Keberagaman luas dan unik ini yang dimiliki oleh bangsa Indonesia seringkali menimbulkan gesekan, terutama ketika tradisi atau kebiasaan suatu suku dianggap mengganggu oleh kelompok lain. Misalnya, di Jawa Timur, ada tradisi musik horeg yang sering dilaksanakan oleh suku Jawa yang menetap di daerah perkampungan. Menurut detik.com, tradisi ini merupakan sebuah tradisi baru yang dikembangkan melalui akulturasi dari budaya penggunaan sound system dengan fungsi untuk takbiran saat Idul Adha dan Idul Fitri serta tren adu sound yang muncul pada akhir-akhir ini, menciptakan kombinasi antara sound system dengan lagu-lagu DJ Remix yang biasa digunakan dalam tren adu sound, tidak dapat dipungkiri bahwa polusi suara yang dihasilkan seringkali mengganggu kenyamanan warga sekitar. Apalagi dengan adanya pengakuan dari operator musik horeg dimana semakin keras lagunya dibunyikan, semakin hancur properti-properti di sekitarnya seperti kaca yang tidak tahan dikarenakan kuatnya gelombang bunyi yang dikeluarkan hingga jalan-jalan yang dirusak dikarenakan "menghalangi" jalannya budaya.
Di sisi lain, di Jawa Barat, "Gus" merupakan panggilan nama julukan atau nama panggilan untuk anak laki-laki. Gus juga digunakan untuk nama panggilan untuk ulama, kiai, anak lelaki putra kiai atau pemilik pesantren, dan orang yang dihormati. Muncul fenomena "Gus" zaman sekarang yang kerap menggunakan agama untuk kepentingan pribadi, seperti menjual agama demi popularitas atau keuntungan materi oleh oknum-oknum tertentu. Tidak dapat dipungkiri bila hal ini terus berlangsung, banyak pembodohan massal yang terus dilakukan pada masyarakat awam. Sudah terlalu banyak contohnya untuk bisa dinamakan. Hal ini tidak hanya merusak citra agama tetapi juga menciptakan polarisasi di masyarakat. Kedua contoh ini menunjukkan bagaimana keberagaman bisa menjadi sumber konflik jika tidak dikelola dengan baik.
Jika masalah-masalah seperti ini tidak cepat segera ditangani, tidak mungkin kita akan menghadapi skenario ekstrem di masa depan. Misalnya, polusi suara dari tradisi musik horeg bisa memicu ketegangan antarkelompok, terutama jika warga sekitar merasa hak mereka diabaikan. Di sisi lain, eksploitasi agama oleh oknum tertentu bisa memicu perpecahan dan radikalisme, yang pada akhirnya mengancam persatuan bangsa. Bayangkan jika setiap suku atau kelompok hanya mementingkan kepentingannya sendiri tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kelompok lain. Konflik horizontal akan semakin sering terjadi, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika hanya akan menjadi slogan kosong tanpa makna.
Diperlukan upaya bersama dari semua pihak. Pertama, pemerintah dan tokoh masyarakat harus aktif melakukan sosialisasi tentang pentingnya toleransi dan saling menghargai perbedaan. Misalnya, dalam kasus musik horeg, bisa diadakan dialog antara orang-orang yang melakukan tradisi tersebut dengan warga sekitar untuk mencari solusi dimana kedua belah pihak saling menguntungkan, seperti mengatur waktu pelaksanaan atau mengurangi volume suara. Kedua, dalam menghadapi fenomena oknum-oknum berkedok sebagai"Gus" yang menjual agama, masyarakat perlu lebih kritis dan selektif dalam menerima informasi. Pendidikan agama yang inklusif dan moderat harus ditingkatkan untuk mencegah penyalahgunaan agama dan citra dari agama itu sendiri. Selain itu, tokoh agama dan pemuka masyarakat harus turun tangan untuk memberikan pemahaman yang benar tentang nilai-nilai keagamaan.