oleh: kemarau basah
Semuanya masih spekulasi. Meski telah diputuskan jatuh tercebur di Selatan Samudera Hindia, pesawat Boeing 777 yang hilang hingga kini belum bisa diketahui keberadaannya.
Para peneliti menggunakan teknologi satelit dan perhitungan matematis untuk menemukan remah-remah jejak pesawat yang tak tertangkap pantauan radar, sebuah cara baru yang belum pernah dipakai sebelumnya. Namun pertanyaan selalu kembali menghantui setiap kesimpulan.
"Perhitungan matematis mengolah data dan variabel. Ketepatan hasilnya tentu tergantung seberapa akurat data dan variabel tersebut. Misalkan hal sederhana, kita bisa menjatuhkan sebongkah batu ke dalam sebuah sumur gelap dan menunggu bunyi saat ia menghantam dasar sumur untuk memperkirakan kedalamannya. Kita harus mempunyai data kecepatan dan waktu dari batu itu secara tepat. Bukan asumsi. Apabila kita melakukannya sambil bergerak maka variabelnya akan bertambah. Bayangkan andai sumur itu juga bergerak. Atau bagaimana jika batu ternyata membentur dinding sumur dan berhenti di sebuah ceruk."
"Kau tak memercayai hasil kesimpulan itu?"
"Kau tahu aku bukan tipe orang yang tak memercayai teknologi. Tapi teknik baru itu, data dan variabelnya masih perlu diuji secara objektif. Ping. Efek Doppler. Inmarsat dan lainnya. Mereka boleh saja memercayai perhitungan para ahli dari Inggris, tetapi setidaknya perlu satu alat bukti lain. Satu yang nyata."
Semua mata mengalihkan pandangan dari layar televisi 24 inci di sisi atas ruangan. Percuma menyimak tayangan berita itu lebih lanjut sekarang. Sang pakar telah mulai membuka percakapan dan suara baritonnya memudarkan ucapan presenter perempuan di televisi. Mereka memilih menyesap gelas kopi mereka, mengunyah kue atau menghisap rokok. Lagi pula tidak banyak hal baru dari berita itu.
"Sebuah pesawat komersial lepas landas dari Kuala Lumpur menuju Beijing lalu hilang di tengah jalan dan berakhir tersembunyi di bawah Lautan Hindia, di dekat Kutub Selatan yang dingin. Bagaimana ceritanya?" Pak Umar menggeleng-gelengkan kepala, tersenyum lalu mencecap kopi panasnya.
"Mar, mereka pasti telah meneliti semua hipotesa. Aku yakin para peneliti itu bekerja berdasarkan ilmu pasti dan sekian banyak data," hanya tuan rumah yang mau menanggapi dengan lugas laki-laki flamboyan dengan rambut mulai diselingi uban. Usia mereka berdekatan dan keduanya bersahabat baik. "Kadang kita cenderung melawan sebuah kejadian yang sangat luar biasa dan enggan menerimanya."
Pagi buta, seorang pekerja rig lepas pantai Vietnam terheran menyaksikan sebuah benda kecil terbakar di atas langit. Sekitar lima belas detik kemudian nyala apinya padam. Benda itu terlihat di sebelah barat, jauh di ketinggian, tidak bergerak ke samping sehingga seakan ia mengapung di langit. Hari itu dia mengirimkan surel ke otoritas Vietnam serta atasannya di kantor pusat, segera setelah dia mendengar berita tentang pesawat hilang itu.
"Salah satu spekulasi mengatakan pesawat berputar balik karena terjadi kebakaran. Kejadiannya sangat cepat. Transponder dan komunikasi mati karena masalah tersebut. Tidak ada pembajakan, sabotase, bunuh diri, meteor ataupun alien. Pilot berusaha mendaratkan pesawat di landasan paling dekat dan paling aman dari tempat kejadian, sebuah bandara dengan landasan panjang di Pulau Langkawi persis di sebelah barat daya. Sangat sesuai dengan arah yang terlacak radar," Pak Umar menunjukkan garis di dalam gambar dan sebuah pulau di sisi barat laut Semenanjung Malaysia. Sahabatnya mengamati gambar pada halaman koran di atas meja itu, koran langganannya sendiri.
"Aku setuju dengan teori itu. Sangat masuk akal," lanjutnya.
"Aku tak meragukan penilaianmu. Tapi bisa saja tak sesederhana itu."
"Barangkali kadang kita cenderung khawatir dengan sesuatu yang sangat sederhana masuk akalnya."
"Baiklah. Teori itu dari anakmu?"
"Tidak juga. Dia selalu mengirimkan tautan menarik tentang pesawat hilang itu."
Anak laki-laki Pak Umar tinggal di Bandung dan mengambil kuliah teknik Aeronautika di perguruan tinggi yang sama dengan sang ayah. Pak Umar sendiri adalah seorang insinyur Geologi. Dia sudah dua puluh tahun bekerja dan menetap di Lhokseumawe, sebuah kota di pesisir Timur Aceh.
"Tapi pesawat itu tidak mendarat di sana."
"Pesawat itu melewati Langkawi. Radar menangkapnya terakhir kali di ujung Utara Selat Malaka. Ia mungkin lepas kendali. Bisa jadi pilot pingsan karena asap kebakaran lalu kendali diambil alih autopilot. Atau bisa juga tidak," sang Insinyur menyesap kopinya dengan tenang, "Mungkin ada pertimbangan lain. Masalah komunikasi itu misalnya. Atau, pilot tak berhasil menurunkan kecepatan pesawat akibat mesin rusak. Yang jelas pesawat gagal mendarat di sana. Lalu pilihan lain adalah sebuah landasan di Kepulauan Andaman."
"Ya, semua bisa terjadi. Semua masih berupa spekulasi." Sahabatnya yang keturunan Melayu Deli meneguk segelas teh Liang dingin dan mencoba melirik layar televisi.
Sekilas, di sudut meja dekat pintu masuk kedai kopi, seorang laki-laki muda berkulit cokelat gelap akibat sering terpanggang matahari memperhatikan mereka dengan malu-malu. Dia duduk sendirian, memakai topi, berpakaian sederhana, namun cukup rapi.
Pemilik kedai, bagaimanapun, memiliki naluri untuk mengenali setiap pelanggannya meskipun secara sepintas dan tidak kentara. Laki-laki muda itu baru datang satu kali dan penampilannya berbeda dari pelanggan hariannya, para karyawan perusahaan gas dan kontraktor pertambangan, beberapa pensiunan dan sebagian kecil anak muda yang tinggal di kompleks-kompleks tak seberapa jauh dari situ. Dia masuk memesan segelas kopi hitam, duduk menjauh dari pelanggan lain dan menonton berita sore bagai baru pertama kali melihat televisi, hingga percakapan Pak Umar mengaburkan perhatiannya.
Ada tiga nelayan Peureulak yang mengaku melihat sebuah pesawat jatuh pada pagi hari di hari kejadian di timur laut Aceh.
Kesaksian tiga nelayan ini kemudian dianggap tidak sahih. Meragukan, hanya tiga orang yang melihatnya. Setelah diselidiki tidak ada satu pun pesawat jatuh di sana. Namun ada juga seorang nelayan dari Pangkalan Susu, Sumatera Utara, melihat hal sama di Selat Malaka, tetapi tetap tak terbukti.
"Hanya para nelayan itu yang tahu di arah mana mereka melihat pesawat tersebut. Tapi menurutku, barangkali telah terjadi bias dalam penglihatan mereka, atau percakapan mereka. Atau mungkin bias dalam pemberitaan media."
Pak Umar berhenti bicara. Laki-laki muda tadi sudah berdiri di samping meja kedua sahabat itu. Sang pemilik kedai melihat sebentar ke meja yang ditinggalkannya, menghitung dengan cepat, lalu bertanya dengan ramah kepadanya, "Hanya kopi?"
"Ya," jawabnya dan melirik Pak Umar dengan ragu, "Aku pun melihat pesawat itu."
Segera saja laki-laki muda itu diminta bergabung di meja mereka. Dia rupanya memutuskan mampir minum kopi di tempat itu saat berjalan di selasar pertokoan lebih karena tertarik untuk menonton tayangan di televisi. Selama ini dia terus mengikuti perkembangan berita hilangnya pesawat Malaysia itu pada setiap kesempatan.
"Aku nelayan dari Sigli. Aku ke sini menengok nenekku yang sedang dirawat di rumah sakit."
Pak Umar memaksanya mencicipi kue di atas piring. Sahabatnya telah lebih dulu berseru ke seorang barista, memesan segelas es teh Liang untuk anak muda itu.
"Pesawat itu berputar-putar makin rendah. Pada putaran kedua, pesawat mengeluarkan asap di bagian kanan belakang dan terbang dalam kondisi miring ke kiri. Sesaat kemudian, pesawat makin merendah dan hilang dari pandangan," ceritanya.
Pak Umar terkesima. Dia tertegun beberapa saat. Dia memercayai penuturan nelayan muda ini. Tidak setiap hari seorang nelayan melihat sebuah pesawat jatuh di langit. Baginya tiga orang saksi saja sebenarnya sudah cukup meyakinkan.
"Lihatlah!" Pak Umar membuat lingkaran dengan pulpennya di atas laut antara Lhokseumawe dan Pulau Langkawi.
"Mereka tidak melihat pesawat benar-benar jatuh. Pesawat itu terbang rendah, berasap dan menghilang dari pandangan. Ada sebuah pesawat jatuh tetapi belum jatuh. Memang seharusnya mereka tidak bisa menunjukkan tempat jatuhnya pesawat. Jika kesaksian mereka benar dan posisi pesawat itu di utara Selat Malaka, maka urutan spekulasi itu bersambung," wajah Pak Umar terlihat cerah. Dia seperti menemukan salah satu kunci jawaban dari teka-teki sebuah peta harta karun.
"Belakangan juga diberitakan jika pesawat terlacak berbelok sebelum hilang dari radar," tambah Pak Umar.
Pesawat yang gagal mendarat itu kini terbang rendah dan mengeluarkan asap. Tidak ada satu negara pun di sekitar yang menangkapnya di radar mereka.
"Kemungkinan pesawat itu terbang rendah ke Laut Andaman," kini ucapan Pak Umar terdengar lirih.
Pencarian puing-puing di sebelah barat Perth terus dilakukan melalui satelit, kapal laut dan pesawat udara. Sangat tidak mudah. Gelombang tinggi dan ganas. Lokasi tersebut jauh terpencil di tengah lautan luas dan dalam, di Selatan samudera Hindia.
Sore keesokan harinya, Pak Umar hadir lebih cepat di kedai kopi sahabatnya, langsung sepulang dari kantor. Seorang perwira tentara berpangkat kolonel sudah duduk menunggunya sambil menikmati secangkir kopi hangat. Mereka hanya sedikit berbasa-basi.
"Aku sudah mempelajari dokumen yang kau kirim, Pak Umar."
"Kolonel, aku sampai susah tidur semalam."
"Tapi kemana saja kau kirimkan?"
"Kenapa? Hanya ke seorang teman lama di Jakarta."
"Kau serius?"
Salah seorang barista mengganti saluran televisi. Berita mengenai isu politik menjelang pemilihan umum baru saja selesai dan beralih pada berita tentang pencarian pesawat. Pak Umar dan teman minum kopinya menyimak sebentar tayangan tersebut sebelum melanjutkan percakapan.
"Bukankah tidak ada hal baru dari datamu? Aku tak mengatakan kau keliru. Tapi semua spekulasi ini tidak akan berujung. Kecuali ada bukti yang bisa..."
"Maaf Kolonel, bukankah lebih sukar mencari pesawat itu di sana?" Pak Umar menunjuk ke layar televisi dengan membuka telapak tangan kanannya. "Bahkan lebih mudah mencari sebuah kaleng minuman yang jatuh di tengah lautan jika mereka keliru."
"Baiklah."
"Di luar spekulasi, pesawat berbalik lurus ke Pulau Langkawi, beberapa saksi di laut, termasuk ada pula nelayan Malaysia, melihat sebuah pesawat terbang rendah seperti sedang mengalami masalah, di dekat wilayah itu, kemudian tidak ada radar kita yang menangkap jejaknya, tidak juga radar negara lain di sekitarnya.
Pesawat itu terbang rendah ke tempat yang tak terpantau, di antara Semenanjung Malaysia, ujung Pulau Sumatera, Kepulauan Andaman, daratan Myanmar dan Thailand. Di semua tempat itu terdapat penjagaan radar militer, bukan?" Pak Umar membuat tanda silang pada tempat-tempat tersebut di selembar kertas cetakan bergambar peta seputar laut Andaman.
"Sebuah tempat sepi yang dapat menyembunyikan misteri, Kolonel," tambah Pak Umar.
"Tapi Laut Andaman sudah ditelusuri, Pak. Malaysia, India, Thailand dan kita juga ikut. Tidak ditemukan apa-apa."
"Ya. Benarkah dua hari setelah kejadian? Cukup terlambat."
Sahabatnya, sang pemilik kedai, muncul di pintu masuk bersama seorang laki-laki gagah berkulit gelap dengan kumis dan janggut memutih, seorang Panglima Laot. Keduanya memberi salam dan bergabung di meja itu.
"Alhamdulillah sudah datang," Pak Umar menjabat erat tangan sang Panglima Laot.
Dengan logat Aceh yang kental pemimpin para nelayan itu menceritakan semua pengalamannya serta isu yang berkembang di antara nelayan di sana berkaitan dengan pesawat hilang tersebut. Mereka, para nelayan, juga sempat ikut serta dalam pencarian di perairan Laut Andaman. Namun tidak ada sesuatu yang baru dari penuturannya.
Seorang ibu warga Malaysia sedang duduk di kursi samping jendela di atas pesawat dalam perjalanan pulang Umrah dari Jeddah. Sebagian besar penumpang terbuai di tengah perjalanan tetapi dia tak dapat tidur. Setelah melewati Chennai, India, dengan kapal-kapalnya yang tampak berderet di tepi dermaga, layar monitor memberitahukan bahwa pesawatnya tengah terbang di atas Laut Andaman. Saat itu cuaca cerah, sekitar jam setengah tiga siang waktu Malaysia. Melalui jendela, si ibu terkesan melihat sebuah benda putih keperakan berkilau ditimpa sinar matahari, terdampar di tengah laut di bawahnya. Dari bentuk sayap dan ekornya dia yakin bahwa itu sebuah pesawat. Kapal terbang itu miring ke samping dan sebagian besar badannya terendam air. Teman di sampingnya hanya tertawa mendengar omongannya. Seorang pramugari yang sedang melintas pun tersenyum lalu menutupkan tirai jendela seraya memintanya untuk tidur ketika dia mengadukan perihal pesawat itu. Mereka belum mendengar sama sekali bahwa pada hari itu sebuah pesawat besar telah hilang tidak jauh dari jalur udara mereka saat ini.
"Semua pendapatmu masih berupa spekulasi, Pak. Sebaiknya kita menunggu," kata sang Kolonel.
"Tidak hanya kumpulan dokumen ini, aku yakin, Kolonel, tapi semua hasil penelitian tentang keberadaan pesawat itu sampai hari ini masih spekulasi," balas Pak Umar.
Hari itu lokasi pencarian pesawat di selatan Samudera Hindia bergeser ke arah timur. Lebih dekat dengan Perth dan tentu saja lebih mudah. Satelit, kapal laut dan kapal terbang dari beberapa negara besar terus melakukan pemindaian. Inggris bahkan telah siap mengirimkan kapal selamnya. Ada perubahan hasil perhitungan data satelit mengenai kecepatan terakhir pesawat yang hilang.
"Tapi penelitianmu hanya berdasarkan data umum."
"Benar. Namun mempunyai dasar, alasan dan saksi. Tidak sekadar angka-angka. Bukan pula hasil penerawangan. Aku memahami maksudmu, Kolonel. Dulu aku pernah lima tahun bekerja di bagian eksplorasi, kalian tahu, mencari titik sumber minyak bumi. Kami juga menggunakan satelit dan memeriksa kandungan batu. Selama itu aku belum pèrnah bertemu seorang pun yang mengaku melihat di sebuah hutan, minyak memancur keluar dari dalam tanah."
"Baiklah," sang Kolonel sedikit tersenyum, "Namun tim pencari di setiap negara sudah memeriksa semua data, para saksi ini. Aku juga menerima laporannya. Panglima Laot ini juga ikut memeriksa kesaksian para nelayan yang ada di sini."
"Ya, lalu kita berhenti. Bagaimana jika yang dilihat para saksi itu benar? Dan kesimpulan ini benar? Pesawat itu mendarat darurat di tengah Laut Andaman. Mereka, para penumpang, kehabisan waktu saat semua orang mencari pesawat itu di Laut Cina Selatan. Beberapa hari kemudian baru kita ke sana dan tidak menemukan apa-apa. Tidak ada serpihan sedikit pun. Barangkali pesawat besar itu tersembunyi secara utuh di bawah sana. Lalu sekarang mereka mencari-carinya jauh di ujung samudera."
Sang Kolonel menatap Pak Umar agak lama. Lalu dengan nada pelan dia berujar, "Pak, aku rasa, itu bukan urusan kita."
"Kau sendiri sudah menjelaskan situasinya," tambahnya.
Pak Umar mencerna kembali semua dalam pikirannya. Sejak awal persoalan politik menjadi seperti pohon besar lebat menyeramkan yang telah menghalangi jalan cahaya. Ancaman terorisme global, perebutan tahta di negeri jiran, nama baik korporasi dan mungkin masih banyak lagi. Kopi hitam yang disesapnya terasa pahit.
"Tapi untuk menghilangkan penasaran Bapak, bagaimana dengan para penduduk di salah satu pulau di Maladewa yang menyaksikan pula sebuah pesawat terbang sangat rendah pada hari kejadian?" tanya sang kolonel, "Para penduduk itu berarti telah keliru, bukan? Pak, sebuah pengakuan bisa keliru seperti juga persepsi kita."
Percakapan tentang pesawat itu terhenti di situ dan berganti obrolan mengenai calon presiden. Namun saat sang Kolonel pulang, Pak Umar segera melanjutkan penjelasan teorinya kepada Panglima Laot. Dia berusaha meyakinkan beliau bahwa pesawat itu berada di perairan Laut Andaman. Pak Umar mengajak Panglima Laot untuk mengarahkan para nelayannya agar memasang mata di wilayah laut tersebut. Barangkali mereka dapat menemukan satu bukti nyata, apa pun itu. Pak Umar juga meyakinkan beliau untuk tidak mengkhawatirkan akibat buruk pencarian tersebut.
Pagi cerah, matahari baru bangun dari tidurnya. Beberapa penduduk asli Pulau Kuda Huvadoo di Kepulauan Maladewa, terkejut oleh bunyi gerungan mesin yang sangat kuat hingga menggetarkan dinding tipis rumah mereka. Sebuah pesawat terbang sangat rendah dan hampir menyentuh atap rumah. Pesawat itu begitu dekat hingga pintu dan jendelanya terlihat sangat jelas. Bahkan seorang penduduk mengaku dapat melihat para penumpangnya di balik jendela kaca pesawat.
"Pesawat itu menuju ke arah pantai. Aku hanya dapat melihat dengan jelas empat orang penumpang pesawat. Dua laki-laki berumur dan dua perempuan muda. Namun wajah mereka tidak tampak khawatir, malah terlihat sangat gembira. Salah seorang perempuan memegang sebuah alat seperti kamera. Dan salah seorang laki-laki yang paling tua, mungkin kakek mereka, terlihat sedang memeluk erat sebuah boneka beruang besar sambil tersenyum."
Cibubur, April 2014