“Hai!! Sudah lepaskan!!” Aubrey melepaskan tangan Perlita yang masih merasakan kesamaan suhu diantara keduanya. Aubrey merasa sangat kesal, namun juga sedikit canggung saat berada di hadapan Perlita, genggaman tangan itu membuatnya tak mengerti, ada getaran hebat, namun juga kekesalan yang menumpuk.
“Sudah aku mau pulang!! Awas kau besok!!” Aubrey segera berlari sembari membanting pintu sekencang-kencangnya.
“Hangat, meskipun tanganku selalu dingin seperti es, tapi suhuku benar-benar jadi sama dengannya.” Perlita hanya terdiam, ia tak peduli pada kelakuan Aubrey, ia merasakan kehangatan yang sangat berbeda, dengan ini Perlita sedikit mengetahui seperti apa itu cinta, meski semua hanya permaianan yang ia buat sendiri.
“Hai, Perl! Kamu lama sekali, sih?” Ucap sebuah suara yang baru saja membuka pintu tanpa disadari oleh Perlita.
“Eh, Devin maaf, aku baru mendapatkan ide yang luar biasa!”
“Memang apa? Itu apa?” Tanya Devin sembari menatap lembaran-lembaran kertas yang berjatuhan.
“Oh, sial! Aku lupa membereskan kertas-kertas itu, ini bisa gawat.” Ungkap Perlita dalam hati. Perlita mengamati tatapan Devin yang mulai mendekat kearah bangkunya. Perlita harus segera bertindak, meski Devin adalah saudaranya dan mengerti semua rahasia pribadi Perlita namun ia tetap tak boleh mengetahui tentang rencana Perlita untuk membuat permainan cinta dengan Aubrey.
“Oh, bukan apa-apa, kamu tunggu diluar sebentar, ya? Ini sketsaku aja, biar aku bereskan sendiri, ok?”
“Hemm, oke! Lagian aku sudah bosan melihat tembok-tembok kelas, 1 menit!” Ungkap Devin lantas pergi, Perlita segera mengambil selebaran-selebaran kertas hasil copiannya. Ia tak ingin ada satupun yang tertinggal, bila tidak ia berarti telah menghilangkan kesempatan untuk melakukan permainannya dengan Aubrey, karena ia sama saja melanggar janji untuk tidak menyebarkan satupun catatan Aubrey.
Perlita segera membereskan satu persatu kertas yang berserakan, ia memastikan tak ada satupun yang tertinggal bila tidak, ini benar-benar gawat. Ia bisa dituduh dengan dugaan yang berbahaya, belum lagi ia tak bisa menulis novel tentang cinta. Perlita telah usai membereskan semua kertas hingga tak ada satupun yang tertinggal. Ia segera melangkah keluar untuk pulang, di depan pintu sudah ada Devin yang menanti Perlita sejak tadi bersandar ditembok menatap langit-langit.
“Sudah selesai?” Tanya Devin sedikit kesal.
“Yah! Ayo pulang!”
Devin dan Perlita berjalan menuju rumah, tempat tinggal mereka tak jauh dari sekolahan tersebut, hanya menyusuri beberapa jalan, susunan rumah-rumah yang mewah telah berjentrek disepanjang sisi-sisi jalanan. Dalam langkah mereka berdua hanya berdiam sembari menyelusuri setiap arah jalanan. Devin mulai mengeluarkan bungkusan rokok yang ia bawa, ia menyalakan api lantas menghisapnya perlahan dan menghembuskan asap mengepul keluar dari mulutnya.
“Kau mau?” Devin menawarkan bungkusan rokok pada Perlita.
“Tidak, apa kata Papa kalo aku merokok? Kamu kok merokok terus, sih? Gak baik tau!”
“Ah, biarlah, kau tau sendirikan? Orang tuaku cerai, Ibuku selalu pulang malam, dan tak pernah mempedulikan aku, hanya uang yang ia berikan tapi bukan cinta. Bukankah lebih baik aku cepat mati dengan rokok ini? Kesendirian membuatku kesal, kau sendiri kesal bukan bila terus menerus sendiri?”
“Eee.. Kok gitu? Tapi setidaknya aku enggak ingin cepet mati, dunia ini sebenarnya indah. Cuman Tuhan belum memberikanku kesempatan melihat dunia yang indah ini.”
“Terserahlah, yang terpenting aku sudah memiliki teman sepertimu sungguh bersyukur, sebelum ada kamu, hanya rokok ini yang menemaniku, teman-temanku memang banyak, tapi mereka hanya memanfaatkanku…” Devin kembali menghisap rokoknya dan menghembuskan dengan cepat. Memainkan asap di udara menatapnya seperti ada sebuah seni yang memukau saat pergerakan asap mulai mengepul dan membentuk seperti awan-awan kecil.
“Ya, aku juga demikian, entahlah kalau aku tinggal di Jakarta terus mungkin kehidupanku akan selalu sendiri. Meski baru sebulan berada di Surabaya, aku merasa senang, karena aku tidak sendiri lagi, ada kamu yang menemani, bila di Jakarta, melewati hari-hari sendiri sungguh membosankan, Papa jarang pulang, makan buat sendiri, semuanya sendiri.”
Devin menatap wajah Perlita yang sedikit murung, apa yang terjadi pada Perlita sama persis seperti apa yang ia rasakan.
“Sudahlah! Ganti topik saja, Oya, bagaimana, sudah siap menulis cerita cinta?”
“Hemm… Ayo pulang!!” Ungkap Perlita,
Devin sangat mengerti kebiasaan Perlita, setiap kali melihat sang sepupu sedih, hanya ada satu cara untuk merubah ekspresinya, membahas cerita yang akan Perlita buat. Dalam sekejap Perlita segera kembali bersemangat gadis cina tersebut segera berlari tak sabar menuju rumah dan membuka akun Blognya untuk segera menulis gambaran perasaan yang ia buat. Devin hanya menatap Perlit dari kejuhan, sembari menghisap rokok perlahan, ia menikmati semua keceriaan Perlita, bila selama ini ia hanya hidup sendiri, dan berteman dengan orang-orang yang hanya memanfaatkannya, keberadaan Perlita telah banyak mengembalikan keceriaannya yang telah hilang. Mendengar kisah-kisah yang dibuat Perlita selalu membuatnya takjub, semua cerita-cerita yang dibacakan Perlita terhadap Devin bagaikan dongeng tidur seorang ibu kepada anaknya.
Devin sangat menyukai semua hal tentang dongeng, semua cerita-cerita klasik bisa membawanya ke masa-masa Devin masih kecil, terduduk bersama ayah dan ibunya, mendengarkan dongeng-dongeng klasik tentang kerajaan, putri, dan impian. Tapi semua itu hanyalah kenangan, sebelum kedatangan Perlita, Devin lebih senang membaca semua cerita-cerita melalui Blog, karenanya ia mengerti banyak tentang blog. Hingga Perlita datang sebagai kado terindah, pendongeng yang hebat. Perlita dan Devin tak jarang mereka bertemu, ayah Perlita adalah kakak dari Ibu Devin. Mereka berdua juga sangat akrab, mereka sering mengunjungi satu sama lain. Karenanyalah Perlita dan Devin bisa langsung akrab meski hanya baru sesaat mereka bertemu.
***
“Tangan ke tangan, memang hanya tindakan yang biasa, tapi kehangatannya mengalir hingga telapak tanganku menembus bagian hatiku yang terdalam. Musim dingin di kota Paris, membawaku untuk bertemu dengan sosok yang begitu kunanti dalam hidupku, namun aku masih tak mengerti, inikah cinta? Apakah dia juga mencintaiku? Bila hanya waktu yang akan menjawab semua, aku akan menanti, untuk bersamanya meski harus kumenanti dalam penantian tanpa waktu, asal bisa bersamanya kini aku merasa bahagia.”
“Bagaimana menurutmu?” Perlitaa menatap Devin yang sudah tergeletak di ranjang Perlita.
“Areegh!! Kenapa anak ini malah tidur disini? Dasar!!” Ungkap perlita dengan sedikit jengkel, tak mungkin ia tidur bersampingan dengan Devin meskipun mereka adalah saudara, tapi Devin adalah cowok, dan itu mutlak! Sungguh ironis bila Perlita harus tidur bersama Devin. Tapi ini memang sudah menjadi kosekuensi bagi Perlita, ia yang menyuruh Devin untuk menemaninya dirumah. Namun biar bagaimanapun Perlita merasa senang karyanya berhasil ia selesaikan dengan baik, tinggal menunggu besok, maka semua akan menjadi jelas, Perlita tak sabar menerima tanggapan dari para pembaca tentang tulisannya tersebut.
Perlita terdiam di depan meja laptopnya, memandangi setiap sudut ruang kamar, sebuah ruang berbentuk kubus, dengan cahaya lampu berwarna putih bersinar sangat terang, tembok-tembok putih menyuguhkan kehangatan dalam malam yang dingin, lalu ia terhenti saat menatap ranjang yang di tiduri oleh Devin, sebuah spray berwarna merah muda warna kesayangannya, bergambar babi, lalu almari pakaian yang ia kunci rapat, biar bagaimanapun itu tetap privasi yang tak boleh diketahui siapapum. Sekumpulan naskah, yang terjajar rapi di samping meja laptopnya. Perlita memandang sebuah foto yang sudah lama ia rindukan mendiang sang ibu, foto kecil berukuran 4R terpajang rapi disamping laptopnya. Sosok wanita yang masih muda, berambut hitam, sedang mengenakan gaun berwarna putih, seorang wanita keturunan cina, sama cantik dengan Perlita.
Setelah cukup lama Perlita memandangi foto ibunya, ia lantas mematikan laptopnya dan bergegas keluar dari kamarnya. Meanatap ruangan besar dengan degsain minimalis, setiap dinding memiliki ukiran-ukiran klasik, sebuah ruangan yang terlalu besar untuk ditempati dua orang penghuni sisi tengah untuk ruang tv, terdapat kamar Perlita di sisi kiri kamar Perlita terdapat kamar sang Ayah yang hanya tersekat oleh meja yang diatasnya terdapat beberapa vas bunga antik kebanggaan sang Ayah ditembok-temboknya terdapat sebuah foto-foto kumpulan keluarga berjajar dengan rapi. Sisi timur untuk meja makan dan samping sisi-sisinya terdapat kamar kosong, sebuah sofa yang empuk, dan tv LCD screen berukuran besar terpajang dalam keadaan mati, hanya ada satu kamar mandi diluar. Letaknya di samping kiri ruang tv, sebuah kamar mandi yang cukup besar. Perlita melangkah menuju kamar kosong yang memang disediakan untuk tamu. Sebenarnya kamar ini diperuntukan kepada Devin karena ia memang sering menginap ditempat ini untuk menemani, dan menjaganya Perlita. Arsitektur rumah berbentuk jepang sangat sesuai dengan Perlita, ia begitu suka dengan nuansa-nuansa Asia, mulai dari Korea, Jepang, Taiwan, dan tentu saja Indonesia.
Perlita membuka kamar kosong dengan kunci yang ia simpan sendiri, semua kunci setiap ruangan ini ia pegang, terkecuali kunci kamar sang Ayah, Perlita menatap ruangan gelap, ia segera menyalakan lampu dan menatap sebuah ruangan yang sama besarnya dengan kamar Perlita, namun tak ada meja, hanya almari pakaian kosong, dan sebuah tv slim yang terpajang di tembok. Perlita menutup kembali kamar tersebut dan menguncinya, sudah menjadi kebiasaan Perlita untuk terus mengunci kamarnya semenjak kecil, kebiasaan yang diterapkan oleh sang ibu. Untuk menjaga semua privasi agar tidak boleh diketahui siapapun. Langkah kecil Perlita terhenti saat ia menghempaskan tubuhnya di atas kasur ia membua copyan buku catatan Aubrey dan membacanya sekilas, satu persatu hingga mulai terlelap.
***
Sekolah Perlita kembali ramai oleh sebuah gossip terbaru, yakni tentang cerita cinta di dalam blog Natame, ini merupakan perkembangan yang sangat luar biasa, harapan semua pembaca Blog Natame selama ini. Pagi ini Perlita masih berada di pintu gerbang berjalan bersama Devin melangkah mendengar setiap sudut siswa-siswi membahas tentang cerita baru yang disajikan oleh akun Natame.
“Waah, kau tau yang terbaru dari blog Natame?”
“Iya! Iya! Aku jadi bersemangat, pengen baca lagi! Keren abis ceritanya, enggak aku sangka Natame begitu romantis!”
Devin mengamati pembicaraan orang-orang ia mendengar kehisterisan yang lebih dari sebelumnya, Devin sendiri belum membaca apa-apa karena sudah terlelap lebih dalu, Perlita tampak begitu ceria memasuki ruangan koridor kelas, setiap sudut orang hanya berkata, “Natame, Natame, dan Natame!!!”
“Gila, apa, sih yang kamu tulis? Aku sendiri belum baca…” Devin menatap setiap orang-orang disudut sekolah yang terus bercerita tentang blog Natame.
“Salah sendiri, siapa suruh tidur, hahahaha…”
“Iya, iya, aku kecapek’an banget, sih… Kalo gitu, aku pengen baca langsung, ah! Tapi, darimana kamu bisa nulis cinta?”
“Yah, yang penting aku berani nulis novel tentang cinta, kan? Caranya cukup menghaa…” Perlita terhenti saat menatap ada Aubrey di depannya ia segera menghampiri Aubrey dan memberikan sedikit salam. Devin hanya terdiam menatap kelakuan Perlita yang tiba-tiba terhenti dan melangkah cepat kearah Aubrey.
“Hai, Aubrey! Selamat pagi! Terimakasih untuk yang kemarin!” Ungkap Perlita.
“Pagi, juga Perl!!” Ungkap Aubrey dengan senyumannya yang khas, ia lantas berjalan cepat dan berbisik di telinga Perlita, “ Aku tak akan membiarkanmu kali ini!”
Perlita hanya tersenyum tanpa peduli apapun yang terjadi. Ia terdiam sejenak. Devin melangkah sembari menatap Aubrey yang telah melewatinya, “Kau, tahu dia ketua osis yang terkenal, anak seorang direktur bank, dan bahkan katanya guru bahkan tak bisa setara dengannya.” Ungkap Devin.
Perlita memperhatikan dengan jelas apa yang dikatakan Devin, ia tak terlalu mengerti tentang kehidupan Aubrey, yang ia tahu hanya Aubrey orang aneh yang selalu mencatat orang lain.
“Dia orang elit? Orang elit yang punya sisi kotor didalamnya, dan buku catatanya, memiliki banyak rahasia, semalam aku membacanya, tapi tetap tak mengerti apa maksud tulisan-tulisan itu. Menarik! Aku masih bisa memanfaatkannya, rahasianya, harus aku ketahui. Dengan begitu aku bisa menulis sebanyak-banyaknya novel tentang cinta.” Ungkap Perlita dalam hati sembari memandangi Aubrey dari belakang. Perlita dan Devin lantas segera melangkah menuju ruang kelas dan duduk terdiam, Devin sedang asik membuka ponselnya, dan mulai membaca cerita cinta yang dibuat Perlita semalam.
“TANG! TANG! TANG! TANG!!!!”
“Kemana orang itu? Kenapa dia selalu telat?” Tanya Perlita dalam hati ia tak mendapati Aubrey didalam kelas saat jam pelajaran mulai dimulai. Murid-murid telah berdatangan sedari tadi, namun masih belum ada Guru yang masuk kedalam kelas, jam ini harusnya waktunya wali kelas untuk mengajar sejarah Bu Theresia, seorang wanita berpawakan lembut, namun tegas dalam segala hal.
Langkah-langkah terdengar cepat, dan pintu kelas mulai terbuka, Bu Theresia yang disusul oleh Aubrey segera melangkah kedepan kelas.
“PEMBERITAHUAN! ADA PENCURI DI KELAS INI!!” Teriak Bu Theresia dengan tegas.
“Apa?” Seluruh anak mulai bertanya-tanya tentang sesuatu yang menghebohkan tersebut, lalu Bu Theresia mencoba menenangkan keadaan kembali dengan berteriak, “BUKU CATATAN MILIK AUBREY TELAH HILANG, DAN PENCURINYA MENGCOPY DATA-DATA YANG ADA!!” Bu Theresia mencoaba menormalkan suaranya saat suasana kembali tenang. “Buku tersebut sangat penting karena berisi tentang data-data anggota osis dan kegiatan-kegiatan osis, buku asli sudah kembali, tapi copyannya masih tersebar.”
“Haah? Buku Aubrey di curi lalu di copy?”
“Siapa sih, yang tega curi buku Aubrey?”
“Ih, kurang kerjaan sekali!!!”
Para murid didalam kelas mulai gaduh satu sama lain, apapun yang ditimpa oleh Aubrey adalah berita besar, tapi tak seperti itu dengan Perlita, ia merasa sedikit gugup, bila ia ketahuan mencuri, dan mengcopy buku Aubrey bisa-bisa ia dikeluarkan dari sekolah yang ketat ini.
“Sial, anak itu ternyata ingin menjatuhkanku dengan kekuatannya. Baiklah, aku ada ide!” Ungkap Perlita dalam hati.
“Baik! Dengan ini, Ibu nyatakan untuk melakukan penggeledahan tas! Setiap murid diharapkan maju kedepan, untuk menunjukan isi tas masing-masing! Semua diurut dari nomor absen!”
Seluruh siswa satu persatu telah maju dan menunjukan isi tas mereka satu persatu, setiap murid yang selesai di cek isi tasnya disuruh untuk maju kedepan, ruangan kelas jadi di padati oleh 30 siswa berdiri sejajar memenuhi ruang kelas. Hanya Perlita seorang yang belum melakukan pengecekan.
“Perlita, bagaimana?” Tanya Bu Theresia sedikit lembut kepada Perlita,
Karena tatapan mata Perlita semua orang menjadi jinak, dan tak berani bersikap kasar, tatapan mata yang sinis, seolah penuh dengan kedengkian, Perlita segera bangkit dari tempat duduknya, “Tidak!”
“Perl, kalo kamu tidak ada, tidak apa-apa, kok…” Ungkap Anita memotong,
“Bukan! Aku memiliki copyan kertas di bangkuku, tapi aku tak tau siapa yang menaruhnya! Tak ada nama, aku tak yakin apakah ini milik Aubrey, biar aku bacakan isinya!”
Perlita memandang Aubrey yang berdiri dengan sedikit ketakutan, ia tahu Aubrey pasti sedang berharap cemas, dan tak tahu harus berbuat apa saat ini. Perlita tak ingin menghabiskan waktu terlalu lama ia mengambil kertas yang telah ia siapkan, dan segera membacanya dengan lantang,
“Bu Theresia, tak terlalu sulit menghadapinya ia terpesona saat aku memuji kecantikannya. Hal yang tabu untuk dilakukan adalah jangan berbicara bahwa rambutnya mulai beruban!”
“HAAAH!!!! CATATAN APA ITU?!?!?! MILIK SIAPA ITU?!?! AKAN KUKELUARKAN SIAPAPUN YANG MENULISNYA!!!” Bu Theresia segera mendekat kearah Perlita dan mengambil catatan tersebut.
“Aku, enggak tau, Bu, kan tidak ada namanya.” Ungkap Perlita dengan polosnya sembari memberikan catatan tersebut.
“Hahahahahaha… Catatan yang aneh, itu pasti bukan milik Aubrey!”
Dalam sekejap seluruh kelas tertawa terbahak-bahak Perlita merasa bangga, dengan ini kasus akan berhenti lalu Aubrey tetap tidak mungkin terkena dugaan ia yang menulis catatan itu, ia terlalu pintar jadi tak mungkin melakukan hal tersebut, meski kenyataan berkata berbeda.
“Aubrey, itu pasti bukan catatanmu, kan?” Tanya seorang siswi yang berdiri berada disamping Aubrey.
“Ee iya, itu catatan, aneh!” Aubrey menahan nafas panjang, “Sial kau!” Ungkap Aubrey dalam hati. Ia hanya bisa menahan senyum yang memaksa, dan mencoba ikut tertawa walaupun ia tau, ini sangat bodoh untuk dia lakukan.
***
Jam istirahat, diruang UKS
Aubrey merasa kesal dengan tingkah yang dibuat Perlita, ini penghinaan besar-besaran. Ia tak menyangka bahwa Perlita begitu cerdas membaca situasi,
“Cih!!! Bagaimana mungki rencanaku malah jadi seperti apa yang dia inginkan? Sial! Padahal aku bisa saja memanipulasi siapa saja kalau aku mau dan…”
“Krraaak” Aubrey menatap pintu terbuka, sosok anak baru yang sangat ia benci muncul.
“Itulah kelemahanmu! Karena kau terlalu meremehkan mereka, orang tidak bisa hanya kau buat permainan dengan sikapmu.” Perlita segera masuk kedalam ruang UKS dan menutupnya.
“Ah, kamu, sepertinya aku terlalu meremehkanmu, akan kubalas kau!”
“Tak masalah, tapi sebelumnya, kita lakukan misi ke dua!” Perlita mendekati Aubrey dan duduk disampingnya. “Waktunya game cinta!” Perlita melangkah menuju tempat Aubrey berdiri “Bagi yang kalah dalam permainan harus mengikuti apa kata yang menang!” Ucap Perlita, sembari menepuk pundak Aubrey,
“Hah? Lagi?” Ungkap Aubrey terkejut.
“Misi keduamu, memelukku!”
“AKU TIDAK MAU!! AKU TIDAK TAHU APA YANG ENGKAU INGINKAN! APA ARTINYA MELAKUKAN ITU BILA KITA SALING MEMBENCI ?!?!" Aubrey bangkit dan berusaha meninggalkan Perlita sendiri.
“Itu, tidak benar! Aku tidak membencimu, kok.”
Aubrey menghentikan langkahnya sesaat menatap Perlita, ucapannya barusan membuat sesuatu yang berbeda. “Hah? Apa katamu? Jadi benar kau menyukaiku?” Tanya Aubrey,
“Tidak aku tidak suka kamu, hatiku tidak berdebar melihatmu, tapi aku tidak benci.”
“Huuh..” Aubrey menahan nafas panjang dan segera memeluk Perlita,
“ARGGGHHH!!!!” Perlita menjerit cukup keras. Aubrey yang terkagetkan segera melepas rangkulannya.
“Kenapa tiba-tiba?” Tanya Perlita polos,
“Kalau kau tidak benci, aku tidak punya pilihan lain selain segera melakukannya, kan?”
“Oh, begitu…” Perlita sedikit mengerti, “Tapi…”
“Apa!?”
“Bisa kau lakukan pelan-pelan?”
“KAU INI BANYAK MINTANYA!!! Oke, akan aku lakukan!!”
Perlita hanya mengangguk di mulai berdiri berhadapan dengan Aubrey, perlahan tangan Aubrey mulai menjamah rambut belakang Perlita, detakan jantung yang berdetak cepat seirama, dalam satu melodi, mendentangkan perasaan. Perlahan tangan Aubrey menyentuh punggung Perlita,
“Aku memang pernah berpegangan tangan, tapi ini pertama kalinya orang menyentuh tubuhku…” Aubrey mulai merangkulkan tangannya ke punggung Perlita, mendekap erat Perlita seolah merasakan kesedihan yang diderita oleh Perlita, ketakutan, kesendirian. Aubrey mulai merasakan sesuatu getaran, yang membuatnya takjub. Namun ia masih tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada Pelita hingga ingin melakukan ini semua.
“Aku ingin tahu, jika debaran hatiku sama cepatnya denganmu, seperti kehangatan ditanganku saat kau genggam…”
Aubrey terhentak, ia terdiam, merasakan kehangatan yang ada ditubuh Perlita, tak seperti kemarin, bila saat lalu tangan Perlita begitu dingin, berbeda dengan saat ini, tubuhnya sangat hangat.
“Deg, deg, deg….” Debaran hati mereka saling bersamaan, dan ahirnya menjadi satu,
“Aku ingin tau lebih banyak tentangnya…”
-------------------------------------------------------------------------------------------------------