Mohon tunggu...
KOMENTAR
Hukum Pilihan

Sekolah Demokrasi: Mahasiswa sebagai Agen Kontrol Sosial Dinamika Demokrasi di Masa Transisi

30 Desember 2024   13:00 Diperbarui: 30 Desember 2024   13:00 52 0
Surabaya -- Diskursus mengenai peran mahasiswa sebagai kontrol sosial kembali disorot dalam acara Kelas Kajian yang mengusung konsep Sekolah Demokrasi yang diadakan oleh Kementerian Kajian dan Aksi Strategis BEM Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Dengan tema "Peran Mahasiswa sebagai Kontrol Sosial dalam Mengawal Masa Transisi," acara ini digelar secara daring pada Sabtu, 30 November 2024, melalui Zoom Meeting. Forum ini dihadiri oleh lebih dari 200 peserta yang terdiri dari mahasiswa, dosen, serta beberapa praktisi hukum yang mendalami isu-isu sosial dan politik.

Label Stigma terhadap Aktivis
Sekolah Demokrasi baru-baru ini menggelar diskusi dengan dua pembicara ahli, Elsa Ardhilla, S.H. dari LBH Surabaya, dan Amira Paripurna, S.H., LL.M., Ph.D., akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Salah satu topik yang menarik perhatian adalah stigma yang sering dialamatkan kepada aktivis, yang kerap dicap sebagai individu yang tidak produktif, subversif, bahkan berbahaya bagi stabilitas sosial. Aktivis kampus, khususnya, sering kali mendapatkan label "bodoh," "malas kuliah," dan "gembel." Di samping itu, kritik terhadap kebijakan pemerintah sering dianggap sebagai tindakan yang kurang nasionalis atau bahkan anti-pemerintah, terutama bagi mereka yang mengungkapkan suara masyarakat yang terpinggirkan.

Stigma ini bukan hanya sekadar label; ia berpotensi menghalangi perjuangan untuk keadilan sosial dan lingkungan. Elsa Ardhilla menekankan bahwa, "Mereka yang berjuang untuk lingkungan, hak asasi manusia, dan keadilan sosial kerap mendapatkan label negatif hanya karena menentang kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat. Padahal perjuangan mereka berlandaskan data dan fakta yang objektif." Contoh nyata dari stigma ini terlihat dalam penolakan masyarakat terhadap pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia di Rembang, Jawa Tengah. Puluhan ibu-ibu yang tinggal di tenda perlawanan bertekad untuk menyampaikan penolakan mereka secara langsung kepada pemerintah pusat, menyoroti kurangnya perhatian dari pemerintah daerah terhadap keluhan yang mereka sampaikan.

Di balik stigma tersebut, perjuangan masyarakat di Rembang menunjukkan betapa pentingnya melawan narasi negatif ini dengan data dan fakta yang kuat. Keberanian mereka untuk bersuara, meskipun dihadapkan pada intimidasi, mencerminkan komitmen mereka terhadap lingkungan dan kesejahteraan sosial. Dalam konteks ini, tantangan yang dihadapi para aktivis adalah bagaimana mengubah stigma buruk tersebut menjadi dukungan terhadap perjuangan mereka. Ini membawa kita kepada tema selanjutnya yakni Evidence-Based Advocacy sebagai Solusi Perjuangan Aktivis dan Mahasiswa. Pendekatan ini menawarkan alat yang kuat bagi aktivis untuk meredakan stigma dan mengubah persepsi publik dengan memperkuat argumen mereka melalui data yang konkret dan berbasis bukti.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun