Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi pada saat ini telah berkembang dengan sangat pesat hingga telah mengubah banyak aspek dalam kehidupan manusia, salah satunya adalah aspek interaksi sosial. Pada aspek interaksi sosial, terutama di kehidupan remaja saat ini sangatlah berbeda dari generasi sebelumnya. Mereka para remaja lebih memilih platform media sosial sebagai sarana utama untuk berinteraksi dan berkomunikasi. Banyak anak muda melaporkan bahwa mereka menggunakan situs media  sosial  seperti Facebook dan Twitter sebagai cara untuk menghindari tekanan dari luar yang membahayakan kesehatan mental mereka (Khairunnisa, H., 2024). Tetapi, dengan seiringnya waktu yang berjalan, mulai muncul dampak-dampak negatif akibat dari penggunaan media sosial yang mempengaruhi kesehatan mental, salah satunya adalah fenomena degradasi mental (Sabillillah et al., 2025).
Fenomena degradasi mental ini semakin sangat relevan ketika kita lihat dari beberapa tren mengenai konten negatif yang marak di media sosial. Konten-konten negatif ini seringkali mengandung konten dengan isi ujaran kebencian, perundungan, sampai dengan penyebaran berita yang merugikan orang lain. Berdasarkan Survei Pew Research Center pada tahun 2018, Youtube digunakan 85 persen remaja, Instagram 72 persen, dan Snapchat 69 persen. Jurnal JAMA Psychiatry menemukan bahwa remaja yang memakai media sosial lebih dari tiga jam per hari beresiko tinggi terhadap kesehatan mental utamanya internalisasi diri. Generasi milenial merupakan pemakai media sosial kedua terbesar di Indonesia dengan 25,87% dari seluruh penduduk (We Are Social & Hootsuite, 2020). Maka perlu dilakukannya pembatasan penggunaan media sosial pada remaja, sebagai upaya untuk memperkokoh mental generasi muda Indonesia. Tak hanya pemerintah, seluruh pihak juga berperan dalam problematika ini (Arsini et al., 2023).
Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu, apakah terdapat hubungan signifikan antara frekuensi konten negatif di media sosial dengan tingkat depresi pada remaja berdasarkan fakta generasi zaman sekarang yang rentan mengalami gangguan mental, serta apakah jenis konten negatif tertentu lebih berkontribusi terhadap degradasi mental remaja daripada yang lain, mengingat banyaknya konten tidak mendidik dan tidak bermutu menghiasi laman for you page membuat generasi muda tertarik dan menontonnya setiap kali membuka media sosial.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara frekuensi dan jenis konten negatif di media sosial dengan tingkat depresi dan kecemasan pada remaja, serta mengidentifikasi faktor-faktor yang memoderasikan atau memediasi hubungan tersebut. Mengingat Indonesia yang semakin terpuruk dengan rendahnya pendidikan di samping berkembangnya ilmu pengetahuan. Karena tujuan pendidikan menurut (Aristoteles, 1925) dalam buku Nicomachean Ethics adalah mengembangkan kebajikan (virtue) dalam individu agar mampu menjalani hidup yang baik (eudaimonia). Pendidikan harus mengintegrasikan intelek (akal) dan moral (karakter). Â
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kesedihan Â
Ketika ada suatu peristiwa atau kenyataan yang tak sesuai dengan keinginan, manusia akan menciptakan kesedihan (Goleman, 2010). Seperti seorang bayi yang berharap ASI namun tak diberi-- dia akan menangis, itulah tabiat dasar manusia, tak terima dengan keadaan yang terjadi dalam dirinya ketika tak sesuai dengan keinginannya. Â
Meski pada faktanya tak semua orang sedih ketika keinginan tak menjadi kenyataan, harap tak pula tergarap sebab mereka keluar dari gelap melihat dari sisi yang berbeda, menemukan makna di balik kesedihan yang ada. Hal ini selaras dengan perkataan Jalaluddin Rumi dalam bukunya berjudul Matsnawi Maknawi "Orang yang paling besar kesadarannya adalah orang yang paling besar penderitaanya". Penderitaan atau tepatnya kesedihan akan memunculkan kesadaran manusia jika manusia memberi sedikit waktu sekadar untuk menyadari. Tetapi bagaimana jika mereka tak segera menyadari?
Faktanya generasi kita enggan untuk bangun lantas berjuang, mereka berdaya juang rendah. Hal ini bisa kita lihat di kota kita sendiri, terbuai kenyamanan dan instan menyebabkan mental generasi zaman sekarang juga berkurang. Apa yang mereka inginkan segera ada, mau kemana tinggal klik saja, dengan sesuatu yang terus berulang maka terciptalah kepribadian dan kebiasaan secara tak langsung lahirlah daya juang rendah sebagai akibat dari cepat terwujudnya keinginan lantas terciptalah generasi yang selalu termenung dalam sedih dan tak ingin bangkit lagi.
2.2 Konten Sedih
Sedih berspora adalah analogi yang dibuat dengan fenomena sekarang, tak jarang kita ikut merasakan emosi ketika melihat orang lain marah atau orang sedih, faktanya dengan media sosial konten negatif khususnya konten yang menggugah rasa kasihan mudah sekali untuk disebar. Tidak ada definisi dari konten sedih, dari susunan katanya kita bisa mendefinisikan bahwa konten sedih adalah konten yang terdapat kesedihan di dalamnya. Dilihat dari mazhab Behavioristik ketika kita melihat sebuah kesedihan dan distimulasi berkali-kali kesedihan tumbuh di dalam diri kita
2.3 Degradasi Mental Remaja
Konsekuensi dari kegagalan suatu masyarakat dalam menjunjung standar etika dan nilai nilai, yang menyebabkan pengikisan struktur sosial merupakan pengertian dari degradasi moral menurut Habermas, J. (2018). Kemunculan media sosial telah mengubah pola komunikasi antar masyarakat, dan juga memicu isu-isu sosial yang dapat mempengaruhi degradasi mental. Degradasi sendiri memiliki arti kemunduran, kemerosotan, atau penurunan dari suatu hal, suatu fenomena adanya kemerosotan atas budi pekerti seseorang ataupun sekelompok orang. Tentunya ada aspek yang melatar belakangi maraknya degradasi moral pada generasi muda saat ini khususnya pada remaja, ada dua poin penting yang cukup berperan, yaitu; keluarga/orangtua dan lingkungan (baik di lingkungan rumah atau di lingkungan sekolah). Â Keluarga dianggap sebagai faktor yang paling dominan dalam meletakkan dasar moral dan akhlak. Namun, banyak orang tua yang tidak tahu bagaimana perannya tersebut. Â Para orang tua percaya bahwa pendidikan anak-anaknya terbatas pada rana sekolah dan bahwa nilai raport adalah masalah utama bagi mereka. Tanpa menanyakan apakah anaknya memahami apa yang dia katakan, dia memberikan pujian untuk hal yang baik dan marahi untuk hal yang buruk. Orang tua menunjukkan secara tidak langsung bahwa hasil lebih penting daripada proses. Akibatnya, sangat penting untuk orang tua dan anak berbicara satu sama lain. Lingkungan sekolah berperan penting dalam pembentukan moral siswa. Sekolah adalah tempat pendidikan yang membantu siswa mencapai potensi dalam bidang moral, spiritual, intelektual, emosional, dan sosial. Namun, banyak orang tua merasa pendidikan belum sepenuhnya membentuk etika siswa. Mayoritas guru hanya memenuhi kewajiban mengajar tanpa fokus pada pendidikan moral.
BAB 3. METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain korelasional. Desain ini dipilih untuk mengkaji hubungan antara frekuensi dan jenis konten negatif di media sosial dengan tingkat depresi pada remaja. Â
3.2 Populasi dan Sampel
Populasi: Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh remaja pengguna media sosial aktif di Indonesia.
Sampel: Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 50 orang remaja pengguna media sosial aktif yang dipilih dengan teknik proportional random sampling. Sampel diambil secara acak dari populasi remaja pengguna media sosial aktif dengan mempertimbangkan proporsi pengguna media sosial berdasarkan jenis kelamin dan usia.
3.3 Variabel Penelitian