Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Kisah Inge: Dialog Tentang Kafir

27 Desember 2009   03:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:45 1942 4
[caption id="attachment_44128" align="alignleft" width="300" caption="Cahaya itu bukan untuk mengusir kegelapan, tetapi Cahaya itu untuk menerangi kegelapan, memberikan sebuah PENGHARAPAN (doc. pribadi)"][/caption] Di luar istana sepi mulai merambat dinding malam. Satu-satu pegawai istana mulai menepi ke peraduan. Sesekali suara longlongan anjing terasa amat keras. Di langit, sinar bulan sedikit tertutup awan. Di serambi samping istana sang permaisuri masih tampak santai dengan dayang-dayangnya. Sesekali mereka tertawa kecil seakan ada cerita yang sedang mengharuskan mereka tertawa tanpa letupan suara. Bisa jadi gosip sesama perempuan. Maklumlah, sejak dua bulan ini permaisuri lebih tampak ceria padahal baginda sedang tidak ada di istana. Agak disudut, sang asisten pribadi seperti siap selalu menerima perintah permaisuri. Meski matanya tidak tertuju pada permaisuri tapi dua daun telinganya selalu disiapkan jika ada panggilan atau perintah. "Aspri. Sini. Duduk disini. Ada yang mau ku tanyakan." "Baik Permaisuri, hamba siap menerima perintah." "Kamu tadi dengar ngak di negeri tetangga tentang ribut-ribut soal kafir?" "Dengar secara persis tidak. Tapi selintas ada. Adakah yang bisa hamba kerjakan duhai permaisuri?" "Kafir itu apa sih, dan untuk siapa kata kafir itu ditujukan? Jangan-jangan mereka bilangin ke negeri kita lagi. Kalau memang ia saya akan telepon ratu negeri tetangga untuk menyampaikan nota protes kerajaan." "Daulat, Tuanku permaisuri. Titah permaisuri siap hamba laksanakan. Tapi sebelum itu sudilah kiranya Tuan Permaisuri izinkan saya menempatkan duduk perkara terkait kafir sejauh yang hamba pernah dengar." 'Kamu pernah dengar dimana? Bukankah kamu selalu bertugas untuk saya." "Ampun Tuanku Permaisuri. Dulu, waktu kerajaan menugaskan saya untuk belajar di Negeri Arab hamba pernah mendengar satu diskusi terkait kafir." 'Baik, coba kamu jelaskan." "Kafir itu bahasa Arab yang akar katanya 'Kaf' 'Fa' 'Ra' yang berarti petani (kuffar) yang pekerjaannya 'menutupi' atau 'menyembunyikan' benih ke dalam tanah. Dari sinilah kemudian di artikan bahwa kafir itu adalah sebutan untuk orang-orang yang menutupi kebenaran atau sebaliknya orang-orang yang tertutup terhadap kebenaran. Jadi tidak ada arti yang diarahkan ke negeri kita duhai permaisuri. Di negeri kita pun jika ada orang yang menutupi kebenaran atau tertutup terhadap kebenaran maka juga bisa kita sebut kafir. Itu kalau negeri kita mau pakai bahasa Arab. Kalau tidak, kita pakai saja bahasa negeri kita, misalnya anti-kebenaran." "Oh begitu. Tapi, tidak. Tadi saya dapat laporan kalau kata kafir itu ditujukan untuk negeri kita. Jadi, kamu jangan mentang-mentang pernah belajar di Arab bela mereka." "Ampun tuanku permaisuri. Sedikitpun hamba tidak akan berpaling dari mengabdi kepada negeri ini. Meski mereka memberi hadiah kepada hamba dengan hadiah yang banyak niscaya hamba akan tetap memilih mengabdi kepada Permaisuri. Hanya saja, sebagai Asisten saya merasa harus menyampaikan apa yang saya pernah dengar. Selebihnya saya menanti titah tuanku permaisuri." "Baik, sekarang kamu lanjutkan penjelasan dari apa yang kamu tahu." "Baik, hamba siap menerima perintah. Dari kabar yang hamba dengar, istilah kafir juga melekat dalam sejarah Islam pada periode awal di Mekkah. Karena pada periode awal maka istilah kafir bukan ditujukan kepada agama nasrani dan yahudi melainkan ditujukan kepada elit-elit quraisy Mekkah yang kasar, bertindak kejam, dan ingin menggagalkan misi Muhammad dalam mengajak orang-orang untuk kembali meyembah Allah. Bahkan, para pemuka Quraisy mengajak Muhammad untuk barter sesembahan. Misal, setahun rame-rame sembah sesembahannya Muhammad dan setahun kemudian sembah pula sesembahannya kaum quraisy. Tentu saja ajakan ini ditolak dan disinilah turun firman Allah tentang mereka (orang quraisy) yang menolak dan menutupi kebenaran yang datang." "Jadi bukan untuk agama saya?" "Daulat Tuan Permaisuri. Mengikuti kisah lainnya, misalnya di saat Muhammad meminta para sahabatnya hijrah Muhammad justru menyuruh sahabatnya untuk ke negeri habasyah yang penduduk dan rajanya menganut agama Nasrani dan Muhammad sangat yakin jika Raja mau melindungi orang muslim. Begitu juga dengan kisah pembangunan kota Madinah. Muslim, bersama dengan Nasrani dan Yahudi bersepakat membangun Madinah secara bersama dan terikat perjanjian untuk saling membantu dan saling menghormati." "Jadi, kenapa juga ada yang bilang kafir itu ditujukan pada agama-agama?" "Menurut diskusi yang hamba dengar. Itu terjadi pada masa dinamika politik Islam meningkat dan secara global berhadap-hadapan dengan agama lain yang juga menjadi kekuatan pendukung politik. Jadi bukan agama-agama yang sebenarnya bertengkar melainkan politik yang bersandar di agama lah yang membuat umat saling berhadap-hadapan. Jangankan antara agama dengan agama, di antara kelompok-kelompok dalam agama juga terjadi kafir mengkafirkan. Ini adalah dinamika dan dinamika tidak bisa secara otomatis menggambarkan wajah agama yang sebenarnya. Jadi kekerasan disatu sisi bisa dilakukan oleh siapa saja dan dari orang-orang yang mengatasnamakan agama apa pun dan disisi lain agama-agama adalah kepercayaan yang dituntut untuk saling menghormati satu sama lain, yang oleh Muhammad disebut 'Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah dan kamu tidak menyembah apa yang aku sembah'. Solusinya tidak ada lain, yakni saling menghormati. "Jadi begitu?" "Begitu yang hamba dengar dan bisa jadi apa yang hamba dengar ini tidak lengkap. Namun begitu, yang hamba tahu juga kafir bukan istilah utama dan satu-satunya. Kata kunci yang paling utama dalam Islam, menurut yang hamba dengar adalah Rahman dan Rahim. Ini wujud kasih sayang Allah tanpa pilih kasih apalagi tebang pilih kepada segenap makhluknya dan kasih sayang Allah untuk mereka yang dekat dengan-Nya. Jadi kafir lebih sebagai sebuah "lecutan" dan pembeda ketimbang sebagai sebuah steriotip apalagi kutukan."

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun