Banyak guru kehabisan waktu karena diburu target materi. Akibatnya tidak (bisa) mau berimprovisasi. Mereka sangat terkungkung oleh tembok kelas, takut membuat kelasnya ribut, dan segudang alergi lain yang membuat pembelajaran di kelasnya nyaris tak pernah berubah sejak mulai berdiri di depan kelas mengajar. Ketika saya bertanya kepada seorang guru Bahasa Indonesia apakah pernah memberi apresiasi sastra seperti membacakan puisi untuk anak-anak, jawabnya membuat kaget, malu. Apa berlangganan Horison? Lha wong yang gratisan di perpustakaan saja yang baca justru guru Biologi. Ini mah kasuistis, bukan , tapi kaustatis.... Rutinitas yang monoton karena kemalasan guru berinovasi sungguh sebuah malapetaka jika disadari bahwa didepan mereka adalah bakat-bakat terpendam yang butuh didorong untuk beraktualisasi. Bukankah seorang guru pada hakekatnya juga seorang talentscouts. Di tengah teknologi yang memanjakan orang dengan kemudahan dan kelimpahan sumber informasi sangat naif jika seorang guru mengurung diri dalam kerangkeng yang bernama apatisme. Kesejahteraan yang didapat berupa tunjangan tambahan sekedar memuaskan hedonisme semata. Ah, barangkali tulisan ini salah tempat ya. Bukankah mereka itu justru berada di luar sana?
KEMBALI KE ARTIKEL