Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Dasar Perjuangan Kita; dari Mana Kita Memulai?

4 Agustus 2012   04:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:16 339 0
“…Landasan dari pergerakan adalah nurani yang menyala, landasan dari perjuangan adalah tekad yang membaja…”

Hasan Al-Bana, revolusioner Mesir

Mengapa kita mau berlelah-lelah dalam perjuangan? Saat orang mencemooh kita, katanya kita adalah mahasiswa yang sok idealis, mahasiswa yang terlalu banyak mengkritik tapi tidak pernah becermin. “Tak usah lah kau banyak menyalahkan pemerintah, siapa sih kau yang merasa lebih pintar dari Bapak-bapak S3 di pemerintahan sana!” Begitu mereka berkata.

Mengapa kita mau capek-capek berdiskusi, menulis, mengkaji, bahkan aksi turun ke parlemen jalanan? Sementara orang lain senang dengan kaderisasi eventualnya, dengan olahraganya, dengan lomba-lomba ilmiahnya. “Tak usah lah kau banyak berbicara tentang bangsa. Perbaiki dulu internal kampusmu, bangsa belakangan saja kita bahas.” Begitu mereka berteriak.

Maka kita membutuhkan dasar yang kuat, alasan yang kokoh laksana karang, laksana akar. Pergerakan tanpa landasan membuatnya lemah, terombang ambing dan hilang tak bermakna, bak torehan di pasir pantai yang mudah terhapus deburan ombak, bak taburan debu udara yang mudah terseka angin.

Sekali lagi ku bertanya, untuk apa kau berlelah-lelah seperti ini?

Nurani yang Menyala

Aku suka dengan kata itu. Landasan pergerakan bukan muncul dari rasionalitasmu, dari logikamu, namun ia muncul dari nuranimu, dari hatimu.

Ketika nurani telah menyala, apa yang menjadi penggilan jiwamu? Mengapa kau mau terus berjuang bersamaku, bersama kami?

Pertama, karena kau ber-Tuhan. Aku bukan penganut faham pluralism. Namun jelas, semangat berketuhanan akan membawamu senantiasa bergerak. Sesungguhnya ibadahmu, hidupmu, matimu, hanya untuk-Nya. Maka kau akan kembali ingat kata-kataNya, bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat buat yang lain.

Kedua, karena masyarakat menantimu. Jangankan protes terhadap kebijakan, untuk mencari sesuap nasi saja energi mereka telah habis. Mereka butuh penyambung lidah, mereka butuh insan-insan akademis yang jumlahnya hanya 2,4% di negeri ini untuk menyampaikan tuntutan akan hak-hak mereka. Di pojok jalan sana seonggok kemanusiaan terkapar. Siapa lagi yang bertanggung ajwab bila semua menghindar? Biarlah kita yang menanggungnya, semua atau sebagian. Masihkah kau berdalih sibuk dengan urusan internalmu? Dengan urusan akademismu?

Ketiga, karena penguasa di atas sana masih zalim. Kezaliman menghasilkan ketidakadilan, dan ketidakadilan menuntut perubahan. Bukan figur ketokohan yang kita serang, bukan pula keburukan fisik seorang pemimpin bangsa. Bukan entitas SBY-nya sebagai manusia, tetapi sikap kepemimpinannya, tingkah lakunya, kebijakannya. Aku tak peduli setinggi apa gelarnya, semulia apa status sosialnya. Selama mereka, para penguasa, belum menunaikan kewajibannya melindungi segenap bangsa Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan menjaga kedaulatan Indonesia, selama itu pula kita akan terus berteriak lantang melawan dan terus melawan.

Itulah dasar perjuangan kita: Ketuhanan, humanisme, dan pembebasan atas ketidakadilan. Kita tidak bicara kebenaran ilmiah. Maaf, berbicara kebenaran ilmiah akan dibenturkan dengan relativitas. Kebenaran ilmiah hanya ada dalam tataran sains dan agama. Dalam ilmu sosial, benar itu relatif. Keilmiahan adalah perangkat justifikasimu terhadap nilai yang kamu ingin manifestasikan ada pada rakyat ini, ada pada bangsa ini.

Maka kau membutuhkan landasan pergerakan. Jika tidak kau akan terjebak dalam wacana-wacana kebenaran ilmiah versi si A atau versi si B. Dalam satu masalah, akan selalu ada thesis dan antithesis, akan selalu ada perspektif setuju atau negasinya. Satu dengan yang lain saling mengklaim kebenaran. Dan sintesisnya kuserahkan pada dirimu. Jalan mana yang kau pilih? Itu semua dibentuk oleh landasan berpikirmu, oleh keyakinan yang kau miliki, oleh ideologimu, oleh nuranimu.

Prinsip ketuhanan mengharuskan kita memahami konsep beragama. Mau kemana? Dari mana? Sedang apa? Ia akan memaksa kita, para aktivis, untuk berjuang mematuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Maka tidak lagi mungkin kita menemukan seorang aktivis sejati yang tidak ber-Tuhan. Maka tidak lagi mungkin kita menemukan aktivis sejati gemar bermaksiat dan tidak beribadah. Jika ada, maka ia bukan yang sejati. Bagaimana mungkin kau menuntut keadilan terhadap rakyatmu jika kau tak berlaku adil terhadap Tuhanmu?

Prinsip kemanusiaan menempatkan kita pada posisi keberpihakan. Mahasiswa itu ditunggangi oleh rakyat. Sikap awal kita jelas, untuk rakyat! Untuk petani, kaum miskin kota, buruh, nelayan, dan gelandangan di bawah sana. Maka kau mesti mencintai bangsa ini melebihi cintamu kepada dirimu sendiri. Dan yakinlah kawan, cinta itu menuntut segalanya darimu, darahmu, hartamu, keringatmu, bahkan waktumu.

Prinsip perlawanan terhadap kezaliman penguasa menempatkan kita pada posisi oposisi abadi. Ya, engkau adalah oposisi abadi pemerintahan. Siapapun penguasanya, apapun partainya, camkan baik-baik: Jika saja kezaliman masih berlangsung di negeri ini, walau hanya setitik saja, maka kita adalah orang pertama di garda terdepan yang berteriak lantang kepada mereka, “Wahai penguasa, berlaku adillah engkau!“

Landasan perjuangan kita termaktub jelas dalam kitab-Nya, dalam Pancasila, dan dalam konsepsi kemahasiswaan kita. Engkau, wahai insan akademis, harus selalu mengkritisi keadaan masa kini dan memiliki narasi besar untuk masa depan! Tidakkah engkau ingat kata Muhammad Hatta?

Inilah landasan perjuangan kita kawan, Nyalakan nuranimu, kuatkan tekadmu, dan semoga Tuhan selalu mengikatkan hati-hati kita dalam perjuangan, dalam menyambut takdir kemenangan. Hingga kemenangan sampai di tangan kita atau lelah dan mati dalam jalan perjuangan yang panjang. Mungkin ragamu mati, namun jiwamu terus berderap melangkah berjuang menyambut takdir kemenangan, menyambut senyuman Indonesia, dan menyambut rakyat yang sejahtera.

“…berjuta rakyat menanti tanganmu, mereka lapar dan bau keringat, kusampaikan salam perjuangan bahwa kami semua cinta Indonesia…”

“…hari ini hari milikmu, juga esok masih terbentang, dan mentari kan tetap menyala, di sini di urat darahku…”



Muhammad Yorga Permana

Menteri Kebijakan Nasional,

untuk kawan-kawan perjuangan: tetaplah adil kepada Tuhanmu, tetaplah cinta pada rakyatmu, dan tetaplah menjadi oposisi sejati untuk penguasamu…

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun