya adalah untuk mencari uang. Namun, saya mencatat bahwa pada umur produktif manusia, yaitu 24-29 tahun, adalah masa-masa untuk berkembang, mereka mencari-cari pekerjaan apa yang sebenarnya sesuai dan baik untuk dirinya. Dalam fase inilah job hoper beraksi. Mungkin ada yang melakukannya di umur yang lebih muda, dan menurut saya hal itu lebih baik untuk dilakukan mengingat job hoper adalah salah satu sarana untuk mendapatkan track record yang baik dalam CV kita. Job hoper juga akan memperluas knowledge, network, dan experiences yang kita butuhkan untuk mendapatkan pekerjaan yang baik. Memang untuk menjadi job hoper lebih baik tidak memperdulikan gaji yang diperoleh, yang terpenting adalah kita mendapatkan 'makna' dari apa yang telah kita lakukan karena makna yang kita dapat itu akan menjadi mahal dikemudian hari.

Saya ingat satu teladan yang telah lama menjadi motivator di sebuah stasiun TV, Mario Teguh. Saya ingat, dulu beliau tidak memperdulikan berapa uang yang didapat dari pekerjaan yang telah beliau kerjakan. Dia menerima berapapun gaji yang diberikan kepadanya. Namun yang terjadi kini sangat kontras, beliau tidak mau memberikan jasanya kepada orang lain jika dibayar kurang dari standar yang dipatoknya sendiri (seingat saya 40jt). Mengapa hal itu bisa terjadi? Karena makna yang diperas dari berbagai pengalamannya terdahululah yang menjadikan beliau besar sekarang. Benang merah yang diambil dari pekerjaannya terdahulu memberikan pelajaran yang luar biasa mahal kini. Beliau menjual pengalamannya. Luar biasa...

Saya sendiri juga berpikir bahwa job hoper bukanlah hal yang buruk. Saya adalah orang yang memimpikan menjadi job hoper sebelum menetapkan diri pada sebuah komitmen. Dalam masa pencarian, sebaiknya memang digunakan untuk mencari, bukan menetapkan. Meskipun setiap orang punya fasenya sendiri, namun fase ini perlu dilakoni oleh setiap orang agar tidak menyesal dikemudian hari. Sehingga pada saatnya tiba (harus memilih sebuah komitmen pada pekerjaan dan pasangan) keputusan yang diambil adalah keputusan yang terbaik buat hidup kita. Jadi, jika profesi sebagai job hoper memiliki banyak manfaat, mengapa tidak (jadi job hoper)?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun